Senin, 31 Oktober 2022

Pinangan Datang


“Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan dari padanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya…..(QS Al-A’raaf 7:189)”

Hari-hari bak sebuah keranda dalam benak Astuti. Jiwanya terbata-bata mengapung menelan cerita yang hendak menjadi apa. Sebuah peristiwa datang begitu tiba-tiba, peristiwa yang mengubah statusnya dari gadis untuk menjadi Ibu rumah tangga. Entah ia harus pasrah menerima atau lari menolaknya. 

Pak Ardani yang baru empat bulan menduda secara tiba tiba berusaha singgah di singgasana hati Astuti, sungguh membuat Astuti termenung begitu heran. Berdasarkan kriteria apa dia meminang nya. Astuti hanya seorang guru muda dari kota kecil, tidak cantik bila dibanding dengan guru muda lain yang ada di dua sekolah tempat mereka mengajar. Tidak pernah menaruh rasa simpati, apalagi membayangkan Pak Ardani menjadi suaminya. Jauh dalam bayangan apalagi  masuk dalam peta kehidupannya.

Berbeda dengan sang Ibunda. Bundanya berusaha agar Astuti mempertimbangkan lamaran itu. "Aku tahu Nduk, jiwamu hampa, Bunda tidak rela kau mondar mandir ke Solo mengejar impianmu yang tidak mungkin akan menjadi kenyataan. Satria itu sudah jadi milik orang lain” Bunda berulang selalu mengingatkan nya untuk melupakan mas Satria.

Sang Bunda begitu paham, akan perangai Astuti. Buah hatinya yang pendiriannya labil, mudah terpengaruh, angin-anginan, dan  mudah rapuh. Kadang ceria, tapi dalam hitungan menit bisa langsung uring-uringan tanpa sebab. Dalam kacamata Bundanya Astuti memendam luka dalam jiwanya. Itu lah sebabnya ketika ia secara tidak sadar pernah cerita tentang Pak Ardini yang sibuk, yang meminta Astuti mengajar di sekolah yang dia pimpin, dan kepribadian Pak Ardani yang  dianggap galak oleh Astuti, dijadikan alasan  Sang Bunda  untuk menemui Pak Ardani dan memintanya membimbing Astuti.

Berdasar sebuah kepercayaan dari Sang Bunda terhadap Pak Ardani, mungkin alasan itu juga yang dijadikan referensi Pak Ardani meminang nya. Sama sama berasal dari Solo, sedang patah hati dan mungkin juga merasa kasihan karena Astuti sudah berumur 25 tahun dan belum menikah. Padahal mereka terpaut usia 10 tahun.

Sang Bunda setuju dengan usul Pak Ardani untuk memperkenalkan anak anaknya kepada Astuti. Astuti sendiri mengiyakan dengan separuh hati. "Pokoknya jangan salahkan aku bila aku tidak bisa menerima mereka, atau aku tidak suka dengan Pak Ardani, seandainya hatiku tetap menolak, tolong jangan paksa aku” Itu ultimatum yang disampaikan  Astuti di depan Sang Bunda sebagai jawaban dari usul Pak Ardani.

Ada debar di antara kepulan udara di hari minggu itu. Sebuah cerita pertemuan antara Astuti dengan anak-anak Pak Ardani tersaji dalam secangkir bahagia. Sang Waktu kemudian tiba,  di minggu pagi datanglah Pak Ardani dengan kedua anak lelakinya, yang sulung berusia 7 tahun, dan adiknya 4 tahun. Ketika itu Astuti menyalami mereka dan menatap pandangannya, momen itu menjadi kenangan paling epik, hati Astuti bergetar bukan rasa benci yang timbul, takut atau marah, tapi sebuah rasa terketuk "Anak sekecil itu sudah kehilangan ibu” Batinnya bicara.

Di pertemuan pertama itu, mereka pergi ke Monas, menikmati udara pagi yang segar, mereka berlarian dan sibuk dengan mainannya. Sedang Astuti dan Pak Ardani membuka pembicaraan yang awalnya sangat kaku, bagaikan atasan dan anak buah. Sikap dan gayanya yang biasa dilihat di sekolah tidak tampak sama sekali. "Orang ini punya kepribadian ganda rupanya". Dia bisa tertawa lepas, bergurau dan begitu over protect terhadap Astuti dan anak anaknya.

Sejak perkenalan itu, mereka sering menghabiskan hari libur bersama, bisa ke Ancol, Kebun Binatang, atau ke tempat rekreasi lain untuk pendekatan yang lebih akrab diantara mereka. Kadang mereka juga mengunjungi si bungsu yang masih dititipkan di rumah Tantenya Pak Ardani. Maklum masih bayi,  tidak mungkin Pak Ardani yang super sibuk merawatnya. 

Sang Bayi itu sempat dititipkan di Rumah Sakit selama 2 bulan sebelum sampai akhirnya diputuskan untuk sementara dirawat oleh Tante Asih. Hmm bayi mungil yang lucu dengan mata lebar seperti mata BJ Habibie, dan mulutnya yang munggil membuat Astuti terenyuh melihatnya. Astuti seperti terjerat lebih lekat bak seekor lebah yabg mengisap kuntum bunga. Betapa ia jatuh cinta dengan bayi mungil itu. 

Seharusnya dia ada dalam pelukan hangat seorang ibu yang menjaganya sepenuh hati. Nyatanya sang Ibu pergi selamanya setelah jihad melawan maut dua hari setelah dia dilahirkan secara Caesar.

Berita Pak Ardani yang melamar Astuti jadi bahan pembicaraan di sekolah. Berbagai komentar pasti ada, berupa menanyakan langsung ke Pak Ardani dan Astuti, atau mereka membuat opini sendiri tentang berita lamaran itu. Selalu saja ada like dan dislike. Hal ini juga yang membuat mereka mempercepat pernikahan  mereka. Tadi nya sang Bunda menyarankan agar mereka bertunangan dulu, lebih mengenal satu dan yang lainnya terutama untuk bisa beradaptasi sama anak anak.

Demi menghindari fitnah, apalagi status Pak Ardani yang duda, akhirnya pernikahan itu dipercepat. Karena Astuti anak sulung dan Bundanya merasa ini pertama kali dia punya hajat, jadi walau waktunya singkat, Bundanya tetap menyiapkan yang terbaik menurut ukurannya. 

Hari bahagia itu kemudian tiba, kecemasan yang tadinya melahirkan pertanyaan seribu, kini dipertegas dengan tetes-tetes madu. Hampir semua family dari Solo diundang, Rias pengantin pun disiapkan dari Solo. Pesta pernikahan itu berlangsung dua hari. Ibundanya  mengelompokkan para tamu menjadi 3 bagian, karena kalau dijadikan satu tidak cukup tempatnya. Maklum mereka mengadakan pesta itu di rumah dengan meminjam halaman Pak Haji Ali.

Sebuah tradisi hajatan di betawi adalah mengundang (nanggap) Orkes Melayu atau film layar tancep. Mereka juga dulu pernah nanggap orkes melayu, ketika adik Astuti khitanan. Nanggap orkes melayu resikonya cukup tinggi, kadang dibarengi dengan perkelahian, adanya ajang judi dan memicu anak muda berjoged sambil minum bir dan minuman keras lainnya. Selain itu melibatkan orang banyak dan sangat melelahkan. Atas hal itu  Bundanya kemudian menjadi jera, tidak ingin nanggap orkes lagi di acara pesta pernikahan Astuti. Walau pun banyak tetangga mereka yang menyarakan untuk nanggap orkes lagi seperti waktu adiknya di khitan.

Momen paling indah dalam etalase hati Astuti adalah Prosesi akad nikah yang dilaksanakan pada pagi hari tepat jam 8. Sebuah momen yang sangat menyentuh hati Astuti, peristiwa paling mengharukan baginya. Proses dimana ia melepas masa lajang. Dan ia serahkan hidupnya kepada seorang duda beranak tiga yang tidak ia cintai. Kala itu, Astuti memohon doa restu kepada ayah kandungnya yaitu Pak Susilo, Pak Atmaja ayah tirinya dan Bunda, juga kedua mertuanya. 

Riak air mata berjatuhan tanpa ia rasa, akhirnya Astuti melihat sosok terbaik yang akan mendampinginya, memakaikan cincin di jemarinya, mencium keningnya, dan bersanding bahagia seperti luncuran emoji pada layar Hp. Astuti menangis, semua tingkah laku dan perilaku buruk yang pernah  ia alami ketika masih anak sampai lulus kuliah, terbayang di wajahnya. Mampu kah ia mendidik anak anaknya dengan baik, sanggupkah ia menjalani hidup sebagai ibu tiri dengan tiga anak yang masih kecil kecil. Astuti yang kemaren masih semaunya sendiri dan tidak punya tanggungjawab,  mulai saat ini sudah menjadi istri sekaligus jadi seorang ibu. Menikah dengan Pak Ardani, bak mendapatkan sebuah dorprize 'Beli satu dapat tiga' tentu menuntut Astuti agar punya kebesaran hati yang ekstra.

Sang Bunda ingin pesta pernikahan itu meriah dan terlihat sakral. Apalagi Bunda merasa sebagai orang Solo yang punya adat istiadat ketika menikahkan anak, Bundanya ingin memakai adat itu. Maka di hari itu bundanya menjadikan Astuti sebagai ratu yang dipajang di singgasana pelaminan. Ia kemudian menerima ucapan selamat dari orang sekampung yang diundang ibundanya. Hampir semua orang kampung dari sepuluh RT diundang Bundanya. Karena jam undangan  tidak dibatasi, para tamu datang se-sempatnya, ada yang siang, sore bahkan malam. Tinggal Astuti dan Mas Ardani yang kelelahan karena terus duduk dan berdiri  menerima ucapan selamat dari orang se-kampung selama seharian.

Hari minggu pesta masih dilanjutkan. Sang Bunda menerima tamu yang diistilahkan yang berdomisili agak jauh, teman, kerabat, family, dan pasien baru mau pun pasien yang baru. Ditambah kolega Bunda yang di Pasar minggu, Jatinegara, dan juga Klender. Bunda ingin melwujudkan rasa syukurnya bahwa tugas sebagai orangtua menikahkan anak bisa dilaksanakan. 

Sementara gawai bahagia sedang berpesta pora, Astuti dan Mas Ardani nampak menawan dengan memakai pakaian adat dari Solo. Sebuah kebaya hitam dengan wajah dipaes tata rambut di konde lalu dihiasi bunga melati, dan cunduk mentul di riasan kepala Astutu. Astuti terlihat manglingi. Karena ia tidak terbiasa dandan. Di hari itu ia merasa jadi Ratu paling sempura yang disalami setiap tamu yang datang.

Prosesi adat istiadat di pesta pernikahan itu, mereka laksanakan dengan utuh mulai dari pasrah temanten, lempar lemparan sirih, nginjak telur, sungkeman, kacar kucur dan juga ular ular. Semua berjalan hidmat, bagi tamu yang bukan orang jawa dan belum pernah menghadiri acara seperti itu, tentu bisa dijadikan pengalaman bagi mereka. Apalagi mereka juga menyajikan hiburan di panggung berupa tari srimpi dan jaipong, sedang tari gamyong digelar di hadapan para tamu. Singkat kata, pesta pernikahan Astuti dan Mas Ardani cukup meriah.

Ada hal yang paling  ia ingat dalam acara itu. Sebelum Astuti dirias, anaknya yang nomer dua mogok tidak mau mandi, dia minta diajak jalan jalan beli bubur ayam di taman yang pernah mereka kunjungi sebelumnya. Padahal Astuti harus segera dirias. Demi menuruti kemauan anaknya,  terpaksa  Astuti sempatkan waktu menuruti apa yang diminta. Sehingga  sebagian orang yang mengenangnya menegur, "Lho kok penganten nya masih jalan jalan? Kapan dirias nya?” Astuti hanya tersenyum dan menjawab, "Iya nich si Dede mau makan bubur ayam disuapin ibunya.

Kebetulan di taman itu ada penjual ikan hias dan kura kura. Setelah Astuti dan Mas Ardani membelikan kura kura, mereka membujuknya untuk pulang. Dan akhirnya kedua anak itu mau pulang, didandani memakai beskap dan blangkon, berjalan di depan sang pengantin sambil senyam-senyum. Astuti juga mendengar bisik bisik para tamu ketika mereka berjalan menuju ke pelaminan:” Itu lho kedua anak Pak Ardani, lucu ya dengan beskap dan blangkon nya.” Astuti sesekali tersenyum memandang para tamu yang berdiri menghormati mereka menuju ke pelaminan.

Ada episode menggelitik dalam benak Astuti. Sebuah momen dimana sebagai momen terindah dalam hidupnya. Momen paling mendebarkan  dalam hatinya. Sebuah momen malam pertama, tidak seru untuk diceritakan, tapi sangat lucu kalau ingat. Kamar mereka hanya bersebelahan yang bisa dihubungkan dengan pintu terusan. Sehingga mereka  bisa dengan cepat sesekali melihat mereka. Anaknya yang berumur 4 tahun masih minum susu di botol. Dalam satu malam bisa 3 kali. Jadi tidak heran ketika Astuti akan melaksanakan kewajiban, anak nya berteriak meminta susu.

Di awal pernikahan mereka  jelas banyak kendala, sesekali tanpa sengaja Suaminya mengucap nama almarhumah istri pertamanya, begitu juga dengan anak-anak Pak Ardani. Sebenarnya mereka tidak sengaja dan tidak bermaksud menyinggung perasaan Astuti, tapi kadang Astuti yang merasa dibandingkan. Dan ia tersinggung. Contohnya ketika mereka makan di suatu Rumah Makan favorit mereka. Secara tidak sadar anak anaknya ingat ibunya dan menyebutnya "Ibu paling suka cah kangkung ya" Celetuk  si sulung.

Untuk menghapus bayang bayang ibu mereka yang sudah tidak ada, Astuti ingin suasana lain. Akhirnya Astuti memutuskan  untuk tinggal jadi satu di rumah Bunda. Begitu juga pengasuh yang biasa mengasuh anak anak, mereka secara hormat memberinya uang pesangon agar tidak bekerja lagi, dengan alasan di rumahnya sudah ada 2 orang pembantu. Dengan pembagian kerja satu untuk mengasuh anak anak yang satu lagi membantu serabutan, ya masak, bersih-bersih termasuk cuci dan setrika.

Padahal secara tidak langsung, Astuti tidak mau dibandingkan, dan takut pengasuh anak anak itu, mempengaruhi mereka ketika ia memberi pendidikan dan kasih sayang pada mereka. Astuti lebih nyaman kalau Bunda juga ikut mengawasi anak anak, soal makannya, kesehatannya, dan mainannya. Mengingat ia dan Pak Ardani sibuk mengajar di sekolah.

Di sela sela Astuti mengurus rumah tangganya yang baru, kariernya di sekolah juga baik. Astutu mendapat beasiswa sekolah di Australia, sejenis short couse yang menunjang profesinya sebagai guru SMEA. Sayang, dengan berbagai pertimbangan Pak Ardani tidak mengijinkannya. Alasan utama adalah anak anak masih sangat membutuhkan kehadiran Astuti setiap hari, termasuk bimbingan dan kasih sayangnya. Astuti pun mengalah dan patuh  apa kata suami.

