Jumat, 28 Oktober 2022

Lika Liku Asmara Astuti


Maka akan Kami mudahkan jalan baginya jalan menuju kemudahan(kebahagiaan) (QS.Al –lail 92:7)

Astuti bak meramu takdir untuk dirinya. Kejadian demi kejadian membuat ia tersadar bahwa hidup kadang meletup-letup, kadang pula menenggelamkan ia dalam tangisan. Sejak jumpa terkahir dengan Kak Gunawan ia sejenak menutup pintu hatinya yang terkatup. 

Setelah empat tahun dan menyelesaikan kuliahnya di Solo,  akhirnya Astuti menapakkan kakinya kembali ke Ibu kota. Jelas tak terasa sulit yang ia rasakan. Meski Ia perlu adaptasi untuk banyak hal. Terkhusus ketika ia mengajar di Jakarta dengan sebuah sekolah yang elit. Berbeda ketika mengajar di Solo yang begitu ndeso. Rekan kerjanya atau guru yang ada di sekolah  elit itu cukup banyak, dari mulai yang senior, madya, dan yang seusia dengannya. Mereka berasal dari berbagai suku, ada yang dari Sunda, Batak, Minahasa, dan Jawa. Tak sulit baginya karena masa kecil sampai SMA nya dihabiskan di Jakarta.

Mendulang mimpi dan berkarir di Jakarta sebenarnya bukan hal mudah. Namun, sang takdir membawanya pada suatu kemudahan. Berkat anak tiri ibundanya, Astuti pun mulai menerbangkan sayapnya memulai karir sebagai guru honorer di Ibukota. Berbekal surat lamaran dan setumpuk sertifikat yang  ia miliki, ditambah proposal persiapannya mengajar. Astuti pun diterima dengan baik. Suatu Kebetulan seluruh berkasnya diseleksi oleh wakil kepala sekolah. Sang Wakasek itu mewawancarai Astuti, sebagai formalitas saja. Beliau menanyai banyak hal pada Astuti mulai berasal dari mana, kegiatannya apa saja,  serta pernah mengajar dimana. Walau sebenarnya sudah ditulis lengkap di CV dan surat lamaran pekerjaannya. Mungkin beliau terkagum dengan begitu banyaknya sertifikat yang dimiliki Astuti.  Beliau menilai Astuti sebagai seorang aktivis. Wakasek itu bernama Pak Ardani, bisa dilihat Astuti dari papan nama yang ada di dadanya.

Pak Ardani bercerita  bahwa dia juga berasal dari Solo, sebuah desa yang juga dekat dengan desa Astuti yaitu sekitar 15km. Astuti hanya tersenyum,“ O ya saya tahu Pak, ada teman saya yang tinggal dekat desa Bapak”, jawabnya penuh hormat. Orangtuanya masih lengkap dan tinggal di desa itu. Pak Ardani menyambung percakapan itu. Astuti hanya menganggukkan kepala. Selang seminggu aku mengajar di SMEA, Astuti dipanggil ke ruang Waka. Pak Ardani menyuruhnya duduk dan meminta ia membuat surat lamaran mengajar di sekolah swasta yang dia pimpin, sekolahnya memerlukan tambahan guru bahasa Inggris. Tawaran itu  diterima mengingat di pagi hari Astuti belum punya kegiatan. 

Ketika sang waktu berkelana dan haru esok tiba, Astuti langsung memasukkan lamaran dan hari itu juga mulai mengajar. Pagi di sekolah Swasta, dan siangnya di SMEA Negeri. Kehidupan  kembali membawa ia menjadi orang Jakarta dengan segala sesuatu yang serba tergesa-gesa. Berbaur dengan teman yang punya  karakter berbeda, ia harus berhati-hati. Harus pandai membawa diri, jangan sampai dikatakan ambisius, atau sombong. Apalagi dengan teman guru senior, ia harus bisa menempatkan diri dan mengambil hati mereka.

