Ketika menanti senja hanya dengan menatap padang ilalang, seketika hati teringat akan suatu masa tentang jejak langkah di stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Masa itu adalah 10 tahun yang lalu ketika masih menyandang gelar mahasiswa sarjana. Meski tak berkuliah di Jogja tapi hampir setiap bulan derap langkah menuju Jogja demi menengok sang adik yang berkuliah disana. Jadi ceritanya aku ini dulu nya ‘Neneng kurir’ yang setiap bulan harus mengirim uang untuk adik perempuan ku. Bak menelan asam garam sejatinya selalu ada cerita manis dan pahit di setiap perjalanan Lebak-Jogja.
Cerita itu seperti hikayat
prosa yang kelak di sadur dalam
kehidupan anak cucu kita. Setiap langkah masih teringat jelas betapa lika liku
itu sungguh menyenangkan, bahkan sempat menyedihkan. Dari sinilah perjalanan panjang
itu di mulai yang mengajariku betapa dunia
ini luas akan segala keindahan, rintangan, kebahagiaan, bahkan kesedihannya.
Tak semudah seperti
sekarang, dulu pada tahun 2010 mendapatkan tiket kereta itu begitu sulit. Antrian
yang begitu panjang dengan jumlah orang yang mencapai ratusan. Sangat berbeda
dengan sekarang dimana bisa membeli tiket secara online dan di tukar di
stasiun. Kalau saja terlalu lama di antrian, kita pun tertinggal oleh jadwal
keberangkatan kereta. Ya meskipun sampai saat ini sedikit sulit mendapatkan
tiket kereta dengan rute pulau jawa. Biasanya untuk mencapai Jogja aku harus
berangkat dari Lebak jam 2 siang dan tiba di jakarta Pasar Senin jam 5 sore. Rute
Kereta Senin-Lempuyangan berangkat jam 19.00, ada waktu sekitar kurang lebih 2
jam untuk solat, makan dan persiapan pemberangkatan/menunggu kereta. Tut tut
sirine kereta mulai di suarakan sebuah tanda si ‘ulat baja’ siap melayani
penumpang. Dengan segera aku langkah kan kaki dan masuk kedalam kereta. Dari tiket
yang kita pegang sudah terdapat petunjuk akan tempat yang kita duduki muai dari
nomor gerbong hingga nomor kursi. Jaggijug gujag-gijug kereta berangkat (sudah
seperti lirik lgu saja ya) hihi dan aku pun melewati malam panjang dengan tidur
di kereta. Perjalanan yang lelah dengan pundak yang berat, pipi yang sembab dan
mata yang loyo karena tak senyenyak tidur di atas kasur. Akhirnya aku lewati perjalanan itu dengan tiba di Stasiun
Lempuyangan pada pukul 6 pagi. Dua hari ku habis kan seluruh waktuku dengan menikmati
segala keindahan Jogja. Menikmati segala ke elokan budayanya, dan segala
keramahan warganya. Disini hampir tak ku dapati angkot karena setiap perjalanan
di lewati menggunakan ‘bus trans’ yang berhenti dari halte ke halte. Betapa bahagia
tinggal disana meski hanya menikmati sebulan sekali tetapi segala kenangan ‘in memoriam’.
Begitulah Jogja, lidah ini kelu jika harus mengandai kan semua tentang Jogja.
Sore itu adalah
perjalanan pulang ku dari Jogja menuju Lebak. Kaki tegap berdiri menunggu sang
ulat baja tiba di stasiun Lempuyangan. Dengan decak semangat ingin segera kembali ke kampung
halaman. Sekitar jam 5 sore kereta pun mulai di siap kan. Kaki bergegas memasuki gerbong dan mencari tempat
duduk. Suasana yang begitu riuh, bising, padat berdesak antara penumpang dan
pedagang. Dulu penumpang berjualan bebas di kereta, mereka menjajakan dagangan
mereka dari Jogja sampai Cirebon. Di stasiun Cirebon mereka singgah dan kembali
menaiki kereta menuju Jogja sebagai arah pulang. Sore itu suasana sangat tidak
nyaman seperti sebuah firasat buruk hendak
terjadi. Mulai dari tempaat duduk yang amat sesak dengan penumpang, dan
pedagang yang hilir mudik setiap detik. Karena kursi panjang berhadapan tempat
duduku penuh dengan penumpang, aku pun duduk di paling ujung. Rasanya tak
terima dengan suasana ini tapi aku tak bisa egois karena mereka para penumpang
di samping dan di depan ku sudah separuh baya. Aku pun harus mengalah walau
sudah terbayang kelelahan yang harus ku tanggung dalam semalam. Tak ada celoteh
yang bisa ku suarakan karena tak mengenal salah satu pun dari mereka, aku hanya
duduk dengan memainkan jari pada handphone. Waktu itu HP tak secanggih saat
ini, paling canggih itu HP dengan merk Nokia.