Pertemuan Astuti dengan anak anak dari segi kuantitas memang kurang, tapi Astuti usahakan agar mereka mendapat kasih dengan kualitas yang baik. Mereka usahakan, bisa mengontrol tugas tugas sekolah dan PR mereka, memenuhi kebutuhannya dengan baik. Terutama gizi, dan pendidikan mereka. Sering mereka pergi ke toko buku, membiarkan mereka memilih buku atau mainan yang mereka sukai. Astuti bahagia bisa memenuhi kemauan anak anaknya.

Hidup di Jakarta penuh dengan kemacetan, mobilitas tinggi, ditambah kegiatan sehari hari yang cukup padat membuat Astutu harus pandai mengatur waktu agar tidak stress. Bisa meluangkan waktu di hari libur dengan pergi mengunjungi family, atau hanya sekedar ke Toko Serba Ada sekedar menghilangkan kejenuhannya. Kadang di hari minggu juga banyak undangan yang harus mereka hadiri.Jadi mereka harus pandai memanfaatkan waktu, kapan untuk kerja, keluarga dan social.

Alhamdulillah ada Bunda Astuti yang bisa mengawasi anak anak, dan anak anaknya juga mendapat perhatian dari pengasuh yang cukup cekatan dan setia. Mereka mulai bisa menerima Astuti sebagai ibunya. Perlahan tapi pasti, Astuti bisa menggantikan sosok ibunya, walau tidak seratus persen. Sang Bunda menyarankan agar Astuti KB dulu, tidak perlu tergesa gesa punya momongan. Anak anak dari suaminya masih perlu perhatian penuh dari seorang ibu.

Astuti tidak rutin meminum pil KB, sehingga ia telat Haid, dan ketika tes urine, positif hamil. Anak anak mendengar mau mendapat adik lagi sangat gembira. Apalagi ketika suaminya menebak dan sangat berharap mendapat bayik perempuan. Maklum ketiga anak Pak Ardani yang ada cowok semua. Sang Bunda pun tak kalah gembira. Sebentar lagi dia akan punya cucu. Cucu yang mengalir darah keturunannya.

Layaknya wanita yang baru pertama kali hamil, Bundanya juga menyiapkan ritual tujuh bulanan. Ritual yang sesungguhnya dalam Agama Islam tidak ada tuntunannya karena, Ruh ditiupkan ke janin ketika usia kandungan 4 bulan. Acara Tingkepan atau tujuh bulanan lebih pada mengikuti tradisi yang biasa dilakukan oleh para orangtua jaman dulu.

Mandi dari air tujuh sumber, berganti baju sebanyak tujuh kali dengan tujuh macam kebaya dan kain, memecah kelapa cengkir untuk memprediksi bayinya nanti laki laki atau perempuan, belum lagi makanan yang dibagikan ke para tetangga berupa Nasi punar yang diwadahi piring dari tanah liat, dihiasi janur lengkap dengan lauk tujuh macam, masih ditambah rujak.

Berharap proses melahirkannya mudah, dan bayinya tumbuh sehat,  tidak ngiler atau ngeces bila sudah di luar kandungan. Ritual itu ia jalani, menuruti kemauan orangtua tidak ada salahnya. Astuti pun semakin rajin control ke dokter, ketika hamil muda cukup sekali dalam sebulan, tapi memasuki usia janin tujuh bulan control menjadi di dua kali dalam sebulan.

Dokter mengatakan bayi Astuti tumbuh sehat. Waktu itu masih sedikit dokter yang melengkapi ruang prakteknya dengan USG, jadi belum bisa diprediksi, bayinya kelak, laki-laki atau perempuan. Astuti sendiri tak masalah cowok atau cewek yang penting lahir dengan mudah serta ia dan bayinya sehat. Menginjak usia kandungan bulan ke delapan ia belum cuti, rencana cuti baru  diambilnya seminggu sebelum melahirkan, jadi Astuti punya waktu agak lama menyusui bayinya.

Ketika Astuti hamil tua, anak Pak Ardani yang terakhir baru berusaha 2 tahun. Sebenarnya Astuti ingin membawanya kumpul bersamanya.  Pak Ardani tidak ingin berpisah dengan anaknya yang lain. Tak ingin anaknya kelak protes 'Mengapa aku dititipkan ke Eyang sedang kakak kakaknya tidak'. Jadi dalam keadaan hamil tua Astuti mengurus Aji anak bungsu Pak Ardani yang baru  di ambil dari rumah Eyangnya.

Perlu adaptasi untuk anak sekecil itu. Dia belum terbiasa tidur dengannya atau ayahnya. Kadang di malam hari Astuti bergantian dengan Pak Ardani menggendongnya sampai dia terlelap. Sesekali dia terbangun maka dia akan menunjuk arah pintu, seakan mengatakan 'Aku mau ke rumah Eyang'. Saat-saat seperti itu bukan hal yang menyenangkan. Astuti harus bisa mengambil hatinya. Padahal ia sendiri sedang berbadan dua dan sangat ingin dimanja.

Sepulang dari sekolah, Astuti merasa ada yang janggal dengan kandunganku “Bunda dari tadi aku tidak merasakan gerakan di dalam perutku, Jangan jangan aku mau melahirkan Bun..” Astuti lapor ke Bunda tentang perutnya yang dirasa tidak seperti biasa. Bunda memberi saran kepadanya untuk segera pergi ke Bidan yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Bidan itu pun memeriksa kandungannya, dengan alat sederhana yang seperti corong dan ditempelkan di telinganya.

“Ah tidak apa apa. Detak jantungnya lemah, malah kelihatannya sudah masuk panggul bagian kepalanya”. Istilahnya sudah mapan. Astuti pun kembali ke rumah dan mengatakan pada Bunda kalau semua baik baik saja. Tapi perasaannya tidak enak. Biasanya bayi dalam perutnya hampir setiap 15 menit ya nendang, nyikut, atau mungkin senang erobik, saat itu ia tak merasakan apa apa, dan dia tenang tenang saja. Sang Bunda datang dan mengelus perutku. "Yuk nduk, kita ke dokter saja Bunda curiga ada sesuatu yang tidak beres”.

Astuti pun diantar Bunda dan adiknya yang waktu itu sudah coas di  salah satu rumah sakit. Dengan alat yang lebih canggih, Dokter memeriksa detak jantung bayinya. Adik Astuti dan Bunda langsung tegang, karena dia tahu apa yang terjadi. Tanpa mendahului kehendak Allah mereka tahu bahwa janinnya sudah tidak bernyawa. Tidak terdengar sama sekali detak jantungnya.

Perlahan, sang bunda menjelaskan apa yang terjadi. Jadi sudah dua hari Astuti menggendong bayinya yang sudah tak bernyawa, betapa bodohnya ia. Astuti pun mengingat bersebab apa hal itu bisa terjadi? Dokter mengatakan, bisa dikarenakan kaget, atau memang janinnya yang lemah. Akhirnya, Astuti teringat kejadian beberapa hari yang lalu selain ia ikut menggendong Aji di malam hari, ia pulang sekolah naik metro mini dan duduk di bagian belakang, ketika tiba tiba metro mini itu melewati polisi tidur yang cukup tinggi, sedang kecepatannya tidak dikurangi, Astuti hampir terjatuh. Untung  Astuti segera memegang salah satu penumpang yang berdiri di depannya.

Dokter memutuskan Astuti harus dirawat, bayi itu harus segera dilahirkan kalau tidak nyawanya ikut terancam, si bayik bisa keracunan air ketuban. Akhirnya Astuti diberi pencahar agar bisa BAB sehingga perutnya bersih dari kotoran. Kemudian atas perintah dokter, perawat pun memberi suntikan yang gunanya untuk memacu agar otot perutnya kotraksi dan ada pembukaan untuk jalan lahir.

Itu adalah kali pertama Astiti merasakan mulas yang luar biasa. Ini adalah pengaruh suntikan yang digunakan untuk memacu agar terjadi kontraksi dan bayi bisa lahir normal. Hampir 6 jam ia menahan mulas yang berkepanjangan. Dokter belum datang padahal ia sudah tidak tahan, Astuti ingin menyelesaikan tugas ini secepatnya. Tapi justru perawat melarangnya untuk mengejan. "Tunggu dokter ya Bu, nanti robeknya tidak beraturan”. Jelas seorang perawat.

Dengan langkah gusar Dokter pun datang tergopoh gopoh, maklum dia terjebak macet. Dia memakai perlengkapannya menyemprot sesuatu di pintu keluar itu dan mengguntingnya. Setelah itu Astuti diminta menekuk kakinya dan mengejan sambil ambi nafas. Astuti berharap akan mendengar suara tangisan yang keras dari pintu lahir itu seperti yang pernah ia lihat ketika menonton film proses melahirkan dari pendidikan sex yang pernah diajarkan.

Ternyata itu hanya halusinasi. Bayinya diam membisu berwarna kebiruan dengan berat 2,3 kg. Perasaan Astuti begitu hancur, raganya dipeluk kehampaan. Astuti baru saja kehilangan bayi yang ia harapkan bisa menjaganya di hari tua. Sosok mungil itu kemudian disucikan, dikafani, dan dimakamkan layaknya orang meninggal. Pak Ardani memberinya nama Muhammad Wukir Abadi. 

Kondisi tubuh Astuti  setelah melahirkan cukup fit, jadi ia tinggal di Rumah Sakit Bersalin hanya 3 hari. Astuti sempat merasakan panas dingin, karena air susunya  keluar deras padahal tidak ada yang membutuhkan. Akhirnya Dokter memberi obat yang menghilangkan rasa panas dingin juga obat agar asinya tidak berproduksi.

Semakin ia menunjukan kepasrahan, semakin ia merasakan perpisahan. Hingga pada akhirnya Astuti dan Pak Ardani berusaha dengan ikhlas menerima kehilangan itu. Semua milik Allah maka akan kembali kepadaNya. Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk Astuti dan keluarga. Astuti jadi lebih banyak pehatian kepada Aji. Mengantar Aji sekolah di play grup yang cukup bergengsi pada waktu itu. Aji juga yang bisa menghibur kesedihannya bila ia teringat bayinya yang tiada dan belum sempat digendong dan disusui.

Belum genap lima bulan pasca melahirkan, ternyata  Astuti dititipkan bakal bayi lagi dalam rahimnya. Sebenarnya dokter melarang ia hamil sampai enam bulan pasca melahirkan dengan alasan rahimnya belum pulih. Tapi ia sudah terlanjur telat 3 minggu. Sehingga dokter berusaha mempertahankan janin itu dengan memberi obat penguat rahim, dan beraneka macam vitamin agar Astuti dan calon bayinya sehat. Astuti diminta tidak terlalu memaksa diri untuk bekerja keras terutama mengangkat benda berat.

Astuti rajin kontrol ke dokter. Karena ia punya asuransi kesehatan yang bisa  digunakan, jadi ia bisa memilih dokter yang bagus yang bisa ditanggung asuransi. Astuti lebih suka control ke rumah sakit negeri yang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggalnya. Sampai menginjak usia kehamilan enam bulan lebih. Pada pemeriksaan terakhir, Dokter melakukan USG di perut Astuti. Dokter menerangkan bahwa posisi janinnya sungsang. Beratnya kurang lebih sudah 1,3 kg. 

Sang Dokter kemudian menyarankan agar Astuti melalukan senam hamil. Maka, pada hari itu juga hamil, ia ikut senam hamil. Berharap bayinya kembali ke posisi normal. Selesai senam ia pun pulang. Jakarta adalah kota macet, kalau ia naik taxi terasa kemahalan, sedang kalau ia naik bus terasa  kelamaan.  Astuti memilih naik bajaj agak ringan sedikit dan bisa cepat. Kebetulan ia sendirian. Sang Bunda atau Pak Ardani tidak bisa mengantar. Bajaj pun melaju sesuai dengan maunya. Hingga Astuti pun  cepat sampai di rumah.

Seperti biasa ia pergi ke kamar mandi untuk pipis, cuci kaki, wudhu berniat sholat dzuhur yang hampir habis waktunya. Belum sempat berwudhu, Astuti merasakan ada keanehan di alat vitalnya, sepertinya ada sesuatu yang basah dan amat mengganggu. Astuti langsung berlari dan menunjukkan tangannya yang terkena benda cair itu. Lagi lagi Bunda yang panic. Justru dia yang masuk kamar mandi dan diare.

Setelah itu, Bundanya langsung mengajak ia berkemas dan segera kembali ke rumah sakit. “Itu namanya slem, kalau Bunda berharap rahimmu kuat. Dan tidak terjadi kontraksi lagi.” Dengan tenang Bunda menjelaskan padanya. Padahal ia tahu dari wajahnya  kalau dia menyembunyikan kepanikan itu. Astuti berusaha menghubungi suaminya   ia minta Pak Ardani  untuk langsung menyusul ke rumah sakit.

Astuti merasakan kontraksi itu semakin kuat. Astuti pun langsung ditempatkan di ruang kebidanan. Ia segera ditangani, diinfus dan diberi obat penguat rahim. Supaya kontraksi berhenti dan ia harus istirahat total. Menjelang magrib disaat pergantian bidan dan suster jaga. Kontraksi di perutnya semakin sering. Malah terjadi pembukaan yang lebih lebar. Akhirnya ia dibawa ke ruang bersalin. Setelah itu mereka sibuk serah terima tugas dan lain lainnya. Astuti dibiarkan sendirian di ruang bersalin. Astuti sungguh tak tahan,  ia miringkan badannya sambil memanggil suster, dan mengejan, bayinya lahir kaki duluan persis seperti kaki kelinci.

Perawat dan bidan masuk lalu membantu proses kelahiran itu, air ketuban muncrat dengan kerasnya menyiram wajah bidan yang sedang menangani proses kelahiran itu. "Maaf suster, maaf, aku sudah tidak tahan” ucapnya perlahan sambil menahan rasa sakit, Astuti pun mendengar suara bayinya lirih dan kaki sebelah kirinya biru, bayi mungil yang penuh dengan bulu kalong. Alhamdulillah bayinya laki laki, ia berharap dia sehat.

Ternyata kondisinya sangat lemah. Bayinya harus masuk incubator agar tidak kedinginan. Kata Dokter pernafasannya belum kuat. Bayik Astutu dibantu dengan slang oksigen untuk bernafas. Suaminya tenang saja menghadapi situasi seperi ini. Sedang Bunda dan Adiknya cukup sibuk. Mereka lebih tahu kemungkinan apa saja yang akan terjadi walau itu tidak diharapkan.

Astuti menangis ketika melihat pasien lain yang sekamar  menyusui bayinya yang lahir sehat. Astuti juga membayangkan sebentar lagi bayinya datang dan ia siap menyusuinya. Satu jam, setengah hari, sampai esoknya, bayinya tidak diantar ke ruangan itu. Sedang, Astuti sudah panas dingin dengan payudara bengkak yang berisi asi.