Mengajar di sekolah yang sebagian besar muridnya pandai, minat belajarnya tinggi, dan kreatif, sangat memudahkan Astuti dalam mengajar. Ia senang dengan murid muridnya dan mereka juga hormat padanya. Apalagi kekeluargaan di sekolah itu sangat kental. Sering ada acara pertemuan yang melibatkan keluarga masing-masing. Misal rekreasi ke Ancol atau ke Taman Safari. Mereka bisa mengenal satu dan yang lainnya. Kalau ada acara seperti itu Astuti biasanya mengajak Ibunda. Bundanya sangat menikmati acara itu. Maklum Bundanya orangnya supel dan mudah berkomunikasi.

Kesibukan Astuti  semakin bertambah, karena Pak Ardani memberinya jam tambahan di malam hari untuk peserta kursus bahasa Inggris yang dikelolanya. Sebetulnya Astuti menolak apalagi kegiatan itu ada pada hari Sabtu. Astuti masih punya kepentingan pulang-pergi ke Solo. Tapi karena Pak Ardani setengah memaksa, akhirnya tawarannya ia terima. Dia juga memberi info, bahwa masih ada kereta jurusan Solo yang berangkat jam 8 malam dari Manggarai, Tapi itu kereta ekonomi. Jelasnya.

Astuti bertekad jika tanggal muda tiba, maka ia akan pergi ke Solo setelah selesai mengajar. Ia pun pamit pada Bundanya bahwa ia hendak ke Solo. Sang Bunda tidak bisa melarang karena sudah terlanjur sepakat dengan apa yang ia minta sebelum Astuti pindah ke Jakarta. Pak Ardani berkenan mengantarnya sampai stasiun Manggarai, kebetulan rumahnya searah dengan yang ia tuju. Astuti pun membeli tiket dan menunggu kereta itu tiba.

Sesampainya ia di pintu kereta, ia begitu terkaget luarbiasa, ternyata kereta yang akan ia tumpangi tidak sesuai dengan yang  dibayangkan. Kereta itu adalah kereta ekonomi yang tempat duduknya sangat rapat dan kesannya jorok, udaranya penuh dengan asap rokok. Astuti mendapat tempat duduk di nomer kecil yang dekat WC, bukan dekat jendela melainkan dekat gang jalan tempat mondar mandir orang lewat.

Sang Kereta kemudian melaju dengan lambat. Kereta itu selalu berhenti di setiap stasiun kecil mau pun besar apa lagi kalau ada silang dengan kereta dari lawan arah, kereta yang ia tumpangi berhenti sangat lama. Pedagang asongan silih berganti sepanjang malam. Dengan leluasa mereka menawarkan dagangannya dari mulai telur asin sampai buah buahan yang sedang musim, minuman, nasi, kerupuk, apa saja yang ada di daerah yang dilewati pasti dijual di kereta ekonomi ini. Batinnya dongkol.” Kapan sampai Solo kalau begini perjalanannya.”

Tepat jam 12 siang sang kereta baru masuk stasiun Purwosari. Astuti pun turun disitu. Ia pergi menuju rumah sahabatnya yang bernama Yani  asli dari Solo. Astuti membersihkan badan dan istirahat sebentar. Yani menanyakan bagaimana keadaannya, betah tidak jadi orang Jakarta lagi, dan yang penting dia juga nanya masih suka kontak dengan mas Satria tidak. Ketika disebut nama itu, hati Astuti masih mendesis. Ternyata ia belum bisa melupakannya. Hmm... ternyata sang masa lalu (Mas Satria)masih ada di hatinya.

Sejujurnya Astuti enggan menyambangi kota Solo karena itu hanya akan membuka luka hatinya.  Tapi ia pantang menyerah ada sebuah misi yang sebenarnya ingin ia pecahkan tentang rasa  penasaran terhadap apa yang terjadi sesungguhnya dengan mas Satria. Astuti mengajak Yani  ke rumah makan Sari, yang punya menu spesial gudeg dan sambal goreng yang mantap. Astuti melambaikan rasa kangen itu dengan mengorek banyak informasi tentang teman-temannya. Siapa saja yang sudah lulus dan mengajar di mana, begitu juga karir teman temannya yang pandai, apakah dia sudah jadi dosen sekarang, sesuai dengan yang mereka cita citakan?.

