Sabtu, 22 Januari 2022

Mengarungi Cerita Sang Takdir

 

"Hidup dan mati ada dalam genggaman Illahi. Takdir adalah kepastian, tapi hidup harus tetap berjalan. Proses kehidupan adalah hakikat, sementara hasil akhir hanyalah syariat. Gusti Allah akan menilai ketulusan perjuangan manusia, bukan hasil akhirnya. Kalaupun harus menjumpai kematian, itu artinya mati syahid di jalan Tuhan". Diponegoro (Pahlawan Nasional)

Hidup adalah sebuah perjalanan yang butuh spasi. Ada yang bertahan karena keharusan, tuntutan, dan cita-cita. Bagiku cita-cita bukanlah sebuah takdir, tetapi penunjuk arah menuju kesuksesan. Jalani dengan menabur kebaikan maka kita akan menuai takdir yang baik.

Cita-cita itu lahir dari potongan mimpi yang menyerap pada ruang kehidupan. Kita  hanya perlu menapaki irama yang sudah Tuhan susun dengan panduan melodi nan indah. Terkadang kita terlalu mengejar asa yang terlampau jauh tanpa tau jika bumi sudah menyuguhkan segala kebaikan dari yang teramat dekat. Apa yang teramat dekat itu? adalah Tuhan atas segala kebaikan-Nya.

Aku pernah ada pada titik merayu takdir, namun semakin ku rayu aku semakin terjatuh pada sumbu paling gelap. Ketika Dillan berkata jika 'Rindu itu berat' maka  bagiku yang amat berat adalah 'merayu takdir'.

Mengawali narasi ini, kuingin membawa kisahku pada atmosfer masa lalu. Berkelana mencari asa menyusuri jejak jati diri sebagai seorang mahasiswa, hingga pada masa itu tepatnya tahun 2009, sang takdir membawaku pada dimensi belajar menjadi seorang guru di  sebuah sekolah SD Kristen di pusat kabupaten di daerahku.

Menjadi seorang guru yang mengajar para siswa dengan beda keyakinan, menjadikanku seorang pribadi yang menguasai oase adaptasi. Enam bulan berselang, batin ini semakin lekat dengan mereka. Aku merasa sebagai pemilik takdir yang sempurna, mengajari mereka yang berbeda keyakinan menjadikanku lebih  tau cara menghargai budaya dan toleransi. Kedekatan diantara kami seakan menepis jarak jika aku dan para anak didiku tak seperti guru dan siswa melainkan seperti kakak dan adik.

Jalan hidup memang selalu misterius. Terkadang aku ingin menjadi penulis untuk narasi hidupku sendiri, namun Tuhan lah sang penguasa alur terbaik dalam hidup kita. Dalam hidup ini, kita tak melulu harus mempertahankan apa yang tak seharusnya menjadi milik kita. Kebersamaan yang indah tak selalu berbuah manis. Seperti kebersamaanku dengan anak didikku yang sampai pada episode 'memetik perpisahan’.

Babak perpisahan itu dimulai, ketika sang kepala sekolah memanggilku untuk menuju ruangannya. Kami berbicara serius penuh makna, yang sampai pada sebuah kesimpulan 'Jika ingin tetap mengajar, maka jangan berkerudung'. Ini tentu bukan sekedar perintah, melainkan memaki harga diri. Aku takan menggadaikan agamaku hanya demi sebuah jabatan atau pekerjaan.

Percakapan serius itu, hanya berlangsung lima menit. Tak perlu berpikir panjang, aku memberikan jawaban yang paling tegas terhadap kepala sekolah, sebuah jawaban  paling terhormat dengan pernyataan 'mengundurkan diri'. Sejak itu, terputuslah ikatanku dengan mereka. Dengan lembaga, dengan siswa dan dengan seluruh rekan yang pernah membersamaiku.

Ini bukan lagi tentang profesionalisme, tetapi menjaga akidah dan kehormatan agama. Bukan salah mereka, tetapi aku terlalu semangat dalam merayu takdir. Seharusnya sedari awal aku sudah tau dengan konsekuensinya, tetapi aku berusaha menepis hingga kecewa pada akhirnya.

Rasa kecewa  itu, ku bawa lari ke kampung halaman. Batinku koyak bak menerbangkan kepakan mimpi yang berserak di udara. Beranda kalbu mengajaku untuk menyepi dari keramaian dan berserah pada Illahi.

Hingga sampai pada binar waktu, sang takdir mengutus seseorang menuju rumahku. Ia adalah teman ibuku yang datang bertamu. Seorang tamu yang merupakan guru  SMP pelosok di kecamatanku. Ia datang dengan memberi kabar terbaik yaitu meminangku menjadi guru Bahasa Inggris di sekolahnya.