“Maaf Bu bayinya belum bisa minum asi, ini kami bantu dengan susu formula dulu sedikit demi sedikit” Perawat memberi pengertian padanya.  Pagi dan sore ia hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Setelah itu, Astuti kembali lagi ke kamar dimana ia dirawat. Seminggu perawatan ia bertahan di Rumah Sakit demi menunggu kesembuhan bayinya. Adiknya membelikan ia buku "Cara merawat bayi premature” Karena banyak juga bayi yang dilahirkan premature, bisa bertahan dan hidup sehat hingga tua.

Akhirnya dokter memutuskan Astuti boleh pulang dengan catatan bayinya tetap dirawat di rumah sakit. Astuti pulang tanpa menggendong bayi untuk yang kedua kalinya. Tiap hari ia hanya memantau keadaan bayinya lewat telpon. Kebetulan Kakak  tiriku, anak Pak Atmaja yang nomer tiga dinas di rumah sakit itu. Dua minggu pasca ia melahirkan berita buruk itu datang, Bayinya baru saja diberi obat yang paling ampuh untuk paru parunya. Kalau dia kuat, dia akan sembuh dan bertahan hidup. Kemungkinannya fifty fifty. Dan Qadarullah ternyata bayinya tidak kuat. Dia harus pergi untuk selamanya. Selamat tinggal sayang. “Kelak jemput ibu di pintu surga ya’ dadaku sesak tak kuat menahan rasa pilu di hatiku. Aku belum diberi kepercayaan untuk menerima amanahMu. Pak Ardani sempat memberinya nama Alit Kartika Bintara.

Rasa kehilangan membuat Astuti begitu murung. Tapi ia juga sadar bahwa ia tidak boleh larut dalam kesedihan, Astuti punya tanggungjawab dan tugas sebagai seorang istri dan ibu dari ketiga anak tirinya. Mereka juga amanah dari Allah yang harus dibimbing dan disayang sepenuh hati. Mereka butuh kasih sayang dan perhatian Astuti.

Merasakan kelucuan, kenakalan, dan celoteh anak anak, kadang menyebalkan, kadang juga menyenangkan. Banyak perbedaan yang diamati ketika Astuti kecil dulu dengan keadaan anak anaknya saat itu.Jaman ia masih kecil segala sesuatu harus disiplin dan tegas. Pola mendidik seperti yang diberikan Bunda padanya dan adik adik tidak bisa ia praktekkan di kehidupan keluarganya sekarang. Mereka sudah membawa latar belakang yang berbeda. Astuti tidak bisa memaksakan kehendaknya, sesuai dengan yang ia mau.

Pak Ardani biasa menuruti apa yang diminta anak-anak, sedang Astuti maunya segala sesuatu tidak serba instant, anak perlu diajak bicara dan mengerti keadaan orangtuanya. Contoh masalah makanan,  Pak Ardani puas bila melihat anaknya lahap memakan makanan yang mereka suka tanpa aturan, dan cenderung berlebihan. Sedang,   Astuti ingin segala sesuatu tidak perlu berlebihan, dan bisa diatur dengan baik. Masih ada waktu tidak harus habis seketika. Kalau makan alangkah baiknya bila berbagi. Jangan sampai yang satu makan berlebihan sedang yang lain tidak ikut menikmati.

Latar belakang mereka begitu berbeda. Astuti punya adik dan biasa berbagi, hidup dalam pendidikan yang semi otoriter. Sang Bunda yang penuh dengan aturan dan sebagai anak harus patuh. Sedang suaminya anak tunggal. Sejak Kelas 6 SD sudah dititipkan familinya yang di Solo. Biasa memutuskan apa saja sendiri. Tidak punya saudara kandung. Kadang kesepian. Kadang egois. Apa yang dia punya dengan sesukanya dia yang atur.

Begitu juga waktu kuliah, suaminya tinggal di rumah Tantenya yang cukup berada. Makanan berlimpah. Dia bisa makan kapan dia mau tanpa aturan. Kebiasaan itu pula yang ikut melatarbelakangi sifat dan sikap Pak Ardani dalam mendidik anak.

Punya anak balita dan masih sekolah di SD, memang melelahkan. Itulah proses kehidupan. Kadang Astuti diuji ketika mereka sakit. Dan masing masing anak kadang punya kelemahan tersendiri.  Si sulung punya alergi ikan padahal Pak Ardani senang mengkonsumsi ikan, Astuti tidak tega kalau dia melihat ayahnya makan padahal dia dilarang makan.

Si anak nomer dua yaitu Wahyu sering sekali batuk, pilek dan panas, lalu dibarengi tenggorokannya radang. Ternyata amandelnya mengganggu karena sering radang. Jadi mereka memutuskan meminta dokter untuk mengoperasinya. Sedang Si Aji bermasalah dengan pencernaannya. Dia sering diare, keluar rumah, membonceng ayahnya naik motor tanpa jaket. Jadi dia akan masuk angin dan yang diserang adalah perutnya.

Tiap bulan Astuti dan Pak Ardani selalu bergantian  apel ke dokter. Ada hal yang Astuti tak sukai dari Pak Ardani  yaitu rasa kurang sabar ketika berobat. Ketika sudah pergi ke dokter, baru diminum dua kali, maunya langsung sembuh. Kalau belum sembuh dia akan panic dan berganti dokter. Itulah hal yang tak disukai Astuti, kadang Pak Ardani juga “dokter spesialis minded.”Jadi anak anak terbiasa dengan obat paten yang notabene harganya lebih mahal dibanding obat generik. Hal hal kecil ini yang sering membuat mereka jadi ribut.

Sebenarnya  setiap keluarga punya skala prioritas dalam kehidupan rumah tangganya. Ada yang mengutamakan tempat tinggal, gengsi, kesehatan dan kenyamanan atau bisa juga pendidikan. Masalah ini juga yang kadang tidak sepaham sehingga Astuti dan Pak Ardani sering berdebat. Walau pada ujung ujungnya ia yang mengalah. Karena biar bagaimana pun suami adalah kepala keluarga.

Jumat, 28 Oktober 2022

Lika Liku Asmara Astuti


Maka akan Kami mudahkan jalan baginya jalan menuju kemudahan(kebahagiaan) (QS.Al –lail 92:7)

Astuti bak meramu takdir untuk dirinya. Kejadian demi kejadian membuat ia tersadar bahwa hidup kadang meletup-letup, kadang pula menenggelamkan ia dalam tangisan. Sejak jumpa terkahir dengan Kak Gunawan ia sejenak menutup pintu hatinya yang terkatup. 

Setelah empat tahun dan menyelesaikan kuliahnya di Solo,  akhirnya Astuti menapakkan kakinya kembali ke Ibu kota. Jelas tak terasa sulit yang ia rasakan. Meski Ia perlu adaptasi untuk banyak hal. Terkhusus ketika ia mengajar di Jakarta dengan sebuah sekolah yang elit. Berbeda ketika mengajar di Solo yang begitu ndeso. Rekan kerjanya atau guru yang ada di sekolah  elit itu cukup banyak, dari mulai yang senior, madya, dan yang seusia dengannya. Mereka berasal dari berbagai suku, ada yang dari Sunda, Batak, Minahasa, dan Jawa. Tak sulit baginya karena masa kecil sampai SMA nya dihabiskan di Jakarta.

Mendulang mimpi dan berkarir di Jakarta sebenarnya bukan hal mudah. Namun, sang takdir membawanya pada suatu kemudahan. Berkat anak tiri ibundanya, Astuti pun mulai menerbangkan sayapnya memulai karir sebagai guru honorer di Ibukota. Berbekal surat lamaran dan setumpuk sertifikat yang  ia miliki, ditambah proposal persiapannya mengajar. Astuti pun diterima dengan baik. Suatu Kebetulan seluruh berkasnya diseleksi oleh wakil kepala sekolah. Sang Wakasek itu mewawancarai Astuti, sebagai formalitas saja. Beliau menanyai banyak hal pada Astuti mulai berasal dari mana, kegiatannya apa saja,  serta pernah mengajar dimana. Walau sebenarnya sudah ditulis lengkap di CV dan surat lamaran pekerjaannya. Mungkin beliau terkagum dengan begitu banyaknya sertifikat yang dimiliki Astuti.  Beliau menilai Astuti sebagai seorang aktivis. Wakasek itu bernama Pak Ardani, bisa dilihat Astuti dari papan nama yang ada di dadanya.

Pak Ardani bercerita  bahwa dia juga berasal dari Solo, sebuah desa yang juga dekat dengan desa Astuti yaitu sekitar 15km. Astuti hanya tersenyum,“ O ya saya tahu Pak, ada teman saya yang tinggal dekat desa Bapak”, jawabnya penuh hormat. Orangtuanya masih lengkap dan tinggal di desa itu. Pak Ardani menyambung percakapan itu. Astuti hanya menganggukkan kepala. Selang seminggu aku mengajar di SMEA, Astuti dipanggil ke ruang Waka. Pak Ardani menyuruhnya duduk dan meminta ia membuat surat lamaran mengajar di sekolah swasta yang dia pimpin, sekolahnya memerlukan tambahan guru bahasa Inggris. Tawaran itu  diterima mengingat di pagi hari Astuti belum punya kegiatan. 

Ketika sang waktu berkelana dan haru esok tiba, Astuti langsung memasukkan lamaran dan hari itu juga mulai mengajar. Pagi di sekolah Swasta, dan siangnya di SMEA Negeri. Kehidupan  kembali membawa ia menjadi orang Jakarta dengan segala sesuatu yang serba tergesa-gesa. Berbaur dengan teman yang punya  karakter berbeda, ia harus berhati-hati. Harus pandai membawa diri, jangan sampai dikatakan ambisius, atau sombong. Apalagi dengan teman guru senior, ia harus bisa menempatkan diri dan mengambil hati mereka.

Mengajar di sekolah yang sebagian besar muridnya pandai, minat belajarnya tinggi, dan kreatif, sangat memudahkan Astuti dalam mengajar. Ia senang dengan murid muridnya dan mereka juga hormat padanya. Apalagi kekeluargaan di sekolah itu sangat kental. Sering ada acara pertemuan yang melibatkan keluarga masing-masing. Misal rekreasi ke Ancol atau ke Taman Safari. Mereka bisa mengenal satu dan yang lainnya. Kalau ada acara seperti itu Astuti biasanya mengajak Ibunda. Bundanya sangat menikmati acara itu. Maklum Bundanya orangnya supel dan mudah berkomunikasi.

Kesibukan Astuti  semakin bertambah, karena Pak Ardani memberinya jam tambahan di malam hari untuk peserta kursus bahasa Inggris yang dikelolanya. Sebetulnya Astuti menolak apalagi kegiatan itu ada pada hari Sabtu. Astuti masih punya kepentingan pulang-pergi ke Solo. Tapi karena Pak Ardani setengah memaksa, akhirnya tawarannya ia terima. Dia juga memberi info, bahwa masih ada kereta jurusan Solo yang berangkat jam 8 malam dari Manggarai, Tapi itu kereta ekonomi. Jelasnya.

Astuti bertekad jika tanggal muda tiba, maka ia akan pergi ke Solo setelah selesai mengajar. Ia pun pamit pada Bundanya bahwa ia hendak ke Solo. Sang Bunda tidak bisa melarang karena sudah terlanjur sepakat dengan apa yang ia minta sebelum Astuti pindah ke Jakarta. Pak Ardani berkenan mengantarnya sampai stasiun Manggarai, kebetulan rumahnya searah dengan yang ia tuju. Astuti pun membeli tiket dan menunggu kereta itu tiba.

Sesampainya ia di pintu kereta, ia begitu terkaget luarbiasa, ternyata kereta yang akan ia tumpangi tidak sesuai dengan yang  dibayangkan. Kereta itu adalah kereta ekonomi yang tempat duduknya sangat rapat dan kesannya jorok, udaranya penuh dengan asap rokok. Astuti mendapat tempat duduk di nomer kecil yang dekat WC, bukan dekat jendela melainkan dekat gang jalan tempat mondar mandir orang lewat.

Sang Kereta kemudian melaju dengan lambat. Kereta itu selalu berhenti di setiap stasiun kecil mau pun besar apa lagi kalau ada silang dengan kereta dari lawan arah, kereta yang ia tumpangi berhenti sangat lama. Pedagang asongan silih berganti sepanjang malam. Dengan leluasa mereka menawarkan dagangannya dari mulai telur asin sampai buah buahan yang sedang musim, minuman, nasi, kerupuk, apa saja yang ada di daerah yang dilewati pasti dijual di kereta ekonomi ini. Batinnya dongkol.” Kapan sampai Solo kalau begini perjalanannya.”

Tepat jam 12 siang sang kereta baru masuk stasiun Purwosari. Astuti pun turun disitu. Ia pergi menuju rumah sahabatnya yang bernama Yani  asli dari Solo. Astuti membersihkan badan dan istirahat sebentar. Yani menanyakan bagaimana keadaannya, betah tidak jadi orang Jakarta lagi, dan yang penting dia juga nanya masih suka kontak dengan mas Satria tidak. Ketika disebut nama itu, hati Astuti masih mendesis. Ternyata ia belum bisa melupakannya. Hmm... ternyata sang masa lalu (Mas Satria)masih ada di hatinya.

Sejujurnya Astuti enggan menyambangi kota Solo karena itu hanya akan membuka luka hatinya.  Tapi ia pantang menyerah ada sebuah misi yang sebenarnya ingin ia pecahkan tentang rasa  penasaran terhadap apa yang terjadi sesungguhnya dengan mas Satria. Astuti mengajak Yani  ke rumah makan Sari, yang punya menu spesial gudeg dan sambal goreng yang mantap. Astuti melambaikan rasa kangen itu dengan mengorek banyak informasi tentang teman-temannya. Siapa saja yang sudah lulus dan mengajar di mana, begitu juga karir teman temannya yang pandai, apakah dia sudah jadi dosen sekarang, sesuai dengan yang mereka cita citakan?.

Dari Yani ia tahu semua perkembangan teman teman seangkatannya. Sampai akhirnya dia berkata terus terang tentang kabar terakhir mas Satria;” Wiek ojo kaget yo..!, mas Satria sudah menikah dan punya anak.” Brak! kepala Astuti bak terhimpit benda keras dan berputar. Astuti tidak siap menerima berita itu. Mas Satria menikahi cewek lulusan SMEA yang kebetulan kerja di show room mobil di daerah Kartosura, kebetulan cewek itu beragama Islam, konon hamil duluan dan nikahnya juga diam-diam. Terjawab sudah teka teki yang ada di hati Astuti. Ternyata cintanya bertepuk sebelah tangan. Begitu pandai nya Satria menyanjung Astuti bahwa masa depannya moncer, dan penuh dengan kesuksesan sedangkan dia seorang lelaki yang sedang terpuruk dan masih berusaha untuk bangkit setelah dikhianati istrinya. 

Ada sebuah cerita yang begitu nanar untuk didengar Astuti pun enggan mengeja masa itu. Sebuah waktu ketika ia selesai wisuda dan Mas Satria ternyata baru saja selesai ijab kabul. Terjawab lah semua kegundahan hati Astuti. Ia tidak bisa berharap lebih dari mas Satria. Astuti selalu berpikir jika ia adalah cinta sejati Mas Satria, sebuah cinta yang bisa  diraih dengan kebulatan tekadnya. Ternyata Astuti keliru. Mas Satria bukan pilihan Allah untuknya. Biar Allah bukakan pikirannya, dan juga tabir yang selama ini tak bisa diraba dan dicerna.

