"Hidup dan mati ada dalam genggaman Illahi. Takdir adalah
kepastian, tapi hidup harus tetap berjalan. Proses kehidupan adalah hakikat,
sementara hasil akhir hanyalah syariat. Gusti Allah akan menilai ketulusan
perjuangan manusia, bukan hasil akhirnya. Kalaupun harus menjumpai kematian,
itu artinya mati syahid di jalan Tuhan". Diponegoro (Pahlawan
Nasional)
Hidup adalah sebuah perjalanan yang butuh spasi. Ada yang bertahan
karena keharusan, tuntutan, dan cita-cita. Bagiku cita-cita bukanlah sebuah
takdir, tetapi penunjuk arah menuju kesuksesan. Jalani dengan menabur kebaikan
maka kita akan menuai takdir yang baik.
Cita-cita itu lahir dari potongan mimpi yang menyerap pada ruang
kehidupan. Kita hanya perlu menapaki
irama yang sudah Tuhan susun dengan panduan melodi nan indah. Terkadang kita
terlalu mengejar asa yang terlampau jauh tanpa tau jika bumi sudah menyuguhkan
segala kebaikan dari yang teramat dekat. Apa yang teramat dekat itu? adalah
Tuhan atas segala kebaikan-Nya.
Aku pernah ada pada titik merayu takdir, namun semakin ku rayu aku
semakin terjatuh pada sumbu paling gelap. Ketika Dillan berkata jika 'Rindu itu
berat' maka bagiku yang amat berat adalah 'merayu takdir'.
Mengawali narasi ini, kuingin membawa kisahku pada atmosfer masa lalu. Berkelana
mencari asa menyusuri jejak jati diri sebagai seorang mahasiswa, hingga pada
masa itu tepatnya tahun 2009, sang takdir membawaku pada dimensi belajar
menjadi seorang guru di sebuah sekolah
SD Kristen di pusat kabupaten di daerahku.
Menjadi seorang guru yang mengajar para siswa dengan beda keyakinan,
menjadikanku seorang pribadi yang menguasai oase adaptasi. Enam bulan
berselang, batin ini semakin lekat dengan mereka. Aku merasa sebagai pemilik
takdir yang sempurna, mengajari mereka yang berbeda keyakinan menjadikanku
lebih tau cara menghargai budaya dan toleransi. Kedekatan diantara kami
seakan menepis jarak jika aku dan para anak didiku tak seperti guru dan siswa
melainkan seperti kakak dan adik.
Jalan hidup memang selalu misterius. Terkadang aku ingin menjadi penulis
untuk narasi hidupku sendiri, namun Tuhan lah sang penguasa alur terbaik dalam
hidup kita. Dalam hidup ini, kita tak melulu harus mempertahankan apa yang tak
seharusnya menjadi milik kita. Kebersamaan yang indah tak selalu berbuah manis.
Seperti kebersamaanku dengan anak didikku yang sampai pada episode 'memetik
perpisahan’.
Babak perpisahan itu dimulai, ketika sang kepala sekolah memanggilku
untuk menuju ruangannya. Kami berbicara serius penuh makna, yang sampai pada
sebuah kesimpulan 'Jika ingin tetap mengajar, maka jangan berkerudung'. Ini
tentu bukan sekedar perintah, melainkan memaki harga diri. Aku takan
menggadaikan agamaku hanya demi sebuah jabatan atau pekerjaan.
Percakapan serius itu, hanya berlangsung lima menit. Tak perlu berpikir
panjang, aku memberikan jawaban yang paling tegas terhadap kepala sekolah,
sebuah jawaban paling terhormat dengan pernyataan 'mengundurkan diri'.
Sejak itu, terputuslah ikatanku dengan mereka. Dengan lembaga, dengan siswa dan
dengan seluruh rekan yang pernah membersamaiku.
Ini bukan lagi tentang profesionalisme, tetapi menjaga akidah dan
kehormatan agama. Bukan salah mereka, tetapi aku terlalu semangat dalam merayu
takdir. Seharusnya sedari awal aku sudah tau dengan konsekuensinya, tetapi aku
berusaha menepis hingga kecewa pada akhirnya.
Rasa kecewa itu, ku bawa lari ke
kampung halaman. Batinku koyak bak menerbangkan kepakan mimpi yang berserak di
udara. Beranda kalbu mengajaku untuk menyepi dari keramaian dan berserah pada
Illahi.
Hingga sampai pada binar waktu, sang takdir mengutus seseorang menuju
rumahku. Ia adalah teman ibuku yang datang bertamu. Seorang tamu yang merupakan
guru SMP pelosok di kecamatanku. Ia
datang dengan memberi kabar terbaik yaitu meminangku menjadi guru Bahasa
Inggris di sekolahnya.