Dari Yani ia tahu semua perkembangan teman teman seangkatannya. Sampai akhirnya dia berkata terus terang tentang kabar terakhir mas Satria;” Wiek ojo kaget yo..!, mas Satria sudah menikah dan punya anak.” Brak! kepala Astuti bak terhimpit benda keras dan berputar. Astuti tidak siap menerima berita itu. Mas Satria menikahi cewek lulusan SMEA yang kebetulan kerja di show room mobil di daerah Kartosura, kebetulan cewek itu beragama Islam, konon hamil duluan dan nikahnya juga diam-diam. Terjawab sudah teka teki yang ada di hati Astuti. Ternyata cintanya bertepuk sebelah tangan. Begitu pandai nya Satria menyanjung Astuti bahwa masa depannya moncer, dan penuh dengan kesuksesan sedangkan dia seorang lelaki yang sedang terpuruk dan masih berusaha untuk bangkit setelah dikhianati istrinya. 

Ada sebuah cerita yang begitu nanar untuk didengar Astuti pun enggan mengeja masa itu. Sebuah waktu ketika ia selesai wisuda dan Mas Satria ternyata baru saja selesai ijab kabul. Terjawab lah semua kegundahan hati Astuti. Ia tidak bisa berharap lebih dari mas Satria. Astuti selalu berpikir jika ia adalah cinta sejati Mas Satria, sebuah cinta yang bisa  diraih dengan kebulatan tekadnya. Ternyata Astuti keliru. Mas Satria bukan pilihan Allah untuknya. Biar Allah bukakan pikirannya, dan juga tabir yang selama ini tak bisa diraba dan dicerna.

Sang waktu semakin bergelantung di Ifuk bumi  membawa hari ini pada hari lusa. Ketika Minggu sore tiba, Astuti langsung mencari tiket KA Bima, ia sangat kapok naik kereta ekonomi. Astuti ingin sampai di Jakarta dalam keadaan fresh dan melupakan Mas Satria selamanya. Astuti sangat membenci Satria. Satria bak gulma di kelopak mata sulit di lupa dan semakin liar. 

Sesampainya ia di Jakarta, sang Bunda bertanya apakah ia menyambangi rumah Budenya, ataukan tidak. Astuti pun tak bisa mengelak. Semua berita yang ia dengar dari Yani diceritakan pada Bundanya. Sang Bunda paham bagaimana perasaannya “Makanya dengar saran Bunda, ngga perlu lah ke Solo, buang waktu, tenaga, dan melelahkan pikiranmu.” Astuti pun tersadar  jika yang disarankan Bundanya adalah benar.

Sejak episode itu, ia selalu gunakan hari minggu untuk kegiatan yang lebih bermanfaat. Kebetulan ada sebagian murid si sekolah swasta yang sangat akrab dengannya. Astuti tidak terlalu menjaga jarak dengan mereka, apalagi mereka tahu jika Astuti guru muda yang bersahabat. Sampai suatu hari mereka mengajaknya jalan-jalan ke Kebun Raya Bogor dengan naik KRL. Tawaran itu  ia terima karena lama sekali Astuti  tidak ke Bogor.  Terakhir pergi ke kota hujan adalah  ketika SMP pada moment  camping bareng teman  yang mengajariku membuat edaran palsu untuk Bunda. Hadeeeuh, hehe.

Tersapa waktu, sang kaki pun berujung temu dengan kota Bogor. Bogor adalah keindahan dan keasrian. Bogor tidak banyak berubah, terawat dengan baik, dan terlihat asri. Mereka berjalan menyusuri taman, dan kolam yang ditumbuhi teratai yang sedang berbunga. Dari kejauhan istana Bogor pun terlihat. Begitu juga dengan rusa yang bergerombol terlihat gemuk dan sehat. Tanda bahwa binatang itu dirawat dengan baik. Udara yang sejuk disertai angin yang sepoi-sepoi benar-benar membuat mereka serasa segar kembali.

