INDAHNYA MASA SMA
Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami( QS.Al-Anbiyaa:35)
Ada masa, dimana manusia dapat meramu sebuah rasa. Hati kadang bergejolak sebagai pusat galaksi yang tak terkendali. Terkadang ia membawa paksa suapan duka, suka, lara, atau bahagia. Adalah masa SMA yang acap kali menuangkan latar cerita di pelupuk kehidupan.
Semua orang yang pernah mengalami masa SMA, pasti akan mengamini bila dikatakan “ Masa SMA masa yang paling indah”. Betapa tidak di masa SMA perkembangan remaja naik satu level menuju arah dewasa. Orang tua sudah membolehkan anaknya memilih dan berkata tidak bila “tidak setuju” dengan pendapat mereka. Bahkan pada beberapa keadaan anak SMA sudah bisa meringankan beban orang tuanya.
Astuti menapaki masa SMA nya dengan penuh harapan bisa melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Cita-citanya ingin menjadi pramugari, bisa melayani penumpang di pesawat dan bisa travelling. Keinginan yang sederhana dan tidak terlalu muluk. Sang Ibunda mengingatkannya untuk kursus bahasa Inggris, belajar yang rajin. Jangan malas olahraga, terutama berenang. Ketika Astuti mendengar dan melihat banyak terjadi kecelakaan pesawat terbang baik di Indonesia atau di luar negeri, keinginannya menjadi pramugari kemudian pupus.
Suatu masa takdir mengantarkannya menjadi siswa SMA di sekolah favorit. Banyak suka dan duka yang dirasakan Astuti. Karena pindah rayon, tentu statusnya pun berpindah. Ia tinggal di Kemang. Padahal ia tiap hari harus ganti metro mini sebanyak dua kali. Jadi ia harus berangkat lebih awal agar tidak terlambat, bila dapat giliran masuk di siang hari, maka menjelang isya ia baru sampai rumah. Kadang Astuti“ nebeng” pada temannya yang tinggal di komplek dekat rumahnya. Yang namanya numpang jelas tidak enak. Apalagi kalau temannya tak langsung pulang tapi harus mampir dulu sekalian menjemput adiknya yang pulang les. Dengan alasan kepepet akhirnya nebeng harus ia lakukan.
Teman-teman Astuti adalah anak orang berada, pula mereka berlatar siswa pandai, karena sebagian dari mereka SMP nya di luar negeri, jadi bahasa Inggrisnya sangat bagus. Kalau mereka meminjam buku di perpustakaan, yang mereka pinjam rerata buku teks bahasa Inggris. Sekolah Astuti banyak mendapat penghargaan dan piala dari kejuaraan yang sering diikuti oleh siswa-siswanya.
Selain itu, anak pengusaha tak kalah diam, banyak diantara para murid adalah anak para pengusaha. Terkadang, ada anak pengusaha yang apabila liburan, mereka pergi ke Singapura dan Hongkong. Pula, Anak dosen yang penuh dengan fasilitas belajar yang lebih lengkap dan ketika ke sekolah maka jasa antar jemput nya adalah mobil pribadi dengan seorang supir. Hanya sebagian kecil dari mereka yang menggunakan transportasi umum. Astuti salah satunya.
Sekolah favorit itu membagi dua jurusan. Untuk jurusan IPA ada 7 kelas, sedang yang IPS hanya 2 kelas. Karena lokalnya besar dan kelasnya banyak, tidak semua siswa saling kenal, Kecuali anak yang aktif di OSIS, anak yang sering dikirim mengikuti lomba, atau anak yang punya prestasi tertentu, biasanya mereka anak artis, anak olahragawan, atau anak penyanyi terkenal. bahkan anak pejabat. Astuti dan teman-temannya pernah main ke rumah salah seorang temannya, yaitu rumah dari anak seorang pejabat. Astuti begitu terkejut karena rumah dinasnya luas, dipenuhi dengan karangan bunga, maklum ayah temannya baru saja diangkat jadi Menteri.