Di saat itu aku seakan mengintip bintang-bintang yang bersembunyi siap mengawal langkahku menuju kehidupan baru. Menjadi seorang guru bahasa Inggris di sekolah satu atap membuatku belajar banyak hal. Belajar mengorbitkan mimpi yang dalam karena setiap mimpi adalah tujuan. Dua tahun berselang, tepatnya di 2011, sang takdir membawaku pada impian lainnya, yaitu mengajar di Sekolah SMP Negeri 1 Lebakgedong, sebuah sekolah yang sedari dulu aku impikan.

Rasa percaya diriku semakin meninggi, menjadi guru di dua sekolah negeri, melucuti relungku untuk menggoreskan tinta terbaik pada kanvas kehidupanku.

Sang waktu semakin menarik pelatuknya mengitari bulan dan tahun, hingga tak terasa pengabdianku menjadi guru honorer melebihi satu windu, ya tepatnya 12 Tahun. Selama perjalanan itu, banyak cakrawala yang kulalui, di awali dengan mengajar sedari belia, hingga punya anak dua. Di awali dari mahasiswa sarjana, sampai lulus menjadi mahasiswa S2.

Durasi waktu yang kurasa teramat panjang, pernah kupergunakan untuk mengikuti seleksi Tes CPNS ketika 2015 dan 2017, namun sang waktu tak berpihak, ia memaksaku untuk terus terjerambab pada lingkaran sekolahku yaitu SMPN 1 Lebakgedong.

Sang dewi fortuna itu kemudian datang dengan membawa angin segar, tepatnya di awal tahun 2021 Pemerintah mengadakan rekrutmen ASN dengan jalur PPPK. Kesempatan yang sedikit membuatku dilema, di satu sisi lowongan menjadi dosen di Universitas Pakuan Bogor sudah melambai-lambai di depan mata, di lain sisi kesempatan ASN PPPK belum tentu datang dua kali.

Dengan mengucap ‘Bismillah’ akhirnya kumantapkan pilihan dengan mengambil jalur ASN PPPK. Tahap demi tahap kulewati dengan nuansa syukur. Karena dengan mengucap rasa syukur akan memperlambat ketinggian hati dari rasa kufur.

Hingga garis waktu merangkak maju, sampai di tepian pada hari pelaksanaan tes itu.  Riak hujan yang bersenandung mengiringi langkahku menuju tempat tes itu, tak mampu mengalahkan semangatku yang begitu mengembara. Lantunan doa  tiada henti diantara garis bibirku, berharap agar hujan reda dan tes hari itu berjalan dengan lancar.

Simpony keadaan berkata lain, tempat yang akan dijadikan tes PPPK tersebut ternyata terendam banjir. Semangat yang mulanya mengapi tetiba dipatahkan oleh keadaan. Hingga aku harus batal mengikuti ujian pada hari itu, tepatnya hari selasa 14 September 2021.

 


Jadwal tes pun terpaksa harus mundur di tiga hari berikutnya, tepatnya hari sabtu, 18 September 2021. Serangkaian episode itu dimulai, badanku yang panas mengigil merasakan lecutan rasa sakit dari infeksi di bagian dada, membuat kensentrasiku sedikit buyar dalam mengerjakan soal tes.

Hitungan detik bergelantung di pojok monitorku, hingga 2 jam berlalu dan tersisa 10 menit dari sekian soal yang ku kerjakan, aku putuskan untuk mengahiri. Apapun  hasilnya kupercayakan pada qadarullah nya sang Khalik.

Dalam hitungan minggu tepatnya enam minggu dari tes tersebut, babak baru itu di mulai. Sebuah hari yang mengubah butir kegundahan, menjadi kilauan bahagia yang bertaburan. Tepatnya hari Jum’at 29 Oktober 2021, kurang lebih satu bulan dari hari tes tersebut.  Hari yang tak akan aku lupakan sepanjang sejarah, terkenang sepanjang ingatan dan kuabadikan dalam narasi ini. Ya, itu adalah hari dimana aku menerima pengumuman kelulusan ASN PPPK.

Haru biru perjalananku 12 tahun menjadi guru honorer seperti terbayar dengan sebuah kebahagiaan yang luarbiasa. Rasa bangga itu tersemat dalam hatiku, dimana aku bisa lolos seleksi dengan melewati passing grade dan tanpa afirmasi apapun, suatu keberhasilan yang tak didapatkan semua orang. 

Yakinlah dengan sebuah usaha, hasil yang kita dapatkan adalah cerminan yang kita kerjakan. Namun yang paling besar dari itu semua adalah cara Tuhan dalam menguji kita. Mendaki cita-cita bukanlah melompat melewati samudra, tapi berjalan setapak demi setapak menuju puncak.

Kata Pengantar Buku Tarian Aksara Penuh Makna

Dahulu aku sering bertanya sendiri; kalau puisi itu berwujud, akan seperti apakah dia? Matahari? Bulan? Bintang? Gunung? Laut? Bertahun lalu...