Tidak ada perbedaan yang mencolok antara guru dan murid ketika berbaur seperti itu, mereka cerewet semua dan usil. Ada saja ulah mereka yang saling mengejek dan membuat suasana jadi hangat. Murid-murid Astuti begitu hangat nan asyik, jika ada cowok yang kelihatan ganteng mereka akan bersorak, atau bisik bisik “Godain ngga Bu..?” Astuti akan menjawab, “ Stttt jangan ada ceweknya loh di belakang”. Dan mereka pun tertawa cekikikan.

Tidak afdol rasanya kalau sudah sampai Bogor tidak makan soto mie dan asinan. “Wajib dan Harus” hukumnya kata mereka. Akhirnya, mereka makan di warung yang ada di dekat stasiun. Selesai makan rombongan pun pulang ke Jakarta. Di sepanjang jalan mereka nampak ceria  ceria dan usil, membicarakan orang orang yang berpacaran dan duduknya sangat mesra, dan seakan dunia milik berdua, yang lain ngontrak, begitu lah istilah mereka.

Lain pula kalau pergi jalan dengan teman-teman Astutu yang guru. Kebiasaannya berubah seperti  harus menuju ke blok M, di sana mereka biasa makan nasi padang atau es teler, setelah puter puter sampai magrib di Blok M plaza. Kadang mereka juga makan di KFC yang saat itu paling terkenal dengan fast food nya. Untuk belanja kebutuhan Astuti dari mulai sepatu, tas dan pakaian ia tetap memilih yang sesuai budget. Astuti bisa mengukur kemampuannya sampai dimana. Begitulah tentang Bogor ada asinan dan bahkan rujak bumbu.

Asinan dan rujak bumbu bak lila liku hidup Astuti. Mengabdikan diri menjadi guru honor, ternyata membawa ia pada Qadarullah yang paling baik di hidupnya. Setelah tiga bulan ia menjadi guru honorer, di bulan September ia mengikuti tes PNS, berbekal surat tugas mengajar dan syarat syarat lain, ia mengikuti tes tersebut. Tes itu diadakan di Istora Senayan, dari pagi sampai siang, di tengah terik matahari Astuti mengikuti tes tersebut. Alhamdulillah awal Oktober sudah diumumkan dan Astuti lulus. Sujud syukur tak henti ia panjatkan sebagai rasa terimakasih yang mendalam.   

Pada bulan Maret tahun berikutnya, Astuti berubah status menjadi CAPEG dan ditempatkan di SMEA tempatnya bertugas. Astuti pun menerima uang rapelan yang cukup banyak, uang itu  ia serahkan kepada Bundanya, Astuti hanya mengambil sebagian kecil saja. Ia tahu kebutuhan Bunda cukup banyak untuk biaya adiknya yang kuliah di kedokteran, sebagian lagi bisa digunakan untuk memasang jaringan telpon. Alat komunikasi ini penting buat keluarga Astuti.

Tentang Solo, yang menumpahkan segala kenangan di ingatannya, Astuti selalu ingin terhubung dengan kota tersebut. Akhirnya, ia sempatkan untuk ikut kursus jurnalistik di Solo di malam hari, walau seminggu hanya 3 kali selama 6 bulan, tapi kegiatan ini menyita banyak waktu Astuti sehingga ia tidak berpikir masalah jodoh, umurnya baru 24 tahun. Astuti masih ingin sendiri dan membantu Bundanya sebisa yang ia mampu. Karena tempat kursusnya searah dengan rumah Pak Ardani, mereka biasanya numpang mobilnya, termasuk teman guru yang lain yang rumahnya juga searah.

Bunda Astuti kerap bertanya, tadi dengan siapa dan ada hal yang menyebalkan atau tidak. Bunda adalah curahan hati Astuti, jadi hal sekecil apa pun Astuti selau cerita dengannya. Termasuk tentang Pak Ardani yang super sibuk, karena punya banyak jabatan, dan  istrinya yang sedang hamil tua. Mungkin Bunda tertarik atau penasaran dengan ceritanya, apalagi ia katakan bahwa Pak Ardani juga berasal dari Solo yang masih 15 Km arah selatan. Sampai pada suatu hari Bundanya ke sekolah menemui Pak Ardani, Bunda cerita tentang keadaan Astuti di Solo, dengan istilah basa basi sang Bunda menitipkan Astuti, agar dibimbing dalam pekerjaan.