Sang waktu semakin bergelantung di Ifuk bumi  membawa hari ini pada hari lusa. Ketika Minggu sore tiba, Astuti langsung mencari tiket KA Bima, ia sangat kapok naik kereta ekonomi. Astuti ingin sampai di Jakarta dalam keadaan fresh dan melupakan Mas Satria selamanya. Astuti sangat membenci Satria. Satria bak gulma di kelopak mata sulit di lupa dan semakin liar. 

Sesampainya ia di Jakarta, sang Bunda bertanya apakah ia menyambangi rumah Budenya, ataukan tidak. Astuti pun tak bisa mengelak. Semua berita yang ia dengar dari Yani diceritakan pada Bundanya. Sang Bunda paham bagaimana perasaannya “Makanya dengar saran Bunda, ngga perlu lah ke Solo, buang waktu, tenaga, dan melelahkan pikiranmu.” Astuti pun tersadar  jika yang disarankan Bundanya adalah benar.

Sejak episode itu, ia selalu gunakan hari minggu untuk kegiatan yang lebih bermanfaat. Kebetulan ada sebagian murid si sekolah swasta yang sangat akrab dengannya. Astuti tidak terlalu menjaga jarak dengan mereka, apalagi mereka tahu jika Astuti guru muda yang bersahabat. Sampai suatu hari mereka mengajaknya jalan-jalan ke Kebun Raya Bogor dengan naik KRL. Tawaran itu  ia terima karena lama sekali Astuti  tidak ke Bogor.  Terakhir pergi ke kota hujan adalah  ketika SMP pada moment  camping bareng teman  yang mengajariku membuat edaran palsu untuk Bunda. Hadeeeuh, hehe.

Tersapa waktu, sang kaki pun berujung temu dengan kota Bogor. Bogor adalah keindahan dan keasrian. Bogor tidak banyak berubah, terawat dengan baik, dan terlihat asri. Mereka berjalan menyusuri taman, dan kolam yang ditumbuhi teratai yang sedang berbunga. Dari kejauhan istana Bogor pun terlihat. Begitu juga dengan rusa yang bergerombol terlihat gemuk dan sehat. Tanda bahwa binatang itu dirawat dengan baik. Udara yang sejuk disertai angin yang sepoi-sepoi benar-benar membuat mereka serasa segar kembali.

Tidak ada perbedaan yang mencolok antara guru dan murid ketika berbaur seperti itu, mereka cerewet semua dan usil. Ada saja ulah mereka yang saling mengejek dan membuat suasana jadi hangat. Murid-murid Astuti begitu hangat nan asyik, jika ada cowok yang kelihatan ganteng mereka akan bersorak, atau bisik bisik “Godain ngga Bu..?” Astuti akan menjawab, “ Stttt jangan ada ceweknya loh di belakang”. Dan mereka pun tertawa cekikikan.

Tidak afdol rasanya kalau sudah sampai Bogor tidak makan soto mie dan asinan. “Wajib dan Harus” hukumnya kata mereka. Akhirnya, mereka makan di warung yang ada di dekat stasiun. Selesai makan rombongan pun pulang ke Jakarta. Di sepanjang jalan mereka nampak ceria  ceria dan usil, membicarakan orang orang yang berpacaran dan duduknya sangat mesra, dan seakan dunia milik berdua, yang lain ngontrak, begitu lah istilah mereka.

Lain pula kalau pergi jalan dengan teman-teman Astutu yang guru. Kebiasaannya berubah seperti  harus menuju ke blok M, di sana mereka biasa makan nasi padang atau es teler, setelah puter puter sampai magrib di Blok M plaza. Kadang mereka juga makan di KFC yang saat itu paling terkenal dengan fast food nya. Untuk belanja kebutuhan Astuti dari mulai sepatu, tas dan pakaian ia tetap memilih yang sesuai budget. Astuti bisa mengukur kemampuannya sampai dimana. Begitulah tentang Bogor ada asinan dan bahkan rujak bumbu.

Asinan dan rujak bumbu bak lila liku hidup Astuti. Mengabdikan diri menjadi guru honor, ternyata membawa ia pada Qadarullah yang paling baik di hidupnya. Setelah tiga bulan ia menjadi guru honorer, di bulan September ia mengikuti tes PNS, berbekal surat tugas mengajar dan syarat syarat lain, ia mengikuti tes tersebut. Tes itu diadakan di Istora Senayan, dari pagi sampai siang, di tengah terik matahari Astuti mengikuti tes tersebut. Alhamdulillah awal Oktober sudah diumumkan dan Astuti lulus. Sujud syukur tak henti ia panjatkan sebagai rasa terimakasih yang mendalam.   

Pada bulan Maret tahun berikutnya, Astuti berubah status menjadi CAPEG dan ditempatkan di SMEA tempatnya bertugas. Astuti pun menerima uang rapelan yang cukup banyak, uang itu  ia serahkan kepada Bundanya, Astuti hanya mengambil sebagian kecil saja. Ia tahu kebutuhan Bunda cukup banyak untuk biaya adiknya yang kuliah di kedokteran, sebagian lagi bisa digunakan untuk memasang jaringan telpon. Alat komunikasi ini penting buat keluarga Astuti.

Tentang Solo, yang menumpahkan segala kenangan di ingatannya, Astuti selalu ingin terhubung dengan kota tersebut. Akhirnya, ia sempatkan untuk ikut kursus jurnalistik di Solo di malam hari, walau seminggu hanya 3 kali selama 6 bulan, tapi kegiatan ini menyita banyak waktu Astuti sehingga ia tidak berpikir masalah jodoh, umurnya baru 24 tahun. Astuti masih ingin sendiri dan membantu Bundanya sebisa yang ia mampu. Karena tempat kursusnya searah dengan rumah Pak Ardani, mereka biasanya numpang mobilnya, termasuk teman guru yang lain yang rumahnya juga searah.

Bunda Astuti kerap bertanya, tadi dengan siapa dan ada hal yang menyebalkan atau tidak. Bunda adalah curahan hati Astuti, jadi hal sekecil apa pun Astuti selau cerita dengannya. Termasuk tentang Pak Ardani yang super sibuk, karena punya banyak jabatan, dan  istrinya yang sedang hamil tua. Mungkin Bunda tertarik atau penasaran dengan ceritanya, apalagi ia katakan bahwa Pak Ardani juga berasal dari Solo yang masih 15 Km arah selatan. Sampai pada suatu hari Bundanya ke sekolah menemui Pak Ardani, Bunda cerita tentang keadaan Astuti di Solo, dengan istilah basa basi sang Bunda menitipkan Astuti, agar dibimbing dalam pekerjaan.

Astuti terheran karena Pak Ardani maupun Bunda tidak pernah cerita masalah kunjungannya ke sekolah. Dua tahun kemudian baru Astuti  mengetahui kejadian yang sesungguhnya. Perlahan ia menjadi guru yang di segani murid murid sekaligus disenangi, bila ada even even tertentu, Astuti sering diberi kepercayan untuk jadi pembawa acara, menurut mereka suara Astuti itu bagus, lantang tapi empuk. Itu pun baru ia ketahui sepuluh  tahun kemudian ketika mereka mengadakan reuni. Ada satu murid yang  sangat mengagumi suaranya, malah dia sempat berlatih di depan kaca untuk menirukan suaranya yang sedang menerangkan di depan kelas.

Lain murid lain pula dengan teman gurunya. Ada satu guru olahraga yang amat  sangat lugu, dia berasal dari Aceh, dan di Jakarta tinggal dengan tantenya. Padahal fisiknya bagus tapi kurang PD, dia sukar bergaul dengan teman guru yang lain. Pak Rahman namanya. Ketika ada kesempatan piknik khusus guru ke Cibodas, banyak kenangan lucu tentang dia. Pak Rahman yang pemalu diminta duduk bersebelahan dengan Astuti, tadinya ia sungkan, tapi karena teman yang lain memaksa:” Ayo Bu Tiwiek, temani Pak Rahman, Bu. Ngga apa apa sama sama belum punya pacar nih.” Teriak teman  Astuti yang berasal dari Padang’

Astuti pun  memenuhi permintaan itu. Di sepanjang jalan ia dan pak Rahman jadi bahan gurauan. Ada saja yang jadi membuat mereka menggoda Astuti dan Pak Rahman. Sampai wajah Pak Rahman kemerahan menahan malu, sedang Astutu menanggapi gurauan itu tanpa masalah, ia sudah biasa dengan senda gurau semacam itu.

Sebenarnya di hati Astuti ada rasa simpati terhadap Pak Rahman, tapi apa mungkin jodohnya orang luar jawa. Apa sang Bunda akan setuju jika punya mantu orang Sumatera. Karena bundanya selalu berpesan, kalau  boleh minta sama Allah jodohnya orang jawa saja. Mudah penyesuian  dan sudah hafal adat istiadatnya.

Seorang guru juga manusia, mereka kadang berceloteh akan sesuatu hal yang jauh di luar identitasnya.  Seperi yang terjadi dalam perjalanan mereka ke Cibodas. Mereka bermain tebak tebakan atau cerita anekdot lucu yang membuat mereka ger geran. Pak Kuntjoro berdiri di tengah Bus lalu bercerita tentang Sombongnya orang Amerika dan orang Indonesia:” Orang Amerika sombong karena punya pabrik yang memasukkan babi  keluar bisa jadi sosis, dan orang Indonesia juga tidak mau kalah lalu mengatakan bahwa di Indonesia masuk sosis keluar baby.” Suasana seperti ini membuat mereka fresh kembali.

Mendengar cerita itu Pak Ardani ikut nimbrung cerita;” Pernah dengar kisah cinta Bung Karno dengan Bu Dewi ?” Serentak se isi bus  menjawab belum. Lalu dia melanjutkan: “ Mereka bertemu karena saling mengagumi, Bu Dewi mengagumi Tugu Monas nya Bu Karno, dan Bung Karno mengagumi Gunung Fujiyama nya Bu Dewi” Pak Rahman yang tidak mengenal guyonan tingkat tinggi hanya mendengarkan tanpa ekspresi,  sedangkan yang lain terkekeh kekeh.

Semakin hari kesibukan Astuti semakin padat, tugas dari kursus jurnalistik, menghandle murid yang PKL (praktek kerja lapangan). Mengoreksi ulangan dan masih ditambah tugas rumah, melayani sang Bunda. Kadang Bundanya masih memberi tugas pada Astutu untuk mengantarnya ke rumah pasien yang tidak bisa datang ke rumah maka Bunda lah yang mendatangi pasiennya.

Tapi sesibuk apa pun Astuti, kegiatan korespondensi dengan sahabat penanya  yang ada di Kuala Lumpur, dan Selangor tetap terjalin. Suatu hari ia mendapat kiriman Foto pengantin bang Yusri, dia mempersunting wanita polis diraja. Kalau di Indonesia sama dengan polwan. Sedang surat surat yang dari Selangor biasa lebih sering berisi, puisi puisi Islami atau kutipan ayat ayat pilihan.

Ada juga surat yang yang rutin ia dapat dari temannya yang dikenal dalam perjalanan di dalam Bus jurusan Solo Jakarta jaman ia masih sering mondar mandir Solo Jakarta semasa kuliah. Ia adalah Mas Tutuko, pemuda asal Solo yang saat itu tinggal di rumah Budenya. Dia bekerja di Tanjung Priok. Di salah satu ekspedisi peralatan berat, karena latar belakang sekolahnya memang teknik.

Mas Tutuko kadang menyempatkan diri menelponnya lewat telpon kantor, anehnya dia lebih suka bertanya tentang kegiatan mengajar Astuti, dan kesibukannya yang lain. Pernah juga dia mengajak Astutu melihat pameran buku yang ada di Gramedia Matraman, Astuti pun banyak memborong buku pelajaran dan buku motivasi. Sedang mas Tutuko hanya membeli kamus bahasa Inggris untuk istilah tehnik.

Melihat mas Tutuko sering ke rumah Astuti, sang Bunda mengira jika pacaran. Bundanya mulai mencari tahu asal usulnya. Selain mengintrogasi langsung, Bundanya juga ke TKP. Mencari alamat yang ada di amplop surat Mas Tutuko yang pernah dikirimkan untuknya. Bundanya jadi tahu jika mas Tutuko ikut keluarga Budenya yang rumahnya sangat sederhana.

Satu hal yang masih terkenang di labirin ingatan Sang Astuti. Yaitu suatu waktu ketika Astuti dalam mode  bad mood, dan malas mengajar, ia menelpon mas Tutuko dan dia menyarankan untuk membolos saja. Kebetulan pekerjaannya juga bisa ditinggal hari itu. Jadi mereja janjian di suatu tempat lalu naik angkot ke arah taman Cibubur. Mas Tutuko berperangai baik,  enak diajak ngobrol, serta wawasannya luas. Walau dia orang tehnik yang identik dengan mesin tapi penampilannya rapi, dengan kumis yang cukup tebal, tangannya dipenuhi dengan bulu. Kalau tertawa renyah dan barisan gigi yang rapih akan terlihat jelas. Tapi membayangkan kelak dia jadi suaminya Astuti tak berani.

Astuti bisa menilai kalau Mas Tutuko adalah orang yang taat beribadah. Ketika masuk waktu salat dzuhur dia mengajak salat di mushola yang ada di dekat taman. Selesai salat mata Astuti tertuju pada cincin yang dipakai Mas Tutuko.  Cincin  perak yang melingkar di jari manisnya. Iseng ia  minta supaya dia melepasnya, Astutu ingin melihat cincin itu. Astuti perhatikan dengan cermat, ternyata pada cincin itu terdapat tulisan berbunyi"Fitria”. Astuti Tanya siapa Fitria, dia cuma bilang temannya yang jadi dosen di Solo. Sebelum asar mereka sudah pulang setelah mampir makan ketoprak dan es kelapa muda di warung sekitar taman Cibubur.

Pada saat itu, Astuti sudah ijin via telpon ke Pak Ardani kalau ia sakit dan tidak masuk sekolah. Karena Astuti ijinnya sakit, di malam harinya Pak Ardani datang ke rumah Astuti, baru lima menit dia di rumahnya,  Mas Tutuko juga datang. Astuti langsung masuk ke kamar dan tidak keluar lagi sampai mereka pulang. Ketika mereka sudah pulang,  Bundanya marah marah; "Gimana sih ada tamu malah ditinggal ke kamar!”. Bundanya  tak tahu bagaimana perasaan Astuti karena ketahuan membolos. Yang ibundanya tahu, Astuti berangkat ke sekolah dan tidak sakit.

Hidup adalah melodi yang memiliki ritme naik turun, perasaan gusar, marah, kesal acap kali menjadi warna pada setiap episodenya. Waktu itu Astuti genap 25 tahun dan belum punya pacar, Bundanya sudah mulai panik, sedang ia tenang tenang saja. Astuti merayakan ulang tahunnya di gerbong kereta jurusan Jakarta Yogya. Astuti bersama sepuluh orang guru menghandle murid murid karya wisata ke Yogya. Ia bertugas membagikan permen kepada murid murid nya, mereka memberi ucapan selamat dan menyanyikan lagu “Happy birthday” diiringi gitar.