Astuti termasuk anak IPS dan tidak punya prestasi yang menonjol. Ia dengan susah payah berusaha menyesuaikan diri, dan ini sangat melelahkan. Dari sepatu, tas dan perlengkapan sekolah yang dimiliki temannya jelas semuanya branded. Memakai sepatu merek Bata, bagi Astuti sudah sangat keren, sedangkan mereka rata-rata sudah memakai sepatu Kicker yang harganya sangat mahal pada waktu itu. Dan akan kelihatan sekali jika mereka adalah orang berpunya, hal itu terlihat ketika mereka mengadakan acara piknik, atau acara refreshing kenaikan kelas.
Ada cerita yang begitu menggelitik di benak Astuti yaitu ketika kenaikan kelas tiba, Astuti dan temanya hanya naik bus plat merah milik suatu instansi. Sedang Wali Kelas Astuti sekeluarga disediakan satu mobil Mercy beserta sopir. Agenda itu sudah ada yang mendanai termasuk untuk vila dan lainnya. Mereka hanya tinggal menikmati kenyamanan yang sudah disediakan. Terbesit di pikiran Astuti, betapa enaknya jadi guru di sekolah favorit.
Acara itu diadakan di Puncak Cipanas, dan mereka pun bermalam. Seminggu sebelum hari H Astuti sudah sibuk, dengan menyiapkan baju, sepatu dan tas yang harus ia bawa. Ibunda mengajak Astuti ke Blok M dan memilihkan perlengkapan yang diperlukan dengan susah payah. Bundanya ingin Astuti agar tidak minder. Dan tetap bisa berbaur dengan temanya.
Alhamdulillah Astuti tidak minder dan bisa merasa nyaman berada di lingkungan mereka. Walau ia tidak punya teman dekat, tapi dalam pergaulan dengan teman-teman yang lain ia tetap bisa “nyambung” sebatas masalah belajar dan kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan sekolah, termasuk gossip dan issue hangat saat itu.
Ia meminjam waktu untuk selalu belajar dan berusaha agar terbiasa dengan suatu perbedaan. Ia selalu berpikir realistis dan berpenampilan modis.
Untuk urusan penampilan agar terlihat modis ia tidak terlihat kampungan, karena sering meminjam majalah remaja “Gadis” dari majalah itu ia tahu apa yang sedang ngetrend. Dari mulai, potongan rambut, sepatu, tas, fashion, dan aksesoris. Kadang ia juga jadi korban mode ketika, rambutnya ia pangkas, ala Demi Moore, Lady Dy, Shaggy, atau bahkan ia pernah mengeriting rambutnya di salon. Ia sering menghabiskan waktu berjam-jam, demi sebuah penampilan. Singkatnya apa yang sedang jadi model saat itu, Astuti tetap berusaha untuk bisa mengikuti. Ia takut dikatakan ketinggalan jaman dan tidak gaul.
Astuti adalah gadis yang memiliki gairah meledak dalam nuansa cita-cita. Ia amat membaca, karena Sang Bunda memang membiasakan mereka sekeluarga senang membaca. Dari mulai buku pelajaran, majalah, novel remaja, koran, termasuk mengisi TTS. Pernah ketika Astuti sedang membersihkan meja kursi di ruang tamu ia melihat ada majalah yang asing baginya. Majalah itu majalah “ Detektif Romantika”. Astuti melihatnya dari judul artikel yang ada di sampul halaman depan. Dibenaknya judul itu terdengar seram. Iseng-iseng ia buka dan baca halaman demi halaman, ternyata isinya cukup mengasyikkan, selain gambarnya juga menarik. Tiba-tiba bacaannya tertuju pada kolom korespondensi. Satu demi satu ia amati foto dan alamat yang tertera di halaman itu.
Dengan iseng ia catat salah satu alamat yang ada di kolom itu. Alamat seorang pemuda yang tinggal di Malaysia dan berprofesi sebagai Fotografi. Di waktu luang selesai belajar, ia mencoba menulis sepucuk surat perkenalan dan mengirim surat tersebut melalui pos. Dua minggu kemudian ia mendapat balasan. Bahasa yang digunakan teman barunya terasa aneh tapi Astuti menyukainya, paling tidak ia mendapat prangko baru bergambar kupu-kupu yang sangat cantik. Kegiatan itu pun berlanjut, mereka saling tukar kabar dan berkirim foto. Bila hari Raya Idhul Fitri tiba, mereka saling mengirim kartu ucapan. Persahabatan itu terasa indah.
