Sabtu, 09 September 2023

Ayat Cinta Untuk Yogyakartaa

Mengenang kembali tentang Yogyakarta, seperti menyeduh ingatan di larik rasa. Banyak episode yang patut dirindui yang bahkan aku cemburui dari dilatasi waktu. Bagaimana tidak, ingatan itu hampir usang tatkala sang kaki terakhir menginjak  Jogja tahun 2010 lalu.

Masa itu adalah 10 tahun yang lalu ketika masih menyandang gelar mahasiswa sarjana. Meski tak berkuliah di Jogja tapi hampir setiap bulan derap langkah kaki ini menuju Jogja demi eforia ruang rindu kepada sang adik yang berkuliah disana. Sebut saja diriku dengan sebutan ‘Neneng Kurir’ dimana setiap bulan aku harus mengirim  uang untuk adik perempuanku. Bak  menelan asam garam sejatinya selalu ada cerita manis dan pahit di setiap perjalanan antara Lebak-Yogjakarta.

Patut ku hitung rupa ingatan, bagaimana sang kaki mengembara ke setiap sudut Jogja termasuk ke beberapa tempat wisata. Di antara sekumpulan destinasi wisata, yang paling piawai berkawan di ingatan adalah taman wisata Kali Urang. Sensasi adrenalin yang begitu besar pernah aku pertaruhkan di tempat wisata ini. Dimana ketika itu aku ditemani teman adikku diajak mendaki ketinggian lereng Gunung Merapi. Betapa pengalaman ini menciptakan deret nafas null or constant, tebing yang licin serta jarak yang panjang membuat langkah kaki terasa berat.

Suasana dingin yang acap kali mengkuliti nadi, seakan menusuk tulang belulang menjadi kaku tak berdaya. Tak sia-sia pendakian panjang itu terbayar ketika sudah sampai di ketinggian lereng merapi. Sajian panorama yang memanjakan mata, belaian angin yang menambah irama gembira, seakan menyekat embargo jalan pulang, hehe. Setalah 2 jam berada di bukit Kali Urang, akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke tempat kost adikku. 

Tak lengkap rasanya jika Jogja tak memberiku arupa cerita tentang Kraton dan Malioboro. Iyes, keduanya adalah destinasi wisata terfavorit yang pernah aku kunjungi dahulu. Sang Malioboro adalah pesona yang menunjukan kearifan budaya begitu kentara. Aku pernah berkencan dengan gudeg dan pecel Jogja yang rasanya manjalita, sensasi manis pada pecel dan gudeg, seperti meninggalkan aroma semanis madu. Tempe bacem adalah makanan favoritku, rasanya yang unik membuat lidah semakin tertarik. Apalagi jika disandingkan dengan nasi kucing yang dimakan di angkringan. Lezatnya seperti jatuh cinta untuk sekian dekade. 

Tak kalah menarik, bakpia Jogja adalah mantan terindah di lidahku. Ingatanku mencatat jika aku pernah jatuh cinta pada gigitan pertama kepada sang Bakpia. Seandainya bisa ku pindahkan, ingin rasanya ku boyong pabrik Bakpia untuk kubawa ke suku Baduy, haha. Terimakasih Malioboro, hadirmu membawa sejuta cerita untuk seluruh wisatawan yang mengunjungimu. Seandainya di izinkan kembali ke Jogja, maka aku takan melewatkan kesempatan untuk mencuci mata dan mencuci isi dompet.

Jujur kukatakan, Jogja selalu menawan hatiku dalam kerinduan. Terlalu banyak ayat cinta jika harus dijabarkan. Semua tentang Jogja membuatku jatuh cinta.

Meski aku pernah mengunjungimu sepuluh tahun lalu, namun Jogja memberiku banyak cerita. Cerita itu seperti hikayat prosa yang kelak di sadur  dalam kehidupan anak cucu kita. Setiap langkah masih teringat jelas betapa lika-liku itu sungguh menyenangkan, bahkan sempat menyedihkan. Dari sinilah perjalanan panjang  itu di mulai yang mengajariku betapa dunia ini luas akan segala keindahan, rintangan, kebahagiaan, bahkan kesedihannya.