Di perayaan Ultah itu, Pak Ardani tidak ikut karena sedang pulang kampung mengurusi pemakaman istrinya yang meninggal setelah melahirkan koma selama 3 hari. Peristiwa itu terjadi karena pendarahan pada kandung kemih yang ter gunting atau ada mal praktek. Qadarullah bayinya selamat.

Tiga bulan berselang pasca istrinya berpulang, Pak Ardani datang ke rumah untuk melamar Astuti, tanpa memberitahu lebih dahulu. Beraninya dia, Bunda langsung menerima lamaran itu tanpa meminta persetujuan Astuti lebih dulu. Setelah Pak Ardani pulang  Astuti menangis. Ia marah dan protes dengan keputusan yang diambil Bundanya. Astuti jelaskan pada Bunda: “Pak Ardani itu orangnya galak Bunda, aku tidak suka sifatnya yang sok,  penentang, dan sedikit arogan, banyak guru yang tidak suka dengannya” Protes Astuti. Namun, sang Bunda tetap tak menerima alasannya.

“Ya nanti  ada pendekatan dulu, pelan pelan kau bisa menilai siapa dia sebenarnya dan cocok atau tidak” ujar sang Bunda menenangkan hati Astuti.

Ibundanya begitu tega menerima lamaran duda beranak tiga itu untuk Astuti.  Apakah Astuti  sanggup menjalaninya. Astuti mengambil air wudhu dan salat istikharah biarkan Allah tunjukkan mas Tutuko atau memang Pak Ardani jodohnya. 

Rasa gundah hinggap di hati Astuti, ia tak sabar menanti fajar dan bertukar cerita dengan Mas Tutuko. Setelah esok hari Astutu menelpon mas Tutuko dan mereka janjian untuk bertemu. Astuti bercerita padanya tentang lamaran Pak Ardani yang diterima Bunda. Sepulang sekolah, Mas Tutuko  sudah nunggu Astuti di blok M. Mereka tak berani janjian di depan sekolah karena takut ketahuan Pak Ardani.

Akhirnya Astuti dan Mas Tutuko bertemu di  warung tenda yang ada di dekat taman Blok M, mereka memesan roti bakar dan kopi susu. Setelah  ia ceritakan tentang lamaran Pak Ardani, Mas Tutuko malah mendukung. Dia tidak menghalangi, malah berpesan agar Astuti bisa merawat anak Pak Ardani sama dengan anaknya sendiri. Menikah  itu ibadah apalagi kalau bisa merawat anak piatu dengan baik, pahala besar.

Pupus sudah harapan Astuti, ia mengira jika  dia akan menghalangi  lamaran tersebut. Mas Tutuku malah mendukung Pak  Ardani untuk melamarnya. Ternyata ia salah menilainya. Sehingga bisa disimpulkan mungkin dia sudah berkeluarga atau paling tidak sudah bertunangan, Dan menganggap Astuti hanya sebagai teman biasa. Astuti sadar, jika selama ini ia  salah dalam menilai seseorang atau bisa dikatakan ia terlalu GR.

Minggu, 23 Oktober 2022

Menjadi Mahasiswa


Maka Allah memberi merela pahala di dunia, dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah mencintai orang orang yang berbuat kebaikan. (QS.Ali Imran;3;148)

Berkelana dalam sebuah kehidupan adalah keindahan yang patut dikisahkan. Cantiknya peristiwa dalam suatu hidup bersebab Tuhan menciptakan ingatan agar kita syukuri sebagai mesin waktu.  Sejatinya kehidupan adalah 99% ujian, dan 1% kenangan. Maka biarkan sang tinta mencatat retorika hidup kita sebagai urat nadi sebuah kenangan. 

Ada jejak yang ingin aku ceritakan tentang Astuti, dimana ia berkelana sebagai seorang mahasiswa. Hidup sebagai seorang remaja kost an, membidik ia untuk tumbuh dewasa. Tinggal jauh dari ibundanya menjadi hal yabg begitu asing bagi Astuti. Ia perlu menata setiap ritme aktivitasnya mulai dari bagun tidur hingga pergi tidur. Mengandalkan dirinya sendiri sebagai sang Tuan, tentu membawa ia pada kepiawaian memanage diri. 

Astuti tak lagi menjadi anak rumahan yang segala kebutuhannya disediakan ibunda dengan seketika. Ia berkomunikasi dengan ibundanya lewat jasa kilat khusus atau kilat biasa. Uang kirimannya diantar via Wesel yang kadang dialamatkan ke kampus atau atau ke rumah budenya di Penumping. Dalam suratnya sang ibunda selalu mengingatkan ia agar berhati hati, makan yang teratur, jangan mudah terpengaruh, harus bisa jaga diri, membawa diri, dan tahu diri. Sang bunda masih mengganggapnya bak seorang anak kecil yang baru pandai berceloteh.

Tanpa disadari oleh ibundanya, Astuti sudah tumbuh menjadi gadis kampus, yang memiliki banyak teman, punya semangat belajar, punya cita-cita, dan bisa menjaga diri. Astuti pernah tinggal di eumah kost bu Guru sekitar 6 bulan. Kemudian ia pindah ke rumah kost yang dimiliki Pak Dosen, dengan posis yang cukup luas  dengan 4 kamar, 2 kamar mandi, dapur, ruang tamu dan ruang belajar. Rumah kost itu disewa secara bersama dengan temannya. Persis seperti rumah keluarga. Satu kamar dihuni 4 orang dengan tempat tidur susun. Tempat tidur itu mereka gabung jadi seperti tempat tidur ukuran jumbo. Mereka harus bisa berbagi dan penuh toleransi. Setiap orang punya sifat yang berbeda. Ada yang banyak bicara, ada yang kalem, ada yang jaim, dan ada yang bawel.

Masing-masing dari mereka memiliki pola belajar yang berbeda. Ada yang belajar di malam hari, setelah sepi, ada yang pagi setelah salat subuh, ada juga yang suka sore hari. Atau wayangan. Jika ada quiz atau mid tes barulah mereka belajar. Urusan makan juga sesuka hati mereka , ada yang iuran dan masak bareng, ada yang suka masak nasi dengan ditim, lalu beli lauk dan sayur, ada juga yang suka jajan. Yang jelas catering dan laundry belum ada di sekitar kost mereka.

Sang waktu mengajari banyak hal kepada Astuti.  Di rumah kost putri tersebut ia belajar kehidupan yang sebenarnya, ia tahu ada seorang teman yang “geleman” suka mengambil barang temannya tanpa ijin, dan kadang ketika mereka memanggil pedagang 'tenongan' sebuah jajanan yang dijajaki mbok-mbok yang biasa jualan  di depan kos pada sore hari. Temannya ada suka “gabrul’ mengambil 5 tapi yang dibayar hanya 2. Teman temannya yang lain juga tahu tapi mereka tidak berani menegur. 

Tak sampai situ, acara menjemur pakaian juga kadang menjadi pemandangan yang heboh. Mereka  harus bisa mengatur waktu dan tenggang rasa. Tidak bisa semaunya sendiri, apa gunanya mencuci pakaian kalau tempat menjemur penuh, “ ngesuk-esuk” jemuran yang sudah ada juga riskan, bisa jadi jemuran yang sudah hampir kering jadi basah. Astuti lebih senang mencuci di hari minggu kecuali pakaian dalam. Ia selalu  mencucibya pagi dan sore hari sembari mandi. Di hari minggu teman teman yang rumahnya tidak terlalu jauh biasanya  mereka pulang di sabtu siang, dan senin pagi baru kembali, kemudian langsung ke kampus.

Mereka menjadi satu keluarga besar dalam satu rumah dengan latar belakang yang berbeda. Hal ini menimbulkan banyak hal  positif salah satunya Astuti jadi suka sambel, sayur lodeh, dan makanan asing lainnya yang belum pernah ia coba sebelumnya. Dulu pencernaan Astutu agak bermasalah dan punya gejala sakit maag, tapi setelah jadi anak kost perutnya baik-baik saja, penyakit maag nya jarang kumat.

Astuti sangat senang memanfaatkan hari minggunya. Kadang ia berkelana menjajaki tempat demi tempat dengan ikut pulang ke rumah salah satu temannya. Beberapa tempat pun kerap ia singgahi seperti Kudus, Klaten, Jenawi, atau Boyolali. Dari perjalanan itu ia mendapat pengalaman baru, menikmati suasana desa, di kaki gunung membawa hatinya untuk tadabbur alam. Suasana yang jarang ia dapat ketika di Jakarta. Astuti bisa naik pohon cengkeh dan memanennya,  lebih enak lagi ketik ia disuguhi daging kalkun yang dibumbui rujak. Makanan lain juga pernah ia nikmati seperti masakan bersantan dengan aroma bumbu dapur yang dominan. Hal yang amat membekas dalam ingatannya adalah ketika pergi ke kebun bersama Santu dan ayahnya. Di sana mereka  mencabut singkong yang kebunnya di belakang rumah. Jadilah ia sebagai penjelajah dari rumah ke rumah temannya. 

Pula, ada episode yang pernah ia rindui. Yaitu petualangannya ke daerah Wonosari.  Yogyakarta. Rumah temannya tak jauh dari pantai Baron. Itulah pengalaman Astuti melihat pantai selatan yang ada di Yogya. Jika pantai Pelabuan Ratu yang di Sukabumi sudah pernah ia singgahi ketika masih SD. Sejak saat itu ia suka travelling dan selalu menunggu adanya waktu luang untuk pergi ke tempat wisata yang ada di Solo dan sekitarnya.

Teman Astuti tak hanya dari FKIP saja, tapi ada teman dari jurusan lain, Jurusan Pertanian, Fisipol, juga jurusan tehnik. Maka temannya tidak terbatas dari FKIP saja. Atau teman sesama mahasiswa yang  ia kenal waktu mereka makan di warung dekat kost. Teman-temannya menilai Astuti sebagai prinadi yang easy going. Dengan kakak kelas pun ia cepat akrab. Beberapa temannya sudah memiliki pacar. Ada sebuah peraturan yang tidak tertulis, bahwa tamu cowok tidak boleh masuk, cukup di teras saja. Jam bertamu pun dibatasi sampai jam 9 malam. Kalau sudah jam 9 masih ada tamu, mereka secara halus akan mengingatkan. Mereka sering menggunakan jingle “ Wes wancine kon mulehh” apabila di TVRI ada siaran “Dunia Dalam Berita”.

Pengusiran halus itu pasti dipahami oleh temannya yang sedang bertamu, hingga mereka pun segera berpamitan. Pintu gerbang ditutup, dan mereka pun melanjutkan aktivitas masing-masing. Seremoni sebelum tidur kadang membuat Astuti homesick. Kangen Bunda, kangen adik adik, kangen masakan mbok Kem. Dan pikirannya kemudian berselancar pada bayangan Fadli yang masih mengganggunya. Batinnya  masih bertanya mengapa dia bisa melakukan semua itu? Fadli tak pernah mau menjelaskan masalahnya apa. Sebaliknya juga Astuti tidak bertanya tentang keadaan yang sebenarnya. Mungkin ada salah paham diantara Astuti dam Fadli.  Ia harus berusaha menghapus semua harapannya tentang Fadli, walau kadang ia berkhayal jika Fadli datang menyusulnya ke Solo. Di benaknya, ia akan membawa Fadli untuk menikmati keindahan kota Solo, dengan segala keunikannya, dan akan dikenalkan pada keluarganya. Jika bukan halu,  pasti akan sangat menyenangkan.

Pada satu hati ada satu cinta yang mendiami. Tentang Fadli perasaannya kini hanya sekadar emoji. Sejujurnya, ada teman Astuti yang satu angkatan dengannya dan menambatkan rasa pada Astutu. Tapi ia tidak menanggapinya dengan serius. Teman Astuti yang lain malah memanfaatkan situasi tersebut. Temannya sering mengajak Astuti ke rumah “ Sitrol” lelaki  yang naksir Astuti. Rumah Sitrol 20 km sebelah selatan. Melewati jalan kampung, dan jalan setapak dengan view sawah pada kanan kirinya. Mereka harus berhati-hati dan menjaga keseimbangan, jika tidak, bisa masuk sawah. Sitrol adalah anak petani kaya dan orangtuanya berternak ayam petelur. Ketika pulang Astuti dibawakan beras dan telur.  Sampai di rumah kost mereka membagikan oleh-oleh tersebut. 

Astuti merasa jika masa kuliahnya berjalan seinbang. Ia selalu lulus ujian semester walau kadang ada satu dua yang nilainya pas-pasan. Perkuliahannya  menerapkan sistem SKS, mereka bisa ikut pelajaran di atasnya kalau memang mau, biasanya Astuti ikut 2 mapel atau yang nilainya 4 SKS. Ia punya kesempatan gabung dengan angkatan di atasnya.

Teman Astuti berkata jika ia tidak terlalu pintar. Hanya bermodal tekun, dan mau belajar. Bisa mengatur waktu kapan bermain, kapan serius. Waktunya belajar, mengerjakan tugas, dan masa menjelang ujian, Astuti akan merapat ke teman temannya yang pintar dan yang rajin. Astutk tidak malu bertanya kalau aku tidak tahu, termasuk cari referensi dan penunjang materi lainnya. Termasuk persiapan untuk presentasi. Berbeda halnya dengan awal semester yang tidak terlalu menguran energi dan pikiran, Astuti pun bisa menikmati panorama sebagai seorang mahasiswa dengan nongki di kantin, belajar santuy, bahkan kopdar dengan teman jauh.

Astuti adalah pribadi nan piawai. Ia sempat bergabung di komunitas mahasiswa yang berasal dari Jakarta. Mereka rata rata jauh adalah kakak tingkat Astuti, mereka sebelumnya dari Perguruan tinggi swasta di Jakarta lalu pindah ke Solo untuk mendapatkan status perguruan tinggi negeri. Mereka ada yang dari jurusan kedokteran, teknik, dan pertanian. Pernah suatu hari mereka berkumpul di Tawangmangu, tempat wisata di kaki gunung Lawu Solo. Dari situ mereka menjadi akrab. Kemudian dilanjut dengan pertemuan rutin se bulan sekali. Akhirnya ajang ini jadi ajang cari jodoh. Karena ada beberapa yang akhirnya jadian dan menikah.

Saat berada di komunitas itu, Astuti hampir dipacari anak teknik, dengan tongkrongan motor Vespa. Astuti mengingatnya sebagai Amir, waktu itu dia hanya menyelesaikan skripsi. Dia langsung datang ke kost, dengan PD nya bilang, ”Mau ngga gue lamar?” sayangnya Amir bukan selera Astuti. Amir berbadan pendek, walau berhidung mancung dan berkulit bersih, tapi wajahnya banyak bekas jerawat yang kesannya bolong bolong atau seperti parutan. Dia asli orang betawi. Dengan tidak mengurangi rasa hormat  Astuti pun menolak lamarannya.

Sang waktu berlari terlampau cepat. Ia berjalan mengitari tawa untuk masa depan yang ceria. Tak terasa ia berada di semester lima di awal tahun 1982. Waktu itu ada sebuah seminar gerhana matahari di Solo.  Konon, akan banyak turis asing yang datang ke Solo, jadi persatuan guide di Solo mengantisipasinya dengan acara seminar itu yang melibatkan mahasiswa dan masyarakat umum yang berminat. Astuti pun tak mengabaikan kesempatan itu.