Suatu saat Astuti dapat surat dari Malaysia tetapi bukan dari Bang Oemar, melainkan dari Yusri dengan alamat yang berbeda. Penasaran ia buka surat itu dan ternyata surat itu dari seorang pemuda Malaysia yang seusia dengan Astuti. Sang pemuda pun memperkenalkan diri sebagai Kemenakan dari Bang Oemar. Ya dia mendapat alamat Astuti dari surat yang ia kirim. Kebetulan dia sedang berlibur di rumah Bang Oemar dan dia yang menerima surat yang diantar pak Pos.
Surat perkenalannya ia terima dan segera Astuti mengirim balasannya. Setelah surat balasan siap, ia hanya menyimpannya di laci meja belajar. Lama surat itu berada di laci, ia pun lupa mengirimnya ke kantor Pos. Dengan iseng, ternyata adik Astuti mengirim surat tersebut. Sejak saat itu ia punya dua sahabat pena dari Malaysia. Satu dari Kuala Lumpur, satu dari Selangor. Ternyata hobbi membacanya memperluas wawasan Astuti tentang persahabatan, kehidupan, dan banyak hal. Maka kegiatan membaca semakin ia tingkatkan.
Beda hal nya dengan membaca Al Qur’an yang belum ia lakukan secara rutin. Mengaji selesai shalat masih belum ia biasakan, mereka mengaji hanya pada Ramadhan tiba. Selepas Ramadhan mereka tidak mengaji lagi, kecuali malam jum’at Pak Atmaja mewajibkan mereka tahlil dan kirim doa. Mereka diajarkan baca QS. Al Ikhlas 100 kali setelah itu baru berdoa yang dipimpin Pak Atmaja dan jamaah pun mengamininya.
Sedang, pergaulan Astuti dengan teman-teman di sekitar rumah, tidak seperti dulu lagi. Hanya sesekali ia main ke warung Pak Haji Amsir. Karena ada Ida yang masih punya waktu untuk ngobrol berbagi dan cerita. Ternyata dia masih awet pacaran dengan Ridwan.
Ketika Astuti sedang main di rumah Ida, ia melihat ada cowok asing duduk di teras rumah Ida. Dengan reflek Astutu pun bertanya “ Siape dia Da?”
“Yang mane ? Jawab Ida.” Noh yang pakai kemeja kotak-kotak" jelasnya.
“ Ohh entu, temen abang gue, emang ngape?” Selidik Ida
“ Koq gue ngga kenal emang orang mane?” tanya Astuti lagi.
"Ya terang aje… ,nah lu jarang maen ke rumah gue, mane lu tau, dia anak baru yang rumahnye di komplek. Namenya Fadli. Suka ada urusan paan ame abang gue koq sering ke rumah gue” Ida nyerocos tanpa ditanya lagi.
“Oh namanya Fadli”. Gumamnya dalam hati Ketika Astuti memperhatikan cowok itu, si cowok kebetulan menengok pas ke arahnya, Astuti malu setengah mati karena ketahuan lagi mencuri pandang. Langsung ia juga pamitan sama Ida. Dan lari pulang.
Sejak saat itu Astuti jadi rajin lagi main ke rumah Ida, dan berharap bisa bertemu Fadli. Akhirnya ia dapat info jika cowok ganteng itu sudah kerja. Bapaknya orang Jawa sedang ibunya dari Bangka, dia lima bersaudara. Bapaknya sudah pensiun. Saudaranya yang lain juga sudah kerja kecuali si bungsu Mirna yang sebaya dengannya. Mirna bersekolah di SMA swasta di Tebet.