Tak semudah seperti sekarang, dulu pada tahun 2010 mendapatkan tiket kereta itu begitu sulit. Antrian yang begitu panjang dengan jumlah orang yang mencapai ratusan. Sangat berbeda dengan sekarang dimana bisa membeli tiket secara online dan di tukar di stasiun. Kalau saja terlalu lama di antrian, kita pun tertinggal oleh jadwal keberangkatan kereta. Iyes meskipun sampai saat ini sedikit sulit mendapatkan tiket kereta dengan rute pulau jawa. Biasanya untuk mencapai Jogja aku harus berangkat dari Lebak jam 2 siang dan tiba di jakarta Pasar Senin jam 5 sore. Rute Kereta Senin-Lempuyangan berangkat jam 19.00, ada waktu sekitar kurang lebih 2 jam untuk solat, makan dan persiapan pemberangkatan/menunggu kereta. 


Tut...tut..tuuuuutt sirine kereta mulai disuarakan sebuah tanda si ‘ulat baja’ siap melayani penumpang. Dengan segera aku langkahkan kaki dan memasuki. Dari tiket yang kita pegang sudah terdapat petunjuk akan tempat yang kita duduki mulai dari nomor gerbong hingga nomor kursi. Jagijug gujag-gijug kereta berangkat.... seperti lirik lagu yak, hihihi...

Aku pun melewati malam panjang dengan tidur di kereta. Perjalanan yang lelah dengan pundak yang berat, pipi yang sembab dan mata yang loyo karena tak sebegitu nyenyak dengan tidur di atas kasur. Akhirnya  aku lewati perjalanan itu dimulai dari Stasiun Lempuyangan menuju Jakarta. Memorable experience yang ku dapati disini yaitu hampir tak kutemui angkot karena setiap perjalanan dilewati menggunakan ‘bus trans’ yang berhenti dari halte ke halte. Betapa bahagia tinggal di Jogja meski hanya menikmati sebulan sekali tetapi segala kenangan ini begitu memorable. Begitulah Jogja, lidah ini kelu jika harus mengukir semua cerita tentang Jogja.

Sore itu adalah perjalananku dari Jogja menuju Lebak. Kaki tegap berdiri menunggu sang ulat baja tiba di stasiun Lempuyangan. Dengan  decak semangat ingin segera kembali ke kampung halaman. Sekitar jam 5 sore kereta pun mulai disiapkan. Kaki  bergegas memasuki gerbong dan mencari tempat duduk. Suasana yang begitu riuh, bising, padat berdesak antara penumpang dan pedagang. Dulu penumpang berjualan bebas di kereta, mereka menjajakan dagangan mereka dari Jogja sampai Cirebon.


Di stasiun Cirebon mereka singgah dan kembali menaiki kereta menuju Jogja sebagai arah pulang. Sore itu suasana sangat tidak nyaman seperti sebuah  firasat buruk hendak terjadi. Mulai dari tempat duduk yang amat sesak dengan penumpang, dan pedagang yang hilir mudik setiap detik. Karena kursi panjang berhadapan tempat duduk yang penuh dengan penumpang, aku pun duduk di kursi paling ujung. Rasanya tak terima dengan suasana ini tapi aku tak bisa egois karena mereka para penumpang di samping dan di depanku sudah separuh baya. Aku pun harus mengalah walau sudah terbayang kelelahan yang harus ku tanggung dalam semalam. Tak ada celoteh yang bisa ku suarakan karena tak mengenal salah satu pun dari mereka, aku hanya duduk dengan memainkan jari pada handphone. Waktu itu HP tak secanggih saat ini, salag satu Hp tercanggih bermerk Nokia.

Malam semakin gulita, ku tengok jam di HP menunjuk angka 11, aku putuskan untuk tidur sekejap karena duduk di kursi paling ujung tak akan  se-nyenyak tidur di kursi yang menempel pada dinding kereta. Tidurku terus terjaga setiap suara masih terdengar riak. Setiap gerakan masih terasa, namun entah di menit ke berapa  aku pun terpulas. Tak lama setelah itu kereta terdiam ternyata kami sudah sampai di Cirebon. Kereta biasanya berhenti pada jam 12 malam di Cirebon dengan jeda yang lama sekitar satu jam. Karena tersadar kereta tak bergerak aku pun terbangun dan melihat sekitar. 