Astuti terheran karena Pak Ardani maupun Bunda tidak pernah cerita masalah kunjungannya ke sekolah. Dua tahun kemudian baru Astuti  mengetahui kejadian yang sesungguhnya. Perlahan ia menjadi guru yang di segani murid murid sekaligus disenangi, bila ada even even tertentu, Astuti sering diberi kepercayan untuk jadi pembawa acara, menurut mereka suara Astuti itu bagus, lantang tapi empuk. Itu pun baru ia ketahui sepuluh  tahun kemudian ketika mereka mengadakan reuni. Ada satu murid yang  sangat mengagumi suaranya, malah dia sempat berlatih di depan kaca untuk menirukan suaranya yang sedang menerangkan di depan kelas.

Lain murid lain pula dengan teman gurunya. Ada satu guru olahraga yang amat  sangat lugu, dia berasal dari Aceh, dan di Jakarta tinggal dengan tantenya. Padahal fisiknya bagus tapi kurang PD, dia sukar bergaul dengan teman guru yang lain. Pak Rahman namanya. Ketika ada kesempatan piknik khusus guru ke Cibodas, banyak kenangan lucu tentang dia. Pak Rahman yang pemalu diminta duduk bersebelahan dengan Astuti, tadinya ia sungkan, tapi karena teman yang lain memaksa:” Ayo Bu Tiwiek, temani Pak Rahman, Bu. Ngga apa apa sama sama belum punya pacar nih.” Teriak teman  Astuti yang berasal dari Padang’

Astuti pun  memenuhi permintaan itu. Di sepanjang jalan ia dan pak Rahman jadi bahan gurauan. Ada saja yang jadi membuat mereka menggoda Astuti dan Pak Rahman. Sampai wajah Pak Rahman kemerahan menahan malu, sedang Astutu menanggapi gurauan itu tanpa masalah, ia sudah biasa dengan senda gurau semacam itu.

Sebenarnya di hati Astuti ada rasa simpati terhadap Pak Rahman, tapi apa mungkin jodohnya orang luar jawa. Apa sang Bunda akan setuju jika punya mantu orang Sumatera. Karena bundanya selalu berpesan, kalau  boleh minta sama Allah jodohnya orang jawa saja. Mudah penyesuian  dan sudah hafal adat istiadatnya.

Seorang guru juga manusia, mereka kadang berceloteh akan sesuatu hal yang jauh di luar identitasnya.  Seperi yang terjadi dalam perjalanan mereka ke Cibodas. Mereka bermain tebak tebakan atau cerita anekdot lucu yang membuat mereka ger geran. Pak Kuntjoro berdiri di tengah Bus lalu bercerita tentang Sombongnya orang Amerika dan orang Indonesia:” Orang Amerika sombong karena punya pabrik yang memasukkan babi  keluar bisa jadi sosis, dan orang Indonesia juga tidak mau kalah lalu mengatakan bahwa di Indonesia masuk sosis keluar baby.” Suasana seperti ini membuat mereka fresh kembali.

Mendengar cerita itu Pak Ardani ikut nimbrung cerita;” Pernah dengar kisah cinta Bung Karno dengan Bu Dewi ?” Serentak se isi bus  menjawab belum. Lalu dia melanjutkan: “ Mereka bertemu karena saling mengagumi, Bu Dewi mengagumi Tugu Monas nya Bu Karno, dan Bung Karno mengagumi Gunung Fujiyama nya Bu Dewi” Pak Rahman yang tidak mengenal guyonan tingkat tinggi hanya mendengarkan tanpa ekspresi,  sedangkan yang lain terkekeh kekeh.

Semakin hari kesibukan Astuti semakin padat, tugas dari kursus jurnalistik, menghandle murid yang PKL (praktek kerja lapangan). Mengoreksi ulangan dan masih ditambah tugas rumah, melayani sang Bunda. Kadang Bundanya masih memberi tugas pada Astutu untuk mengantarnya ke rumah pasien yang tidak bisa datang ke rumah maka Bunda lah yang mendatangi pasiennya.