Diawal perkenalan Astuti dengan Fadli cukup kaku, untung ada Bang Zae, kakak Ida yang ikut nimbrung ngobrol bareng, sejak itu aku ia dan Fadli jadi akrab. Kadang dia mengajak Mirna ikut main di rumah Ida. Sampai suatu saat Fadli bilang padanya “Mau ngga Wiek jadi pacarku?” Jelas ia salah tingkah mendengar pertanyaannya. Tanpa pikir panjang dijawab tidak, pada saat itu. kira kira dua minggu ia biarkan Fadli menunggu jawabannya. Astuti tidak berani pacaran. Ia tak mau mengecewakan Bundanya lagi.
Astuti berterus terang pada Fadli jika ibundanya galak dan ia tidak mungkin menyampaikan jika ia sedang dekat dengan laki-laki pada bundanya. Fadli memintanya backstreet saja, menjalin hubungan diam-diam tanpa diketahui bunda. Hmmm apa enaknya pacaran backstreet, padahal ia janji maunya selalu terbuka. Seiring berjalannya waktu mereka memang jadian. Sejak itu ia sering dijemput di depan sekolahnya pada jam pulang. Waktu kelas dua SMA Astuti di masuk siang hari, jadi sore baru sampai rumah.
Fadli sudah berani mengajak Astutu ke rumahnya. Ia dikenalkan sebagai temannya dan sekaligus teman Mirna. Sedangkan Fadli dilarang berkujung ke rumah Astuti. Jujur, Astuti tidak punya nyali untuk mengenalkan Fadli pada Bundanya. Hubungan mereka baik-baik saja. Asal pintar-pintar saja mengatur waktu dan mencari kesempatan untuk bertemu, nonton film horor, makan bakso atau sekedar ke toko buku Gunung Agung.
Dalam benak Astuti Fadli berperangai baik. Ia cukup perhatian, ketika Astutu ulang tahun dia memberi bros cantik berupa sepasang jerapah yang berpelukan. Cute banget. Dan sebaliknya waktu dia ulang tahun Astuti menghadiahkan dia sebuah dompet kulit yang ia isi dengan fotonya berwarna ukuran kecil yang terbaru. Kebetulan ulang tahun mereka hanya beda 8 hari, Astutu tanggal 8, sedang Fadli tanggal 16 Januari.
Kebiasaan Astuti di hari minggu ia pamit ke Bundanya, ia izin untuk ke rumah Kartika dalam acara makan rujak bareng. Padahal ia tidak datang ke sana. Astuti diajak Fadli ke rumahnya. Dia asyik mengotak -atik sepeda motornya sambil sesekali menggodanya sementara Astuti, Mirna dan maminya juga asyik di dapur masak untuk acara makan siang. Sebetulnya ia yakin jika Fadli serius menjalin hubungan dengannya, dia sudah bekerja walau cuma lulusan STM, jelas masa depannya ada. Astuti takut jika tiba-tiba setelah lulus SMA dia meminangnya. Apa dia mau menunggunya sampai kuliahnya selesai. Bunda Astutu menghendaki jika sudah selesai kuliah barulah memikirkan jodoh.
Naluri seorang ibu tidak bisa dicolong. Kejadian waktu di SMP terulang lagi. Entah dapat laporan dari mana Bundanya tahu tentang hubungannya dengan Fadli. Kali ini Bunda mengajak Astutu makan di warung sate kambing Pancoran. “Ahhh kalau perginya cuma berdua begini pasti akan ada sesuatu lagi nih”. Bisik batinnya.
Astuti baru menikmati es kelapa muda yang disajikan pelayan ketika Bundanya mengajukan pertanyaan siapa itu Fadli dan bla bla bla. Hampir saja ia tersedak dan tak bisa menelan apa yang ada di dalam mulutnya. Matanya terbelalak karena kaget.
“Bunda tahu dari mana tentang Fadli?” Astuti balik bertanya. “ Tidak penting”. Jawab Bundanya penuh diplomatis. Mungkin ini lah saat nya terus terang ke Bunda. Dengan menceritakan yang sebenarnya ia akan jadi lega. Tidak ada lagi yang mengganjal di batinnya. Ia ceritakan pada Bundanya dari awal ia mengenal Fadli, dan jalan bareng kemana saja dengannya. Astuti mengakui semuanya, tanpa ada yang ia tutup tutupi. Jika Bundanya ingin marah biar lah dia marah, itu haknya, Astuti lah1 yang salah. Hukuman apa pun yang akan diberikan Bundanya pasti akan ia terima.