Event tersebut membawa berjuta  pengalaman, teman, dan juga ilmu di maya Astuti. Astuti berusaha menjadi sebaik tour guide untuk obyek wisata Candi Prambanan. Dua hari bersama mengikuti seminar membuat mereka akrab satu dan yang lainnya. 

Adalah Mas Haryo seorang  kakak tingkat Astuti mengenalkannya dengan mantan pelaut kapal pesiar, namanya  Mas Satria. Satria memiliki oerangai yang kebapakan, sepintas mirip pak Harmoko menteri di era Soeharto, pokoknya jawa banget. Bahasa Inggrisnya hebat, dan pintar main gitar. Astuti mengetahuinya di acara penutupan seminar.  Mas Satria dengan spontan tampil ke depan menyanyikan lagu “I love you because I understand me” lagunya James Reeves. Tentu saja Mas Satria dapat applause yang hangat dari seluruh peserta. Di mata Astutu, Mas Satria memikiki karisma karena sifatnya yang kebapakan, terbuka,  bicaranya ceplas ceplos, apalagi kalau mengumpat dengan kromo inggil. Sayang dia gagal dalam berumah tangga. Alasan klise dari runtuhnya rumahtangga Mas Satria adalah karena  istrinya ketika dia berlayar. Dia punya satu anak cowok yang sudah kelas 1 SMP. Mereka masih tinggal bersama orangtuanya walau terpisah dengan rumah induk.

Astuti sering diajak mas Haryo ke rumah mas Satria untuk meninjam buku. Buku bukunya banyak, hampir semuanya terbitan luar negeri, yang dibeli ketika dia berlayar. Astuti pun ikut meminjam buku yang ia perkirakan bisa digunakan untuk menyelesaikan tugas  kuliahnya. Semakin hari mereka makin akrab, Astuti tidak sungkan untuk bertanya, bila ada yang belum dimengerti, termasuk pengalamannya waktu berlayar keliling dunia, kebiasaan orang dari tiap negara yang dia jumpai.

Bertukar cerita dengan Mas Satria bak mendulang dongeng menjelang tidur. Astuti seperti ingin melangitkan mimpi dan mengutarakan semua resahnya.  Akhirnya Astuti bisa terbuka dan bercerita tentang siapa ia dan keluarganya.  Ia katakan dalam nada kepasrahan jika ia adalah seorang anak  seorang Tahanan Politik, Astuti berpisah dengan ayahnya hampir 14 tahun karena ayahnya mendalami ilmu kehidupan dalam sebuah tempat bernama lapas.  

Astuti melanjutkan hidup bersama ibu, ayah tiri juga saudara tiri, ibundanya begitu over protect. Rasa nyaman dibenak Astuti tercipta ketika ia dekat dengan mas Satria. Apalagi ketika dia mengelus kepalanya sambil berkata; “Mesake Cah ayu, pinter koq ngga dapat kasih sayang Bapak”

Sejak itu, Astuti jadi sering ke rumah mas Satria, ngobrol dengan Anton anaknya. Diskusi materi tugas tugasnya. Termasuk menyiapkan presentasi “Speaking”. Sesekali mereka nonton ke bioskop, Anton pun ikut berbekal coca cola dan coklat siver queen, mereka bisa menikmati film yang diputar sampai selesai. Pulangnya makan bakmi goreng, atau kadang nongkrong sebentar di HIK (Hidangan Istimewa Kampung).

Astuti  tak tahu mau dibawa kemana kedekatannya dengan mas Satria, mereka berbeda agama, beda usia hampir 18 tahun. Berteman dengan mas Satria membuatnya semakin dewasa, membuka matanya lebar lebar bahwa masalah keluarga itu amat pelik. Mempertahankan rumah tangga itu sulit. Suatu ketika dia bertanya: “What ‘s your reason  to be a teacher? “ jawaban Astuti begitu singkat “Kata Bunda seorang wanita harus siap jadi janda, jadi dia harus pintar dan survive” Mas Satria mendengarnya dalam senyum tipis.

Astuti tak ingin menceritakan banyak hal tentang Satria. Ia ingin mengais lupa episode pertemuan mereka. Bertemu dengan Mas Satria adalah awal tegukan manis yang kemudian berakhir dengan ampas miris.

Ingatannya kemudian mengembara pada masa libur semester tiba. Kala itu, Astuti tak pulang ke Jakarta, ia hanya pulang ke Jakarta pada lebaran atau tahun ajaran baru, selama libur semester itu biasanya ia isi dengan kegiatan yang ada, di kampus, atau kegiatan lain yang menarik. Seperti kegiatan yang ia ikuti di Magelang.

Astuti ikut rombongan Menwa kampus, atas perwakilan dari Mapala, karena ia bukan menwa. Acara mereka napak tilas jejak rute gerilya Panglima Perang Jendral Sudirman. Mereka gabung dengan siswa AKABRI yang masih dalam masa pengajaran di dampingi instrukturnya. Acara pembukaan di Aula komplek AKABRI, ada dimulai dengan pembekalan sebelum  perjalanan. Karena rute yang ditempuh Yogyakarta-Wonogiri menyisir bukit-bukit di pantai selatan. Komplek AKABRI yang luas nan asri, dan tenang membuat Astuti begitu kagum, disini lah calon jendral akan digodok.

Para calon Jendral itu harus memiliki fisik yang bagus, pakaian yang keren, posisi duduk yang tegap, tapi begitu materi inti disampaikan di sesi malam sebagian dari mereka ada yang mendengkur. Mereka mungkin sudah kelelahan sejak pagi karena latihan fisik di pagi hari cukup berat, jadi para instruktur pun maklum, apabila mereka sering tidur meski dalam posisi duduk.  Sedangkan Astuti  masih bertahan dengan penuh perhatian sampai acara selesai. Kegiatan ini langka diikuti  oleh peserta putri, mayoritas putra semua. Dari Kampusnya hanya Astuti dan Grace yang mengikuti.

Malam kian pekat, angin semakin dingin, dan sang fajar mengantarkan pagi. Di pagi hari selesai sarapan mereka dikumpulkan di lapangan, untuk diberi pengarahan. Setelah itu langsung naik mobil truk hijau yang biasa untuk membawa tentara .Truk yang ditutupi terpal tapi ada tempat duduknya. Dari Magelang mereka menuju Yogya, mampir di gedung Agung, lanjut ke rumah Keluarga Panglima Jendral Sudirman. Dari rumah itu lah perjalanan dimulai. Mereka berjalan kaki kearah Parang Tritis. Menyebrangi sungai dengan perahu penyebrangan.

Sore hari mereka beristirahat sejenak. Numpang mandi di rumah penduduk yang sudah ditunjuk, sedang siswa AKABRI tidak mandi, pasukan perempuan istirahat di rumah penduduk, mereka istirahat di bifak, tenda kecil yang hanya cukup untuk satu orang. Perjalanan ini sangat melelahkan tapi ia menikmatinya dengan senang hati. Astuti berjalan tidak beriringan dengan teman teman menwa, ia lebih suka berbarengan dengan instruktur, dari mereka Astuti  mendapat banyak bahan cerita yang lucu lucu, apalagi bila ada siswa yang melanggar aturan, mereka pasti menegurnya dengan keras. 

Astuti merasa iba denga siswa AKABRI, tas  ransel mereka sangat berat. Ternyata ransel itu berguna untuk membentuk tubuh mereka agar tegap dan kencang. Dua hari jalan tanpa ganti baju membuat sebagian dari para siswa AKABRI beraroma kecut, ada juga yang jalannya mulai kelelahan ada yang kakinya lecet, ada juga yang jalannya jadi “mekeh mekeh” seperti habis khitan. Haha. Karena selangkangannya juga lecet akibat pakaian dalam yang kotor, atau karena berkeringat yang berlebihan.

Perjalanan yang paling asyik adalah ketika mendapati bukit jalan setapak, mereka bisa memandang laut lepas yang berwarna biru dan ombak putih yang berkejaran. Di jalan yang agak menanjak mereka biasanya  beristirahat sejenak, meluruskan kaki dan minta kelapa muda dari petani kelapa yang sedang memetik kelapa.

Setelah keluar masuk desa selama berjam-jam, malam kedua mereka  beristirahat di lapangan Eromoko. Malam hari mereka dihibur oleh orkes melayu setempat. Mereka mengadakan malam pengakraban dengan penduduk setempat.  Hampir seharian Astuti dekat dengan salah satu instruktur yang bernama Gunawan. Dia masih muda, pengakuannya lelaki perjaka, belum berkeluarga dan baru saja lulus tapi langsung direkrut jadi instruktur.

Astuti dan Gunawan pun saling  bertukar  alamat, dan berjanji mau saling memberi kabar, kalau acara sudah selesai. Malam yang dingin, angin membelai merdu dalam hening. Singkong dan pisang rebus adalah suapan hangat tatkala menikmati hiburan orkes melayu, Astuti cukup terhibhr. Tapi karena lelah, ia segera pamit untuk beristirahat.

Di pagi yang buta, para rombongan kemudian melanjutkan perjalanan sampai Wonogiri, ditutup dengan acara penyambutan dari pemda setempat, masing-masing dari peserta mendapat piagam penghargaan yang ditandatangi langsung oleh petinggi AKABRI. Usai acara mereka pun naik bus yang sudah disediakan dari kampus. Di perjalanan pulang teman Astuti yang mengamatinya mulai teriak teriak;”Syuit Syuit, Tiwiek entuk cem ceman…”. Wah mereka mengira Astuti mengalami cinta lokasi.

Perjalanan mengesankan pun akhirnya usai. Rasa capek, ngantuk, wajah dan kulit juga gosong, menjadi sosok oleh-oleh yang amat berkesan. Sungguh sebuah perjalanan dan pengalaman yang tak tentu akan terus mengitari ingatan sebagai prasasti kenangan. 

Sesampainya di rumah Astuti langsung membeli 'parem' kocok untuk mengurangi rasa pegal pegal di sekujur badannya. Ketika ia berlibur ke Jakarta, kemudian Ia ceritakan pengalaman itu pada Bunda dan adik adiknya,  sembari menunjukkan foto fotonya. Sungguh Bunda tidak menyangka jika Astutu kuat mengikuti kegiatan itu, Padahal jalan dua hari dua malam butuh fisik yang kuat.

Sejengkal episode petualangan di waktu libur semester itu, membuat Astuti menjadi pribadi yang kukuh. 

Waktu berselang begitu cepat,  kegiatan di kampus pun aktif kembali. Di sini Astuti  mendapatkan her registrasi. Di sela her registrasi itu, dia menyematkan harapan mendapatkan surat balasan dari sahabat penanya yang di Selangor atau yang di Kuala Lumpur. Ternyata tidak ada,  yang malah ia mendapat surat dari orang yang tak terduga. Sebuah surat itu dari Kak Gunawan, instruktur yang ia kenal ketika ikut kegiatan Napak tilas.

Sepucuk surat itu tak langsung ia bukan ia amati dengan dalam tulisan yang begitu rapi di sampul bagian depan dan belakang, lalu  ia masukkan surat itu ke dalam tas. Baru ketika malam hari menjelang tidur ia buka isi amplop itu.. Hmmm sepucuk surat cinta yang cukup romantis, dan membuatnya tersanjung. Astuti ragu untuk membalasnya. Tapi akhirnya surat itu ia balas, sebuah balasan untuk sebuah penolakan. Memori Astuti hanya berlayar pada keakraban tatkala mereka mendaki bukit dengan pemandangan yang begitu indah. Jika orang yang tidak merasakan suasana saat itu pasti bisa beda dalam menafsirkannya.

Di benak Astuti, ia hanya berkesan akan perjalanan seru itu, namun Kak Gunawan merasa GR atas kedekatan kala itu.  Tidak lama kemudian ia mendapat balasan lagi dari Gunawan. Sebuah balasan yang masih penuh dengan rayuan, sebuah kalimat yang  meminta Astuti untuk ke rumah di komplek tidar Magelang. Dasarnya Astuti menyukai travelling, akhirnya undangan itu ia terima, tujuannya hanya dua, pertama datang ke rumah famili Pak Atmaja di Badran, kemudian ke Magelang.

Jarak Solo ke Badran cukup jauh, ia harus naik bus jurusan Semarang, dan turun di Bawen lalu ganti bus untuk jurusan Yogya, setelah itu turun di perempatan  yang disambung lagi dengan bus kecil arah Temanggung. Perjalanan yang cukup rumit dengan beberapa tempat pemberhentian. Niat silahturahmi yang kuat dan rasa penasaran memenuhi undangan dari Kak Gunawan, tak membuatnya lelah. Astuti ingin menemui temannya di komplek tidar.

Astuti tinggal di Badran tak lama, karena memang tujuan utamanya adalah ke Magelang tapi ia harus bagi waktunya untuk  pergi ke Badran untuk sekedar “Say hello” dengan keluarga Pak Atmaja. Astuti pun segera pamitan dan melanjutkan perjalanan. Astuti katakan pada keluarga Pak Atmaja bahwa ia ingin menemui temannya di komplek tidar. Rumah yang ia tuju butuh waktu 20 menit dari Badran. Astuti pun memperhatikan alamat yang  ia pegang dengan nomer rumah yang ia cari.  Astuti mencari rumah Kak Gunawan dengan hanya modal bertanya pada Kang Becak.

Langkah kaki Astuti tepat  di sebuah pintu dari rumah seorang Gunawan. Jantung hatinya mulai berdebar, karena rumah itu amat sepi. Ketika ia mengetuk pintu, kemudian datanglah gadis kecil yang begitu lucu. Gadis itu berkisar 4 tahun umurnya.  Feeling nya sudah tak bagus, ia mencium aroma tak sedap dari perasaannya. Tapi mau bagaimana sudah tak mungkin jika  harus putar balik dan kabur. 

Dengan nada gugup Astuti kemudian bertanya  “Ini rumahnya Kak Gunawan?" Bocah cilik itu menggangguk sembari berlari ke dalam dan berteriak, “Papa ada tamu nyari papa”. Astuti belum berani duduk dan juga tidak berani melihat ke arah dalam rumah. Ia berdiri kaku menunggu langkah-langkah kaki mendekat. Kak Gunawan didampingi seorang perempuan mengulurkan tangannya mengajak salaman dan mempersilahkan duduk. Tidak ada basa basi, perempuan itu langsung memperlihatkan surat yang ada digenggamnya.  Astuti yakin itu surat yang pernah ia kirim untuk Kak Gunawan. Dia langsung menuduhnya sebagai wanita penggoda suami orang. Adegannya jadi seperti di dagelan Srimulat. Kak Gunawan berusaha menenangkan istrinya dan menjelaskan hubungan mereka yang sebenarnya.

Tapi istrinya tetap marah dan memaki Astuti sesukanya. Ia biarkan dia menghukumnya dengan kata kata yang tidak sopan. Sampai akhirnya dia menangis. Setelah itu baru ia menjelaskan apa arti dari isi surat itu yang membuatnya salah paham. Ia bercerita di surat itu tentang keindahan alam dan kebersamaannya  dengan Kak Gunawan, sementara dia mengartikan bahwa Astutu sudah melakukan asusila dengan suaminya.

