Minggu, 25 September 2022

Sahabat Online

"Selemah-lemah manusia ialah orang yang tak mau mencari sahabat dan orang yang lebih lemah dari itu ialah orang yang menyia-nyiakan sahabat yang telah dicari." Ali Bin Abi Thalib

Tentang September 2021, kuasku terjebak dalam  cerita penuh makna. Ruang maya mempertemukan kita dalam sebuah rajutan aksara. Sebuah pesan masuk tanpa basa-basi menggiring perhatianku pada layar untuk terus berguman dan berbalas pesan.

"Assalamualaikum Bunda, Perkenalkan Ini Widya, saya mau ikut Antologi cerita Faksi. Boleh gak tentang mengajar di Sekolah?" Tanya Buk Wid penuh harap.

"Boleh, Bunda!" Jawabku dengan emot senyum.

"Baiklah Bunda, akan saya kirim lewat email ya, sampun" balas nya dengan ramah.

"Siap Bunda!" Jawabku dengan emot penuh cinta.

Hari berjalan menjadi berminggu, minggu berlari menuju berbulan, sebuah waktu terus berotasi dalam ruang virtual. Entah, sinyal apa yang membawa ia kepadaku. Bahkan ketika udara bertiup bak jelmaan pesan dari Buk Wied.

Dari balik dinding hatiku yang dingin, aku tetap menasbihkan egoku untuk bersikap biasa saja, aku tak peduli tentang dini hari yang menegggelamkan pijar bintang sang malam. Bagiku, semua normal saja.

Acap kali ia mendekati, acap kali aku mengabaikan. Padahal mimpinya hanya sederhana, cukup dengan menjadi sahabat atas setiap momen di linimasanya. Namun, hatiku tetap angkuh memamerkan penolakan bak senja menolak malam dalam derai hujan penuh nestapa.

Aku masih ingat ribuan alasan yang ku lontarkan begitu lantang. Berkelit atas padatnya sebuah kesibukan. Eloknya, jiwanya tak pernah gentar meski perasaannya tercincang tapi laku nya begitu anggun dalam balutan kesabaran.

Sang waktu semakin bersaksi ada beberapa kecewa  yang ia sandingkan dalam nanar. Lantas ia pun eja dalam bait panjang pesan maya. Hari itu aku meminta maaf, bahwa melupakannya aku belum bisa, dan hatiku masih saja mengeja namanya sebagai rasa hilafku.

Semangkuk harapan kemudian aku tawarkan sebagai sebuah pembelaan atas egoku yang rindang. Berusaha dengan keras memperbaiki laku nan arogan. Hingga akhirnya aku ingin berdamai dengan keadaan. Entahlah, untuk apa aku hindari toh bersahabat maya juga disertakan sebuah rasa asam manis  rujak bumbu, kopi hitam kupu-kupu. Marah dalam diam sesal penuh rindu. Jelas yang kujadikan sahabat adalah manusia bukan sebuah Hp yang tersenyum dalam emoji.

Aku melamun dalam temaram, sedemikian aku mengabaikannya sekuat ia mengejarku bak mengejar mentari yang selalu senyum dalam pagi. Akhirnya, aku siapkan lencana hati untuk ku jadikan sebuah rumah tempat sahabat online ku berkeluh kesah. Agar ia bisa bernafas dal pori-pori kedamaian. Dengan keras kujadikan jiwa ini sebagai tempat berlari dari letihnya senja saat berpulang.

Semakin lekat kita bersua dalam maya, harusnya semakin dekat kita menyusun singgasana yang utuh. Namun gemuruh sesekali berteriak di atas kenyataan bahwa kita terkadang saling ego. Bertengkar atas pesan yang terlampau diratapi, menumbuk beriringan dengan letupan emosi. Memenggal jarak bak bumi dan angkasa, padahal jarak kita hanya terhitung jari, semudah klik dan emoji.

Kenapa kerap kali kita perbincangkan sebagai alasan atas pertikaian yang tak sefaham. Keadaan kita memang sehat, tapi terkadang jiwa kita dibuat sekarat. Pada akhirnya kita saling mematahkan, hingga debar yang dirasa mengganggu tidurku. Sampai hatiku bergumam, 'aku tak suka pertengkatan ini'.

Hingga ahkirnya aku tersadar bahwa daun-daun yang jatuh di atap rumah pun adalah ia yang berkorban demi jiwa yang lain. Tentangmu bagaikan obat Paracetamol, pahit namun mampu menjadi analgetik. Hadirmu mendewasakan, menggiring lara agar tetap tegar melangkah yang akhirnya menjelma menjadi sebuah kekuatan dalam nurani. Nampak keindahan yang kemilau melebihi kemilau bintang di angkasa. Keiklasanmu menyanyangiku membawa teduh yang berpendar menaungi deretan jiwaku yang gersang.

Setiap bait percakapan yang kita bincangkan, akan menguat dalam labirin ingatan, menjadi elok dan utuh bernaung dalam tema  persahabatan. Selamanya aku akan mengenangmu sebagai bunyi keindahan. Kan ku katakan pada udara agar bterbentuk pusaran abadi di rotasi bumi, membawa pusara rindu yang terus kita syukuri. Aku menyerumu dalam maya, merupa wajah dalam doa dan bismillah. Dengan cinta engkau mengubahku. Karena cinta selalu bisa mengubah apa yang selama ini sulit dirubah.

Sementara cinta dan angkuh pernah berpesta pora, akhirnya aku tenggelam dalam dekapan hangat persahabatan. Terimakasih selalu menjagaku dalam doa, dibandingkan dengan cintamu bahkan semesta pun nampak kerdil di pelupuku. Tak ada yang bisa kupersembahkan di hari jadimu selain doa dan cinta yang tulus dari nadiku.

I Love You to the Moon and Back

Maydearly

 


Kata Pengantar Buku Tarian Aksara Penuh Makna

Dahulu aku sering bertanya sendiri; kalau puisi itu berwujud, akan seperti apakah dia? Matahari? Bulan? Bintang? Gunung? Laut? Bertahun lalu...