Disaat Astuti siap-siap menerima hukuman, Bundanya justru memeluk dan menciumnya, dia menangis tersedu, “Anak Bunda sudah besar Bunda yang salah seharusnya Bunda tidak melarangmu, sehingga kau tidak umpet-umpetan, dan membohongi Bunda terus menerus. Kau pasti lelah Nduk”. Sejak saat itu pintu rumahinya terbuka lebar untuk Fadli.
Fadli boleh mengapeli Astuti di malam minggu, atau mengajaknya pergi bersilahturahim ke rumah tantenya di Bogor. Ketika adik Astuti ulang tahun dan mereka merayakannya dengan pergi berlibur ke Ciater, Fadli juga gabung dalam acara itu. Karena itu acara keluarga maka keluarga dari Pak Atmaja juga ikut termasuk Bu Atmaja dan ke lima anaknya. Anak Pak Atmaja yang sulung mas Irawan namanya. Dia baru saja selesai pelantikan AKABRI di Magelang, kebetulan dia di tempatkan di bagian kepolisian jadi pendidikannya dilanjutkan di Semarang. Acara ini dalam rangka ulang tahun adik Astuti dan syukuran bahwa mas Irawan sudah separuh menyelesaikan pendidikannya di AKABRI.
Bunda Astuti ikut Bangga karena Bunda juga ikut “cawe-cawe” waktu mas Irawan masuk AKABRI. Di acara itu perhatiaan Astuti pada Fadli agak terbagi. Ia sibuk mengurus makanan dan melayani kerabat yang lain, begitu juga dengan mas Irawan. Jadi jika dilihat sepintas Astuti lebih asyik mengurus keperluan mas Irawan sementara Fadli ia abaikan. Apalagi saudara Astuti ada yang nyeletuk. "Wah dijodohin aja nih si Irawan sama Tiwiek”.
“ Ihhh ngomong apa tuh si om Broto ngaco aja” gerutu Astuti. Jika Fadli dengar akan disangka sungguhan.nMana mungkin bapaknya nikah sama Bundanya dan ia nikah dengan anaknya. Yang mboten-mboten aja.
Sejak acara ke Ciater itu Fadli agak jarang ke rumah. Astutu tidak terlalu merisaukan karena ia percaya padanya dan lagi ia mulai banyak ulangan dan mengikuti pelajaran tambahan agar ia benar benar siap mengikuti ujian. Fadli juga selalu menyemangatinya agar belajar yang rajin. Dan dia juga berjanji tidak akan cepat-cepat melamar Astuti.
Ini memang salah satu strateginya. Menjelang ujian Astutu selalu punya semangat dan motivasi yang tinggi untuk mencapai nilai terbaik, kebetulan ia punya teman belajar kelompok, mereka terdiri dari lima cewek, Astuti, Binyu, Ite, Etheng dan Ningnong. Sebenarnya itu hanya nama panggilan. Binyu itu asli Elizabeth dia anak kontraktor yang tinggal di Pondok Indah, kalau Ite itu aslinya Mieke, karena rumahnya di cipete jadi mereka memanggilnya Ite, sedang Etheng alias Esher adalah mojang Bandung dan Bapaknya merupakan petinggi BI, dan Ningnong bernama aseli aslinya Ningrum, sedangkan Astuti sendiri dipanggil Iwiek. Cuma mereka yang biasa memanggil nama kesayangan masing-masing.
Selama seminggu ujian mereka punya tempat khusus untuk belajar di daerah Bendungan Hilir atau disingkat Benhil. Satu rumah khusus plus pembantu dan sopir, Sebenarnya ada tiga kamar kosong yang tertata rapih dengan springbed dan dilengkapi pendingin ruangan. Tapi mereka memilih satu kamar utama yang besar dan mereka berlima tidur disitu. Itu adalah rumah orang tua Binyu yang baru saja dikosongkan. Karena sebelumnya dikontrakkan ke orang asing.