"Mbak saya minta maaf, saya kesini atas undangan mas Gunawan, saya tidak menyangka kalau masalahnya jadi runyam, mbak boleh marah kalau saya datang kesini dalam keadaan hamil atau menuntun anak, dan minta pertanggungjawaban Kak Gunawan, karena saya istri simpanannya. Mbak patut marah. Jujur saya tidak tahu kalau mas Gunawan sudah berkeluarga, lain kali saya akan hati hati, dan tidak mudah percaya dengan lelaki yang mengaku bujang, permisi.”

Dengan rasa nanar menahan malu, Astuti kemudian pergi meninggalkan rumah itu tanpa menghiraukan istrinya yang meminta maaf dan memanggil namanya. Astuti tak kuat menahan tangis. "Ya Allah ampuni aku".  Batinnya. Berbagai rasa larut jadi satu, merasa dibohongi, dilecehkan, dan direndahkan. Sungguh pengalaman yang sangat berharga untuk Astuti.

Sabtu, 22 Oktober 2022

 INDAHNYA MASA SMA

Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami( QS.Al-Anbiyaa:35)

Ada masa, dimana manusia dapat meramu sebuah rasa. Hati kadang bergejolak  sebagai pusat galaksi yang tak terkendali. Terkadang ia membawa paksa suapan duka, suka, lara, atau bahagia. Adalah masa SMA yang acap kali menuangkan latar cerita di pelupuk kehidupan.

Semua orang yang pernah mengalami  masa SMA, pasti akan mengamini bila dikatakan “ Masa SMA masa yang paling indah”.  Betapa tidak di masa SMA perkembangan remaja naik satu level menuju arah dewasa. Orang tua sudah membolehkan anaknya  memilih dan berkata tidak bila “tidak setuju” dengan pendapat mereka. Bahkan pada beberapa keadaan anak SMA sudah bisa meringankan beban orang tuanya.

Astuti menapaki masa SMA nya dengan penuh harapan bisa melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Cita-citanya ingin menjadi pramugari, bisa melayani penumpang di pesawat dan bisa travelling. Keinginan yang sederhana dan tidak terlalu muluk. Sang Ibunda mengingatkannya untuk kursus bahasa Inggris, belajar yang rajin. Jangan malas olahraga, terutama berenang. Ketika Astuti mendengar dan melihat banyak terjadi kecelakaan pesawat terbang baik di Indonesia atau di luar negeri, keinginannya menjadi pramugari kemudian pupus.

Suatu masa takdir mengantarkannya menjadi siswa SMA di sekolah favorit. Banyak suka dan duka yang dirasakan Astuti.  Karena pindah rayon, tentu statusnya pun berpindah. Ia tinggal di Kemang. Padahal ia tiap hari harus ganti metro mini sebanyak dua kali. Jadi ia harus berangkat lebih awal agar tidak terlambat, bila dapat giliran masuk di siang hari, maka  menjelang isya ia baru sampai rumah. Kadang Astuti“ nebeng” pada temannya yang tinggal di komplek dekat rumahnya. Yang namanya numpang jelas tidak enak. Apalagi kalau temannya tak langsung pulang tapi harus mampir dulu sekalian menjemput adiknya yang pulang les. Dengan alasan kepepet akhirnya nebeng harus  ia lakukan. 

Teman-teman Astuti adalah anak orang berada, pula mereka berlatar siswa pandai, karena sebagian dari mereka  SMP nya di luar negeri, jadi bahasa Inggrisnya sangat bagus. Kalau mereka meminjam buku di perpustakaan, yang mereka pinjam rerata buku teks bahasa Inggris. Sekolah Astuti banyak mendapat penghargaan dan piala dari kejuaraan yang sering diikuti oleh siswa-siswanya.

Selain itu, anak pengusaha tak kalah diam, banyak diantara para murid adalah anak para pengusaha. Terkadang, ada  anak pengusaha yang apabila liburan, mereka pergi ke Singapura dan Hongkong. Pula, Anak dosen yang penuh dengan fasilitas belajar yang lebih lengkap dan ketika ke sekolah maka jasa antar jemput nya  adalah mobil pribadi dengan seorang supir. Hanya sebagian kecil dari mereka yang menggunakan transportasi umum. Astuti salah satunya.

Sekolah favorit itu membagi dua jurusan. Untuk  jurusan IPA ada 7 kelas, sedang yang IPS hanya 2 kelas. Karena lokalnya besar dan kelasnya banyak, tidak semua siswa saling kenal, Kecuali anak yang aktif di OSIS, anak yang sering dikirim mengikuti lomba, atau anak yang punya prestasi tertentu, biasanya mereka anak artis, anak olahragawan, atau anak penyanyi terkenal. bahkan anak pejabat. Astuti  dan teman-temannya pernah  main ke rumah salah seorang temannya, yaitu rumah dari anak seorang pejabat. Astuti begitu terkejut karena rumah dinasnya luas, dipenuhi dengan karangan bunga, maklum ayah temannya baru saja diangkat jadi Menteri.

Astuti termasuk anak IPS dan tidak punya prestasi yang menonjol. Ia dengan susah payah berusaha menyesuaikan diri, dan ini sangat melelahkan. Dari sepatu, tas dan perlengkapan sekolah yang dimiliki temannya  jelas semuanya branded. Memakai sepatu merek Bata, bagi Astuti sudah sangat keren, sedangkan mereka rata-rata sudah memakai sepatu Kicker yang harganya sangat mahal pada waktu itu. Dan akan kelihatan sekali jika mereka adalah orang berpunya, hal itu terlihat ketika mereka mengadakan acara piknik, atau acara refreshing kenaikan kelas.

Ada cerita yang begitu menggelitik di benak Astuti yaitu ketika kenaikan kelas tiba, Astuti dan temanya hanya naik bus plat merah milik suatu instansi. Sedang  Wali Kelas Astuti sekeluarga disediakan satu mobil Mercy beserta sopir. Agenda itu sudah ada yang mendanai termasuk untuk vila dan lainnya. Mereka hanya tinggal menikmati kenyamanan yang sudah disediakan. Terbesit di pikiran Astuti, betapa enaknya jadi guru di sekolah favorit.

Acara itu diadakan di Puncak Cipanas, dan mereka pun bermalam. Seminggu sebelum hari H Astuti  sudah sibuk, dengan menyiapkan baju, sepatu dan tas yang harus ia bawa. Ibunda mengajak Astuti ke Blok M dan memilihkan perlengkapan yang diperlukan dengan susah payah. Bundanya ingin Astuti agar tidak minder. Dan tetap bisa berbaur dengan temanya.

Alhamdulillah Astuti tidak minder dan bisa merasa nyaman berada di lingkungan mereka. Walau ia tidak punya teman dekat, tapi dalam pergaulan dengan teman-teman yang lain ia tetap bisa “nyambung” sebatas masalah belajar dan kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan sekolah, termasuk gossip dan  issue hangat saat itu.

Ia meminjam waktu untuk selalu belajar dan berusaha agar terbiasa dengan suatu perbedaan. Ia selalu berpikir realistis dan berpenampilan modis.

Untuk urusan penampilan agar terlihat modis ia tidak terlihat kampungan, karena sering meminjam majalah remaja “Gadis” dari majalah itu ia tahu apa yang sedang ngetrend. Dari mulai, potongan rambut, sepatu, tas, fashion, dan aksesoris. Kadang ia juga jadi korban mode ketika, rambutnya ia pangkas, ala Demi Moore, Lady Dy, Shaggy, atau bahkan ia pernah mengeriting rambutnya di salon. Ia sering menghabiskan waktu  berjam-jam, demi sebuah penampilan. Singkatnya apa yang sedang jadi model saat itu, Astuti tetap berusaha untuk  bisa mengikuti. Ia takut dikatakan ketinggalan jaman dan tidak gaul.

Astuti adalah gadis yang memiliki gairah meledak dalam nuansa cita-cita. Ia amat membaca, karena Sang Bunda memang membiasakan mereka sekeluarga senang membaca. Dari mulai buku pelajaran, majalah, novel remaja, koran, termasuk mengisi TTS. Pernah ketika Astuti sedang membersihkan meja kursi di ruang tamu ia melihat ada majalah yang asing baginya. Majalah itu majalah “ Detektif Romantika”. Astuti  melihatnya dari judul artikel yang ada di sampul halaman depan. Dibenaknya judul itu terdengar seram.  Iseng-iseng ia buka dan baca halaman demi halaman, ternyata isinya cukup mengasyikkan, selain gambarnya juga menarik. Tiba-tiba bacaannya tertuju pada kolom korespondensi. Satu demi satu  ia amati foto dan alamat yang tertera di halaman itu.

Dengan iseng ia catat salah satu alamat yang ada di kolom itu. Alamat seorang pemuda yang tinggal di Malaysia dan berprofesi sebagai Fotografi. Di waktu luang selesai belajar, ia mencoba menulis sepucuk surat perkenalan dan mengirim surat tersebut melalui pos. Dua minggu kemudian ia mendapat balasan. Bahasa yang digunakan teman barunya terasa aneh tapi  Astuti menyukainya,  paling tidak ia mendapat prangko baru bergambar kupu-kupu yang sangat cantik. Kegiatan itu pun berlanjut, mereka saling tukar kabar dan berkirim foto. Bila hari Raya Idhul Fitri tiba, mereka saling mengirim kartu ucapan. Persahabatan itu terasa indah.

Suatu saat Astuti dapat surat dari Malaysia tetapi bukan dari Bang Oemar, melainkan dari Yusri dengan alamat yang berbeda. Penasaran ia buka surat itu dan ternyata surat itu dari seorang pemuda Malaysia yang seusia dengan Astuti. Sang  pemuda pun  memperkenalkan diri sebagai Kemenakan dari Bang Oemar. Ya dia mendapat alamat Astuti dari surat yang ia kirim. Kebetulan dia sedang berlibur di rumah Bang Oemar dan dia yang menerima surat yang diantar pak Pos.

Surat perkenalannya  ia terima dan segera Astuti mengirim balasannya. Setelah surat balasan siap, ia hanya menyimpannya di laci meja belajar. Lama surat itu berada di laci, ia pun lupa mengirimnya ke kantor Pos.  Dengan iseng, ternyata adik Astuti mengirim surat tersebut.  Sejak saat itu ia punya dua sahabat pena dari Malaysia. Satu dari Kuala Lumpur, satu dari Selangor. Ternyata hobbi membacanya memperluas wawasan Astuti tentang persahabatan, kehidupan, dan banyak hal. Maka kegiatan membaca semakin  ia tingkatkan.

Beda hal nya dengan membaca Al Qur’an yang  belum ia lakukan secara rutin. Mengaji selesai shalat masih belum  ia biasakan, mereka mengaji hanya pada Ramadhan tiba. Selepas Ramadhan mereka tidak mengaji lagi, kecuali malam jum’at Pak Atmaja mewajibkan mereka tahlil dan kirim doa. Mereka diajarkan baca QS. Al Ikhlas 100 kali setelah itu baru berdoa yang dipimpin Pak Atmaja dan jamaah pun mengamininya.

Sedang,  pergaulan Astuti  dengan teman-teman di sekitar rumah, tidak seperti dulu lagi. Hanya sesekali ia main ke warung Pak Haji Amsir. Karena ada Ida yang masih punya waktu untuk ngobrol berbagi dan cerita. Ternyata dia masih awet pacaran dengan Ridwan. 

Ketika Astuti sedang main di rumah Ida, ia melihat ada cowok asing duduk di teras rumah Ida. Dengan reflek Astutu pun bertanya “ Siape dia  Da?” 

“Yang mane ? Jawab Ida.” Noh yang pakai kemeja kotak-kotak" jelasnya.

“ Ohh entu, temen abang gue, emang ngape?” Selidik Ida

“ Koq gue ngga kenal emang orang mane?” tanya Astuti lagi. 

"Ya terang aje… ,nah lu jarang maen ke rumah gue, mane lu tau, dia anak baru yang rumahnye di komplek. Namenya Fadli. Suka ada urusan paan ame abang gue koq sering ke rumah gue” Ida nyerocos tanpa ditanya lagi.

“Oh namanya Fadli”. Gumamnya dalam hati  Ketika Astuti memperhatikan cowok itu, si cowok kebetulan  menengok pas ke arahnya, Astuti malu setengah mati karena ketahuan lagi mencuri pandang. Langsung ia juga pamitan sama Ida. Dan lari pulang.

Sejak saat itu Astuti jadi rajin lagi main ke rumah Ida, dan berharap bisa bertemu Fadli. Akhirnya ia dapat info jika  cowok ganteng itu  sudah kerja. Bapaknya orang Jawa sedang ibunya dari Bangka, dia lima bersaudara. Bapaknya sudah pensiun. Saudaranya yang lain juga sudah kerja kecuali si bungsu Mirna yang sebaya dengannya. Mirna bersekolah di SMA swasta di Tebet.

Diawal perkenalan Astuti dengan Fadli  cukup kaku, untung ada Bang Zae, kakak Ida yang ikut nimbrung ngobrol bareng, sejak itu aku ia dan Fadli jadi akrab. Kadang dia mengajak Mirna ikut main di rumah Ida. Sampai suatu saat Fadli bilang padanya “Mau ngga Wiek  jadi pacarku?” Jelas ia salah tingkah mendengar pertanyaannya. Tanpa pikir panjang dijawab tidak, pada saat itu. kira kira dua minggu  ia biarkan Fadli menunggu jawabannya. Astuti tidak berani pacaran. Ia tak mau mengecewakan Bundanya lagi.

Astuti berterus terang pada Fadli jika ibundanya galak dan ia tidak mungkin menyampaikan jika ia sedang dekat dengan laki-laki pada bundanya. Fadli memintanya backstreet saja, menjalin hubungan diam-diam tanpa diketahui bunda. Hmmm apa enaknya pacaran backstreet, padahal ia janji maunya selalu terbuka. Seiring berjalannya waktu mereka memang jadian. Sejak itu ia sering dijemput di depan sekolahnya pada jam pulang. Waktu kelas dua SMA Astuti di masuk siang hari, jadi sore baru sampai rumah.

Fadli sudah berani mengajak Astutu ke rumahnya. Ia dikenalkan sebagai temannya dan sekaligus teman Mirna. Sedangkan Fadli  dilarang berkujung ke rumah Astuti.  Jujur, Astuti tidak punya nyali untuk mengenalkan Fadli pada Bundanya. Hubungan mereka baik-baik saja. Asal pintar-pintar saja mengatur waktu dan mencari kesempatan untuk bertemu, nonton film horor, makan bakso atau sekedar ke toko buku Gunung Agung.

Dalam benak Astuti Fadli berperangai baik. Ia  cukup perhatian, ketika Astutu ulang tahun dia memberi bros cantik berupa sepasang jerapah yang berpelukan. Cute banget. Dan sebaliknya waktu dia ulang tahun Astuti menghadiahkan dia sebuah dompet kulit yang ia isi dengan fotonya berwarna ukuran kecil yang terbaru. Kebetulan ulang tahun mereka hanya beda 8 hari, Astutu tanggal 8, sedang Fadli tanggal 16 Januari.