Di saat itu aku seakan mengintip bintang-bintang yang bersembunyi siap
mengawal langkahku menuju kehidupan baru. Menjadi seorang guru bahasa Inggris
di sekolah satu atap membuatku belajar banyak hal. Belajar mengorbitkan mimpi
yang dalam karena setiap mimpi adalah tujuan. Dua tahun berselang, tepatnya di
2011, sang takdir membawaku pada impian lainnya, yaitu mengajar di Sekolah SMP
Negeri 1 Lebakgedong, sebuah sekolah yang sedari dulu aku impikan.
Rasa percaya diriku semakin meninggi, menjadi guru di dua sekolah
negeri, melucuti relungku untuk menggoreskan tinta terbaik pada kanvas
kehidupanku.
Sang waktu semakin menarik pelatuknya mengitari bulan dan tahun, hingga
tak terasa pengabdianku menjadi guru honorer melebihi satu windu, ya tepatnya
12 Tahun. Selama perjalanan itu, banyak cakrawala yang kulalui, di awali dengan
mengajar sedari belia, hingga punya anak dua. Di awali dari mahasiswa sarjana,
sampai lulus menjadi mahasiswa S2.
Durasi waktu yang kurasa teramat panjang, pernah kupergunakan untuk
mengikuti seleksi Tes CPNS ketika 2015 dan 2017, namun sang waktu tak berpihak,
ia memaksaku untuk terus terjerambab pada lingkaran sekolahku yaitu SMPN 1
Lebakgedong.
Sang dewi fortuna itu kemudian datang dengan membawa angin segar,
tepatnya di awal tahun 2021 Pemerintah mengadakan rekrutmen ASN dengan jalur
PPPK. Kesempatan yang sedikit membuatku dilema, di satu sisi lowongan menjadi
dosen di Universitas Pakuan Bogor sudah melambai-lambai di depan mata, di lain
sisi kesempatan ASN PPPK belum tentu datang dua kali.
Dengan mengucap ‘Bismillah’ akhirnya kumantapkan pilihan dengan
mengambil jalur ASN PPPK. Tahap demi tahap kulewati dengan nuansa syukur. Karena
dengan mengucap rasa syukur akan memperlambat ketinggian hati dari rasa kufur.
Hingga garis waktu merangkak maju, sampai di tepian pada hari
pelaksanaan tes itu. Riak hujan yang
bersenandung mengiringi langkahku menuju tempat tes itu, tak mampu mengalahkan semangatku
yang begitu mengembara. Lantunan doa tiada
henti diantara garis bibirku, berharap agar hujan reda dan tes hari itu
berjalan dengan lancar.
Simpony keadaan berkata lain, tempat yang akan dijadikan tes PPPK
tersebut ternyata terendam banjir. Semangat yang mulanya mengapi tetiba
dipatahkan oleh keadaan. Hingga aku harus batal mengikuti ujian pada hari itu,
tepatnya hari selasa 14 September 2021.
Jadwal tes pun terpaksa harus mundur di tiga hari berikutnya, tepatnya
hari sabtu, 18 September 2021. Serangkaian episode itu dimulai, badanku yang
panas mengigil merasakan lecutan rasa sakit dari infeksi di bagian dada,
membuat kensentrasiku sedikit buyar dalam mengerjakan soal tes.
Hitungan detik bergelantung di pojok monitorku, hingga 2 jam berlalu dan
tersisa 10 menit dari sekian soal yang ku kerjakan, aku putuskan untuk
mengahiri. Apapun hasilnya kupercayakan
pada qadarullah nya sang Khalik.
Dalam hitungan minggu tepatnya enam minggu dari tes tersebut, babak baru
itu di mulai. Sebuah hari yang mengubah butir kegundahan, menjadi kilauan
bahagia yang bertaburan. Tepatnya hari Jum’at 29 Oktober 2021, kurang lebih
satu bulan dari hari tes tersebut. Hari yang
tak akan aku lupakan sepanjang sejarah, terkenang sepanjang ingatan dan
kuabadikan dalam narasi ini. Ya, itu adalah hari dimana aku menerima pengumuman
kelulusan ASN PPPK.
Haru biru perjalananku 12 tahun menjadi guru honorer seperti terbayar
dengan sebuah kebahagiaan yang luarbiasa. Rasa bangga itu tersemat dalam
hatiku, dimana aku bisa lolos seleksi dengan melewati passing grade dan tanpa afirmasi apapun, suatu keberhasilan yang
tak didapatkan semua orang.
Yakinlah dengan sebuah usaha, hasil yang kita dapatkan adalah cerminan
yang kita kerjakan. Namun yang paling besar dari itu semua adalah cara Tuhan
dalam menguji kita. Mendaki cita-cita bukanlah melompat melewati samudra, tapi
berjalan setapak demi setapak menuju puncak.
Enak banget bacanya, adeeem dihati.
BalasHapus