Di rumah itulah mereka belajar bareng, makan bareng dan tidur bareng kecuali mandi pastinya sendiri sendiri. Walau sudah selesai belajar dan sudah masuk kamar, lampu sudah dimatikan , tetap saja mereka masih serius belajar, dengan mata tertutup mereka main tebak tebakan terutama pasal pasal yang ada di UUD 45, atau tokoh di pelajaran sejarah dan Ekonomi.
Ketika Astutu minta ijin untuk gabung dengan temam-teman belajar bareng dan bermalam, Bundanya mengijinkan. Tetapi sang bunda tetap menaruh curiga. Bundanya mengantarkan Astuti ke tempat itu. Bundanya takut ia berbohong lagi. Bundanya juga beberapa kali mengirimi mereka makanan, padahal makanan begitu melimpah disediakan oleh keluarha Binyu. Disini Astuti merasakan kesetiakawanan, berbagi, saling menyemangati, belajar serius untuk masa depan mereka. Inilah yang dianggap paling bahagia dan benar-benar indah.
Astuti bersyukur ada di lingkungan yang sangat menyenangkan dan serba mudah, full dengan segala fasilitas. Ternyata tidak harus kaya untuk bisa menikmati semua fasilitas kemewahan itu, Bila Allah menghendaki segala sesuatu bisa terjadi. Ternyata Bundanya tidak salah menyekolahkan ia di SMA favorit itu. Sang Bunda akan bangga bila kerabat atau temannya bertanya” Anaknya sekolah dimana Bu?” Bundanya menjawab bahwa aku sekolah di salah satu SMA favorit di Kebayoran.
Ada satu kejadian yang sampai saat ini selalu ia ingat di saat ujian. Waktu itu adalah hari terakhir ujian salah satu mata pelajaran yang diujikan adalah Geografi. Mereka sudah mateng belajar dan cukup 'ngelotok' dengan materi Geografi. Mereka bersiap untuk tidur, tetapi tiba-tiba Mbo Yah pembantu Binyu memberitahu jika ada tamu. Rupanya ada 3 orang teman sekelanya yang semua laki laki. Mereka memberi info kalau dapat bocoran soal Geografi. Katanya ada salah satu teman mereka yang beli kunci jawaban dari salah satu oknum di sekolah. Ketiga teman lelaki itu menawari Astuti dan teman lainnya.
“Sorry ya..kami ngga butuh, kenapa bukan matematika? Kalau hanya Geografi ngga penting kami sudah hafal” Etheng menolak tawaran itu. Meski sudah menolak mereka tetap memaksa. Katanya ngga usah bayar ngga apa apa. Jawabannya gampang koq pokoknya zikzak dari mulai nomer 1 sampai 40. A,B,C,D. kembali lagi ke A.B.C.D. begitu terus sampai nomer 40. Dan ternyata bocoran jawaban itu benar adanya.
Selesai ujian mereka berlibur selama dua hari, sang Bunda kemudian menjemput Astuti. Libur hari kedua mereka gunakan untuk refreshing ke Ciloto, disana ada Villa keluarga Etheng. Mereka berangkat dua mobil satu mobil pakai driver sedang mobil satunya lagi disetir oleh teman cowok. Disana mereka benar benar menghilangkan stress setelah seminggu mengikuti ujian yang cukup melelahkan. Di malam hari mereka nyalakan api unggun sambil bernyanyi diiringi petikan gitar si Fani, salah satu temannya yang jago gitar.
Pagi hari mereka bisa turun ke sungai yang arusnya deras tapi tidak dalam, ada hamparan batu yang besar-besar, dan mereka bisa main air sepuasnya, sambil memandang keindahan gunung dan pepohonan yang ada di sekitarnya. Udara segar pagi hari, suara gemercik air, seakan membayar lunas semua kepenatan mereka ketika menghadapi ujian.
Ujian membuat Astuti jarang bertemu Fadli. Sampai pada suatu hari setelah selesai ujian dan menunggu hasil kelulusan, ia mendengar gossip bahwa Fadli dekat dengan janda beranak satu yang tinggal di dekat rumah tantenya di Bogor. Astuti tidak menghiraukan gossip itu. Sampai pada suatu hari Astuti bertemu Mirna di rumah Ida. Ida mengingatkannya,“Sono tanya sendiri tuh same adiknye, bener ngga Fadli punya pacar baru di Bogor?” Astuti tidak berani mendengar jawaban Mirna. Ia memilih diam. Biar nanti saja dia akan mengetahuinya sendiri apa yang terjadi.