Pada saat itu ‘I was very shocked’ tas selempangku terbuka, kemudian kuraba semua isi tas and Oh My God, seseorang mencuri dompetku hiks..hik...hiks. Rasanya sangat panik ingin menangis, menjerit tak tahu harus bagaimana? Tapi rasa malu lebih besar dari rasa marah. Semua penumpang di sampingku bertanya ‘Ada apa Mbae?’ tanya wanita renta di sebelahku ‘dompet saya hilang Bu, sepertinya saya kecopetan’ jawabku panik. Mereka kemudian menatapku iba dan terus bertanya, Mba’e pulangnya kemana? Masih Jauh ora? Punya Saudara  di Jakarta? Semua pertanyaan itu aku jawab setelah menghela nafas panjang.

Seulas cerita tentang si dompet, jadi ketika aku pulang dari Jogja hanya dengan bekal uang lima puluh ribu sisa membeli tiket. Uang itu sudah aku perhitungkan dan pasti cukup untuk pulang ke Lebak, karena bagi mahasiswa, naik angkutan umum biasanya bayar setengah harga. Aku pun masih bingung memikirkan bagaimana cara pulang, sama sekali tak ada uang sepeser pun. Dompet dengan segala kartu kosongnya raib di tangan orang jail. 

Gumamku dalam hati ‘Kasian banget kamu copet, dapat dompet isinya cuma gocap, ada atm saldonya kosong pulak haha..haaa. Di tengah larutnya aku lamunan, tiba-tiba mereka saling berbisik dan ternyata mereka memberiku uang yang cukup untuk untuk pulang. Maha Besar Allah dengan segala pertolongan-Nya. ‘Mbae iki cukup ora? Kalo gak cukup ta tambahin lagi? Tanya si wanita renta di sampingku sambil menyodorkan uang sejumlah 300.000 rupiah. Seketika aku menangis haru betapa pertolongan Allah itu nyata.

Aku hanya kehilangan uang Rp 50.000, dan mereka ganti dengan uang Rp 300.000. Rasa haru campur bahagia sampai tak kuasa berkata apa-apa, aku cium tangan mereka semuanya seperti baktiku pada orangtua. Air mata pun mengalir dengan deras tanpa tertahan. Demi Allah sampai detik hingga kutuliskan cerita ini takan pernah melupakan jasa mereka, semoga Allah balas dengan segala kebaikan dan kemurahan rejeki meski tak saling mengenal, meski hanya bertemu sakali seumur hidup pada-Mu kupintakan untuk kebaikan untuk hidup mereka.

Dari kejadian itu aku pun tak sanggup melanjutkan tidurku hingga waktu menujukkan pukul 3 dini hari. Sang kereta kemudian tiba di Stasiun Pasar Senin. Sedikit lega akhirnya aku sampai di Jakarta dan hanya  beberapa jam lagi perjalananku menuju Lebak. Dari stasiun Pasar Senin aku melanjutkan perjalananku menuju Stasiun Tanah Abang, aku putuskan untuk menaiki oplet 05 Jurusan Senin THB. Setibanya di Tanah Abang aku belanjakan uang tiga ratus ribu itu dengan membeli baju dan macam oleh-oleh. Hatiku bergumam ‘Lucu sekali sekali cerita hari ini, malam kecopetan dan pagi berbelanja hahahaha. Zaman dulu uang tiga ratus ribu rasanya senilai dengan lima ratus ribu, dan untuk kelas mahasiswa seperti aku rasanya masih jarang pegang uang dengan nilai ratusan pada masanya. Beda lah yak dengan uang zaman now, uang tiga ratus ribu hanya cukup untuk ongkos pulang pergi Jakarta-Lebak.

Cerita ini rasanya masih seperti anekdot, biasanya aku hanya mendengar  cerita orang kecopetan. Tapi, Masya Allah ternyata aku juga harus mengalaminya. Dari sini aku benar-benar memahami bahwa pertolongan Allah itu benar nyata, dan datang dengan sekejap apabila kita berserah diri. Allah dulu, Allah lagi dan Allah terus. Insyaallah yakini, pertolongan itu benar-benar nyata.



 









Kata Pengantar Buku Tarian Aksara Penuh Makna

Dahulu aku sering bertanya sendiri; kalau puisi itu berwujud, akan seperti apakah dia? Matahari? Bulan? Bintang? Gunung? Laut? Bertahun lalu...