Malam semakin gulita, ku
tengok jam di HP menunjuk angka 11, aku putuskan untuk tidur sekejap karena
duduk di kursi paling ujung tak akan senyenyak tidur di kursi yang menempel pada
dinding kereta. Tidur ku terus terjaga setiap suara masih terdengar riak. Setiap
gerakan masih terasa, namun entah di menit ke berapa aku pun terpulas. Tak lama setelah itu kereta
terdiam ternyata kami sudah sampai di Cirebon. Kereta biasanya berhenti pada
jam 12 malam di Cirebon dengan jeda yang lama sekitar satu jam. Karena tersadar
kereta tak bergerak aku pun terbangun dan melihat sekitar. Pada saat itu ‘ I
was very shocked’ tas selempang ku terbuka aku raba semua isi tas dan Oh
My God, seseorang mencuri dompet ku hiks hiks hiks. Rasanya sangat panik ingin
menangis, menjerit tak tahu harus bagaimana? Tapi rasa malu lebih besar dari rasa
marah. Semua penumang di samping ku bertanya ‘Ada apa mbae?’ tanya wanita renta
di sebelah ku ‘dompet saya hilang bu, sepertiny saya kecopetan’ jawab ku panik.
Mereka pun menatap ku iba dan terus bertanya, Mba’e pulang nya kemana? Masih
Jauh ora? Punya sodara di Jakarta? Semua
pertanyaan itu aku jawab setelah menghela nafas panjang.
Seulas cerita tentang si
dompet, jadi aku pulang dari Jogja hanya dengan bekal uang lima puluh ribu sisa
membeli tiket. Uang itu sudah aku perhitungkan dan pasti cukup untuk pulang ke
Lebak, karena mahasiswa kalau naik angkutan umum biasanya bayar setengah harga.
Aku pun masih bingung memikir kan bagaimana cara pulang, sama sekali tak ada
uang sepeser pun. Dompet dengan segala kartu kosong nya raib di tangan orang
jail. Gumam ku dalam hati ‘Kasian banget kamu copet, dapat dompet isinya cuma gocap,
ada atm saldonya kosong pulak hahahahahaaa. Di tengah larut nya aku dalam
lamunan, tiba-tiba mereka saling berbisik dan ternyata mereka melakukan
sirkulir untuk mengganti uang ku yang hilang. Maha Besar Allah dengan segala
pertolongn Nya. ‘Mbae iki cukup ora? Kalo gak cukup ta tambahin lagi? Tanya si
wanita renta di samping ku sambil menyodor kan uang sejumlah tiga ratus ribu.
seketika aku menangis haru betapa pertolongan Allah itu nyata. Aku hanya
kehilangan uang lima puluh ribu, dan mereka ganti dengan uang tiga ratus ribu. Rasa
haru campur bahagia sampai tak kuasa berkata apa-apa, aku cium tangan mereka
semua nya seperti baktiku pada orangtua. Air mata pun mengalir dengan deras
tanpa tertahan. Demi Allah sampai detik hingga ku tulis kan cerita ini takan
pernah melupakan jasa mereka, semoga Allah balas dengan segala kebaikan dan
kemurahan rejeki meski tak saling mengenal, meski hanya bertemu sakali seumur
hidup pada Mu ku pintakan untuk segala kebaikan mereka.
Dari kejadian itu aku pun
tak sanggup melanjut kan tidur ku hingga waktu menujukan pukul 3 dini hari, dan
kereta tiba di Stasiun Senin. Sedikit lega akhir nya aku sampai di Jakarta dan hanya
beberapa jam lagi perjalanan ku menuju
Lebak. Dari stasiun Pasar Senin aku melanjutkan perjalanan ku menuju Stasiun
Tanah Abang, aku putus kan untuk menaiki oplet 05 Jurusan Senin THB. Setibanya
di Tanah Abang aku belanjakan uang tiga ratus ribu itu dengan membeli baju dan
macam oleh-oleh. Hatiku bergumam ‘Lucu sekali sekali cerita hari ini, malam kecopetan
dan pagi berbelanja hahahaha. Zaman dulu uang tiga ratus ribu rasanya senilai
dengan lima ratus ribu, dan untuk kelas mahasiswa seperti aku rasanya masih
jarang pegang uang dengan nilai ratusan pada masanya. Beda lah ya dengan zaman
now, uang tiga ratus ribu hanya cukup ongkos pulang pergi Jakarta Lebak.
Cerita ini rasanya masih
seperti anekdot, biasanya aku hanya mendengar cerita orang kecopetan. Tapi subhanallah
ternyata aku pun harus mengalaminya. Dari sini aku benar-benar memahami bahwa
pertolongan Allah itu nyata, dan hanya sekejap apabila kita berserah diri. Allah
dulu, Allah lagi dan Allah terus. Insyaallah yakini, pertolongan itu
benar-benar nyata.
Salam Pena Milenial
Maydearly 89
Lebak, 26 Maret 2021