Tapi sesibuk apa pun Astuti, kegiatan korespondensi dengan sahabat penanya  yang ada di Kuala Lumpur, dan Selangor tetap terjalin. Suatu hari ia mendapat kiriman Foto pengantin bang Yusri, dia mempersunting wanita polis diraja. Kalau di Indonesia sama dengan polwan. Sedang surat surat yang dari Selangor biasa lebih sering berisi, puisi puisi Islami atau kutipan ayat ayat pilihan.

Ada juga surat yang yang rutin ia dapat dari temannya yang dikenal dalam perjalanan di dalam Bus jurusan Solo Jakarta jaman ia masih sering mondar mandir Solo Jakarta semasa kuliah. Ia adalah Mas Tutuko, pemuda asal Solo yang saat itu tinggal di rumah Budenya. Dia bekerja di Tanjung Priok. Di salah satu ekspedisi peralatan berat, karena latar belakang sekolahnya memang teknik.

Mas Tutuko kadang menyempatkan diri menelponnya lewat telpon kantor, anehnya dia lebih suka bertanya tentang kegiatan mengajar Astuti, dan kesibukannya yang lain. Pernah juga dia mengajak Astutu melihat pameran buku yang ada di Gramedia Matraman, Astuti pun banyak memborong buku pelajaran dan buku motivasi. Sedang mas Tutuko hanya membeli kamus bahasa Inggris untuk istilah tehnik.

Melihat mas Tutuko sering ke rumah Astuti, sang Bunda mengira jika pacaran. Bundanya mulai mencari tahu asal usulnya. Selain mengintrogasi langsung, Bundanya juga ke TKP. Mencari alamat yang ada di amplop surat Mas Tutuko yang pernah dikirimkan untuknya. Bundanya jadi tahu jika mas Tutuko ikut keluarga Budenya yang rumahnya sangat sederhana.

Satu hal yang masih terkenang di labirin ingatan Sang Astuti. Yaitu suatu waktu ketika Astuti dalam mode  bad mood, dan malas mengajar, ia menelpon mas Tutuko dan dia menyarankan untuk membolos saja. Kebetulan pekerjaannya juga bisa ditinggal hari itu. Jadi mereja janjian di suatu tempat lalu naik angkot ke arah taman Cibubur. Mas Tutuko berperangai baik,  enak diajak ngobrol, serta wawasannya luas. Walau dia orang tehnik yang identik dengan mesin tapi penampilannya rapi, dengan kumis yang cukup tebal, tangannya dipenuhi dengan bulu. Kalau tertawa renyah dan barisan gigi yang rapih akan terlihat jelas. Tapi membayangkan kelak dia jadi suaminya Astuti tak berani.

Astuti bisa menilai kalau Mas Tutuko adalah orang yang taat beribadah. Ketika masuk waktu salat dzuhur dia mengajak salat di mushola yang ada di dekat taman. Selesai salat mata Astuti tertuju pada cincin yang dipakai Mas Tutuko.  Cincin  perak yang melingkar di jari manisnya. Iseng ia  minta supaya dia melepasnya, Astutu ingin melihat cincin itu. Astuti perhatikan dengan cermat, ternyata pada cincin itu terdapat tulisan berbunyi"Fitria”. Astuti Tanya siapa Fitria, dia cuma bilang temannya yang jadi dosen di Solo. Sebelum asar mereka sudah pulang setelah mampir makan ketoprak dan es kelapa muda di warung sekitar taman Cibubur.

Pada saat itu, Astuti sudah ijin via telpon ke Pak Ardani kalau ia sakit dan tidak masuk sekolah. Karena Astuti ijinnya sakit, di malam harinya Pak Ardani datang ke rumah Astuti, baru lima menit dia di rumahnya,  Mas Tutuko juga datang. Astuti langsung masuk ke kamar dan tidak keluar lagi sampai mereka pulang. Ketika mereka sudah pulang,  Bundanya marah marah; "Gimana sih ada tamu malah ditinggal ke kamar!”. Bundanya  tak tahu bagaimana perasaan Astuti karena ketahuan membolos. Yang ibundanya tahu, Astuti berangkat ke sekolah dan tidak sakit.