Kebiasaan Astuti di hari minggu ia pamit ke Bundanya, ia izin untuk ke rumah Kartika dalam acara makan rujak bareng. Padahal ia tidak datang ke sana. Astuti diajak Fadli ke rumahnya. Dia asyik mengotak -atik sepeda motornya sambil sesekali menggodanya sementara Astuti, Mirna dan maminya juga asyik di dapur masak untuk acara makan siang. Sebetulnya ia yakin jika Fadli serius menjalin hubungan dengannya, dia sudah bekerja walau cuma lulusan STM, jelas masa depannya ada. Astuti takut jika tiba-tiba setelah lulus SMA dia meminangnya. Apa dia mau menunggunya sampai kuliahnya selesai. Bunda  Astutu menghendaki jika sudah selesai kuliah barulah memikirkan jodoh.

Naluri seorang ibu tidak bisa dicolong. Kejadian waktu di SMP terulang lagi. Entah dapat laporan dari mana Bundanya tahu tentang hubungannya dengan Fadli. Kali ini Bunda mengajak Astutu makan di warung sate kambing  Pancoran. “Ahhh kalau perginya cuma berdua begini pasti akan ada sesuatu lagi nih”. Bisik batinnya.

Astuti baru menikmati es kelapa muda yang disajikan pelayan ketika Bundanya mengajukan pertanyaan siapa itu Fadli dan bla bla bla. Hampir saja ia tersedak dan tak bisa menelan apa yang ada di dalam mulutnya. Matanya terbelalak karena kaget.

“Bunda tahu dari mana tentang Fadli?” Astuti balik bertanya. “ Tidak penting”. Jawab Bundanya penuh diplomatis. Mungkin ini lah saat nya terus terang ke Bunda. Dengan menceritakan  yang sebenarnya ia akan jadi lega. Tidak ada lagi yang mengganjal di batinnya. Ia ceritakan pada Bundanya dari awal ia mengenal Fadli, dan jalan bareng kemana saja dengannya. Astuti mengakui semuanya, tanpa ada yang ia tutup tutupi. Jika Bundanya ingin marah biar lah dia marah, itu haknya, Astuti lah1 yang salah. Hukuman apa pun yang akan diberikan Bundanya  pasti akan ia terima.

Disaat Astuti siap-siap menerima hukuman, Bundanya justru memeluk dan menciumnya, dia menangis tersedu, “Anak Bunda sudah besar Bunda yang salah seharusnya Bunda tidak melarangmu, sehingga kau tidak umpet-umpetan, dan membohongi Bunda terus menerus. Kau pasti lelah Nduk”. Sejak saat itu pintu rumahinya terbuka lebar untuk Fadli. 

Fadli boleh mengapeli Astuti di malam minggu, atau mengajaknya pergi bersilahturahim ke rumah tantenya di Bogor. Ketika adik Astuti ulang tahun dan mereka merayakannya dengan pergi berlibur ke Ciater, Fadli juga gabung dalam acara itu. Karena itu acara keluarga maka keluarga dari Pak Atmaja juga ikut termasuk Bu Atmaja dan ke lima anaknya. Anak Pak Atmaja yang sulung mas Irawan namanya. Dia baru saja selesai pelantikan AKABRI di Magelang, kebetulan dia di tempatkan di bagian kepolisian jadi pendidikannya dilanjutkan di Semarang. Acara ini dalam rangka ulang tahun adik Astuti dan syukuran bahwa mas Irawan sudah separuh menyelesaikan pendidikannya di AKABRI.

Bunda Astuti ikut Bangga karena Bunda juga ikut “cawe-cawe” waktu mas Irawan masuk AKABRI. Di acara itu perhatiaan Astuti pada  Fadli agak terbagi. Ia sibuk mengurus makanan dan melayani kerabat yang lain, begitu juga dengan mas Irawan. Jadi jika dilihat sepintas Astuti lebih asyik mengurus keperluan mas Irawan sementara Fadli  ia abaikan. Apalagi saudara Astuti ada yang nyeletuk. "Wah dijodohin aja nih si Irawan sama Tiwiek”. 

“ Ihhh ngomong apa tuh si om Broto ngaco aja” gerutu Astuti. Jika Fadli dengar akan disangka sungguhan.nMana mungkin bapaknya nikah sama Bundanya dan ia nikah dengan anaknya. Yang mboten-mboten aja.

Sejak acara ke Ciater itu Fadli agak jarang ke rumah. Astutu tidak terlalu merisaukan karena ia percaya padanya dan lagi ia mulai banyak ulangan dan mengikuti pelajaran tambahan agar ia benar benar siap mengikuti ujian. Fadli juga selalu menyemangatinya agar belajar yang rajin. Dan dia juga berjanji tidak akan cepat-cepat melamar Astuti.

Ini memang salah satu strateginya.  Menjelang ujian Astutu selalu punya semangat dan motivasi yang tinggi untuk mencapai nilai terbaik, kebetulan ia punya teman belajar kelompok, mereka terdiri dari lima cewek, Astuti, Binyu, Ite, Etheng dan Ningnong. Sebenarnya itu hanya nama panggilan. Binyu itu asli Elizabeth dia anak kontraktor yang tinggal di Pondok Indah, kalau Ite itu aslinya Mieke, karena rumahnya di cipete jadi mereka memanggilnya Ite, sedang Etheng alias Esher adalah mojang Bandung dan Bapaknya merupakan petinggi BI, dan Ningnong bernama aseli aslinya Ningrum, sedangkan Astuti sendiri dipanggil Iwiek. Cuma mereka yang biasa memanggil nama kesayangan masing-masing.

Selama seminggu ujian mereka punya tempat khusus untuk belajar di daerah Bendungan Hilir atau disingkat Benhil. Satu rumah khusus plus pembantu dan sopir, Sebenarnya ada tiga kamar kosong yang tertata rapih dengan springbed dan dilengkapi pendingin ruangan. Tapi mereka memilih satu kamar utama yang besar dan mereka berlima tidur disitu. Itu adalah rumah orang tua Binyu yang baru saja dikosongkan. Karena sebelumnya dikontrakkan ke orang asing. 

Di rumah itulah  mereka belajar bareng, makan bareng dan tidur bareng kecuali mandi pastinya sendiri sendiri. Walau sudah selesai belajar dan sudah masuk kamar, lampu sudah dimatikan , tetap saja mereka masih serius belajar, dengan mata tertutup  mereka main tebak tebakan terutama pasal pasal yang ada di UUD 45, atau tokoh di pelajaran sejarah dan Ekonomi.

Ketika Astutu minta ijin untuk gabung dengan temam-teman belajar bareng dan bermalam, Bundanya mengijinkan. Tetapi  sang bunda tetap menaruh curiga. Bundanya mengantarkan Astuti ke tempat itu. Bundanya takut ia berbohong lagi. Bundanya juga beberapa kali mengirimi mereka makanan, padahal makanan begitu melimpah disediakan oleh keluarha Binyu. Disini Astuti merasakan kesetiakawanan, berbagi, saling menyemangati, belajar serius untuk masa depan mereka. Inilah yang dianggap paling bahagia dan benar-benar indah.

Astuti bersyukur ada di lingkungan yang sangat menyenangkan dan serba mudah, full dengan segala fasilitas. Ternyata tidak harus kaya untuk bisa menikmati semua fasilitas kemewahan itu, Bila Allah menghendaki segala sesuatu bisa terjadi. Ternyata Bundanya tidak salah menyekolahkan ia di SMA favorit itu. Sang Bunda akan bangga bila kerabat atau temannya bertanya” Anaknya sekolah dimana Bu?” Bundanya menjawab bahwa aku sekolah di salah satu SMA favorit di Kebayoran.

Ada satu kejadian yang sampai saat ini selalu  ia ingat di saat ujian. Waktu itu adalah hari terakhir ujian salah satu mata pelajaran yang diujikan adalah Geografi. Mereka sudah mateng belajar dan cukup 'ngelotok' dengan materi Geografi. Mereka bersiap untuk tidur, tetapi tiba-tiba Mbo Yah  pembantu Binyu memberitahu  jika ada tamu. Rupanya ada 3 orang teman sekelanya yang semua laki laki. Mereka memberi info kalau dapat bocoran soal Geografi. Katanya ada salah satu teman mereka yang beli kunci jawaban dari salah satu oknum di sekolah. Ketiga teman lelaki itu menawari Astuti dan teman lainnya. 

“Sorry ya..kami ngga butuh, kenapa bukan matematika? Kalau hanya Geografi ngga penting kami sudah hafal” Etheng menolak tawaran itu. Meski sudah menolak mereka tetap memaksa. Katanya ngga usah bayar ngga apa apa. Jawabannya gampang koq pokoknya zikzak dari mulai nomer 1 sampai 40. A,B,C,D. kembali lagi ke A.B.C.D. begitu terus sampai nomer 40. Dan ternyata bocoran jawaban itu benar adanya.

Selesai ujian mereka berlibur selama dua hari, sang Bunda kemudian menjemput Astuti. Libur hari kedua mereka gunakan untuk refreshing ke Ciloto, disana ada Villa keluarga Etheng. Mereka berangkat dua mobil satu mobil pakai driver sedang mobil satunya lagi disetir oleh teman cowok. Disana mereka benar benar menghilangkan stress setelah seminggu mengikuti ujian yang cukup melelahkan. Di malam hari mereka nyalakan api unggun sambil bernyanyi diiringi petikan gitar si Fani, salah satu temannya yang jago gitar.

Pagi hari mereka bisa turun ke sungai yang arusnya deras tapi tidak dalam, ada hamparan batu yang besar-besar, dan mereka bisa main air sepuasnya, sambil memandang keindahan gunung dan pepohonan yang ada di sekitarnya. Udara segar pagi hari, suara gemercik air, seakan membayar lunas semua kepenatan mereka ketika menghadapi ujian.

Ujian membuat Astuti jarang bertemu Fadli. Sampai pada suatu hari setelah selesai ujian dan menunggu hasil kelulusan, ia mendengar gossip bahwa Fadli dekat dengan janda beranak satu yang tinggal di dekat rumah tantenya di Bogor. Astuti tidak menghiraukan gossip itu. Sampai pada suatu hari  Astuti bertemu Mirna di rumah Ida. Ida mengingatkannya,“Sono tanya sendiri tuh same adiknye, bener ngga Fadli punya pacar baru di Bogor?” Astuti tidak berani mendengar jawaban Mirna. Ia memilih diam. Biar nanti saja dia akan mengetahuinya sendiri apa yang terjadi.

Yah. Fadli tanpa memberi alasan yang jelas tiba-tiba menghilang begitu saja. Bundanya juga heran dan bertanya tentang Fadli, Astuti tak mampu menjawab. Rasanya malu jika ingin mengatakan gossip itu pada sang bunda, apalagi kalau gossip itu memang nyata. Jadi ketika Bunda menanyakan hal itu ia mengalihkan pembicaraan. Itu lebih baik menurutnya. Sang Bunda melihat perubahan yang ada pada dirinya. Ia jadi pemurung. Dan tidak betah di rumah.

Astuti meminta ijin kepada  Bunda, sembari menunggu hasil ujian, ia ingin menenangkan diri di rumah Bude. Bundanya kemudian mengijinkannya. Dan Astuti pun  membawa baju secukupnya. Di sana ia punya banyak teman. Karena ia sering bersilahturahim ke rumah Bude, jadi ia cukup akrab dengan teman anak Bude yang rata-rata sebaya dengannya. Belum genap seminggu Astuti di sana, Bundanya datang menjemput. Tadinya ia tidak mau pulang tapi Bundanya sedikit memaksa, karena ia harus belajar.  Masih ada tes sipenmaru di rayon 3.

Astuti mengikuti tes di senayan, dan ambil rayon 3 yaitu IKIP Jakarta jurusan sejarah. Karena ia terobsesi dengan guru sejarahnya yang cantik, dan pandai bercerita, sehingga di kelas beliau  tak pernah ada rasa kantuk ketika beliau sedang mengajar. Beliau menegaskan bahwa orang hidup harus belajar dari sejarah, karena  belajar sejarah itu mengasyikkan. Menurutnya tidak terlalu sukar dan menjadi guru sangat mulia.

Selesai tes di senayan. Ia dan Bundanya berangkat ke Solo. Bundanya ingin Astuti juga ikut tes lagi. “ Bunda njagani kalau yang di IKIP Jakarta luput” Padahal di hati kecil Bundanya dia ingin Astuti kuliah di Solo. Astuti dan Bundanya pergi ke Solo dengan naik kereta, mereka jujug rumah Bude di Penumping. Selesai mandi dan sarapan Bundanya kembali pergi. Sedang, Astuti beristirahat sejenak tak lama Bude mengajaknya ke pasar.

Siang hari Bundanya baru pulang dari pasar naik becak. Astuti lihat dia membawa berkas di dalam map. Baru ia tahu bahwa map itu berkas formulir pendaftaran untuknya untuk mengikuti tes, setelah Bundanya menyuruh Astutu mengambil pulpen dan mengisi data yang diminta.

'Subhanallah Bunda mengapa tadi aku tak diajak?' Padahal ia yakin Bundanya susah payah mendapatkan formulir, Bundanya harus antri panjang. Ia jadi malu sudah lulus SMA, mau kuliah masih dituntun ibunya ke sana dan kemari.

Qadarullah Astutu diterima di kedua perguruan itu. Sang Bunda tegaskan ia agar memilih universitas di Solo. Ia harus bisa melupakan Fadli. Tidak boleh berlarut larut dalam kesedihan. Itu salah satu sebab Astuti kuliah di Solo. Sang Bunda berharap ia bisa belajar lebih tenang, apalagi jurusan yang diambil waktu membeli formulir adalah jurusan yang Bundanya dambakan. Jadi lah ia sebagai mahasiswa di FKIP UNS.

Walau Bundanya punya banyak family dan kerabat di Solo. Agar lebih netral Bunda mencarikan kost untuknya.  Ia mendapat tempat kost di rumah seorang guru SD yang lokasinya tidak jauh dari kampus. Bundanya sadar jika ia belum seratus persen bisa mandiri, jadi Bundanya menyewa kamar kost included makan 3 kali.

Ia jalani hari-hari pertamanya di Kampus, berkenalan dengan teman seangkatan dari berbagai daerah, ada yang dari Ngawi, Klaten, Wonogiri, dan ada juga yang dari Sumatera. Satu angkatan terdiri dari 35 mahasiswa. Ada masa perpeloncoan alias masa orientasi siswa dan ada malam inagurasi. Masa penyesuaian menjadi mahasiswa dilakukan selama satu minggu. Meski lelah dan terkadang dongkol karena banyak bentakkan senior yang mendarat di telinganya, semuanya bisa  ia lalui dengan senang hati karena kini kehidupan baru siap menanti hidupnya. Sekarang Astuti resmi menjadi seorang mahasiswa.

Kata Pengantar Buku Tarian Aksara Penuh Makna

Dahulu aku sering bertanya sendiri; kalau puisi itu berwujud, akan seperti apakah dia? Matahari? Bulan? Bintang? Gunung? Laut? Bertahun lalu...