Hidup adalah melodi yang memiliki ritme naik turun, perasaan gusar, marah, kesal acap kali menjadi warna pada setiap episodenya. Waktu itu Astuti genap 25 tahun dan belum punya pacar, Bundanya sudah mulai panik, sedang ia tenang tenang saja. Astuti merayakan ulang tahunnya di gerbong kereta jurusan Jakarta Yogya. Astuti bersama sepuluh orang guru menghandle murid murid karya wisata ke Yogya. Ia bertugas membagikan permen kepada murid murid nya, mereka memberi ucapan selamat dan menyanyikan lagu “Happy birthday” diiringi gitar.

Di perayaan Ultah itu, Pak Ardani tidak ikut karena sedang pulang kampung mengurusi pemakaman istrinya yang meninggal setelah melahirkan koma selama 3 hari. Peristiwa itu terjadi karena pendarahan pada kandung kemih yang ter gunting atau ada mal praktek. Qadarullah bayinya selamat.

Tiga bulan berselang pasca istrinya berpulang, Pak Ardani datang ke rumah untuk melamar Astuti, tanpa memberitahu lebih dahulu. Beraninya dia, Bunda langsung menerima lamaran itu tanpa meminta persetujuan Astuti lebih dulu. Setelah Pak Ardani pulang  Astuti menangis. Ia marah dan protes dengan keputusan yang diambil Bundanya. Astuti jelaskan pada Bunda: “Pak Ardani itu orangnya galak Bunda, aku tidak suka sifatnya yang sok,  penentang, dan sedikit arogan, banyak guru yang tidak suka dengannya” Protes Astuti. Namun, sang Bunda tetap tak menerima alasannya.

“Ya nanti  ada pendekatan dulu, pelan pelan kau bisa menilai siapa dia sebenarnya dan cocok atau tidak” ujar sang Bunda menenangkan hati Astuti.

Ibundanya begitu tega menerima lamaran duda beranak tiga itu untuk Astuti.  Apakah Astuti  sanggup menjalaninya. Astuti mengambil air wudhu dan salat istikharah biarkan Allah tunjukkan mas Tutuko atau memang Pak Ardani jodohnya. 

Rasa gundah hinggap di hati Astuti, ia tak sabar menanti fajar dan bertukar cerita dengan Mas Tutuko. Setelah esok hari Astutu menelpon mas Tutuko dan mereka janjian untuk bertemu. Astuti bercerita padanya tentang lamaran Pak Ardani yang diterima Bunda. Sepulang sekolah, Mas Tutuko  sudah nunggu Astuti di blok M. Mereka tak berani janjian di depan sekolah karena takut ketahuan Pak Ardani.

Akhirnya Astuti dan Mas Tutuko bertemu di  warung tenda yang ada di dekat taman Blok M, mereka memesan roti bakar dan kopi susu. Setelah  ia ceritakan tentang lamaran Pak Ardani, Mas Tutuko malah mendukung. Dia tidak menghalangi, malah berpesan agar Astuti bisa merawat anak Pak Ardani sama dengan anaknya sendiri. Menikah  itu ibadah apalagi kalau bisa merawat anak piatu dengan baik, pahala besar.

Pupus sudah harapan Astuti, ia mengira jika  dia akan menghalangi  lamaran tersebut. Mas Tutuku malah mendukung Pak  Ardani untuk melamarnya. Ternyata ia salah menilainya. Sehingga bisa disimpulkan mungkin dia sudah berkeluarga atau paling tidak sudah bertunangan, Dan menganggap Astuti hanya sebagai teman biasa. Astuti sadar, jika selama ini ia  salah dalam menilai seseorang atau bisa dikatakan ia terlalu GR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kata Pengantar Buku Tarian Aksara Penuh Makna

Dahulu aku sering bertanya sendiri; kalau puisi itu berwujud, akan seperti apakah dia? Matahari? Bulan? Bintang? Gunung? Laut? Bertahun lalu...