Yah. Fadli tanpa memberi alasan yang jelas tiba-tiba menghilang begitu saja. Bundanya juga heran dan bertanya tentang Fadli, Astuti tak mampu menjawab. Rasanya malu jika ingin mengatakan gossip itu pada sang bunda, apalagi kalau gossip itu memang nyata. Jadi ketika Bunda menanyakan hal itu ia mengalihkan pembicaraan. Itu lebih baik menurutnya. Sang Bunda melihat perubahan yang ada pada dirinya. Ia jadi pemurung. Dan tidak betah di rumah.
Astuti meminta ijin kepada Bunda, sembari menunggu hasil ujian, ia ingin menenangkan diri di rumah Bude. Bundanya kemudian mengijinkannya. Dan Astuti pun membawa baju secukupnya. Di sana ia punya banyak teman. Karena ia sering bersilahturahim ke rumah Bude, jadi ia cukup akrab dengan teman anak Bude yang rata-rata sebaya dengannya. Belum genap seminggu Astuti di sana, Bundanya datang menjemput. Tadinya ia tidak mau pulang tapi Bundanya sedikit memaksa, karena ia harus belajar. Masih ada tes sipenmaru di rayon 3.
Astuti mengikuti tes di senayan, dan ambil rayon 3 yaitu IKIP Jakarta jurusan sejarah. Karena ia terobsesi dengan guru sejarahnya yang cantik, dan pandai bercerita, sehingga di kelas beliau tak pernah ada rasa kantuk ketika beliau sedang mengajar. Beliau menegaskan bahwa orang hidup harus belajar dari sejarah, karena belajar sejarah itu mengasyikkan. Menurutnya tidak terlalu sukar dan menjadi guru sangat mulia.
Selesai tes di senayan. Ia dan Bundanya berangkat ke Solo. Bundanya ingin Astuti juga ikut tes lagi. “ Bunda njagani kalau yang di IKIP Jakarta luput” Padahal di hati kecil Bundanya dia ingin Astuti kuliah di Solo. Astuti dan Bundanya pergi ke Solo dengan naik kereta, mereka jujug rumah Bude di Penumping. Selesai mandi dan sarapan Bundanya kembali pergi. Sedang, Astuti beristirahat sejenak tak lama Bude mengajaknya ke pasar.
Siang hari Bundanya baru pulang dari pasar naik becak. Astuti lihat dia membawa berkas di dalam map. Baru ia tahu bahwa map itu berkas formulir pendaftaran untuknya untuk mengikuti tes, setelah Bundanya menyuruh Astutu mengambil pulpen dan mengisi data yang diminta.
'Subhanallah Bunda mengapa tadi aku tak diajak?' Padahal ia yakin Bundanya susah payah mendapatkan formulir, Bundanya harus antri panjang. Ia jadi malu sudah lulus SMA, mau kuliah masih dituntun ibunya ke sana dan kemari.
Qadarullah Astutu diterima di kedua perguruan itu. Sang Bunda tegaskan ia agar memilih universitas di Solo. Ia harus bisa melupakan Fadli. Tidak boleh berlarut larut dalam kesedihan. Itu salah satu sebab Astuti kuliah di Solo. Sang Bunda berharap ia bisa belajar lebih tenang, apalagi jurusan yang diambil waktu membeli formulir adalah jurusan yang Bundanya dambakan. Jadi lah ia sebagai mahasiswa di FKIP UNS.
Walau Bundanya punya banyak family dan kerabat di Solo. Agar lebih netral Bunda mencarikan kost untuknya. Ia mendapat tempat kost di rumah seorang guru SD yang lokasinya tidak jauh dari kampus. Bundanya sadar jika ia belum seratus persen bisa mandiri, jadi Bundanya menyewa kamar kost included makan 3 kali.
Ia jalani hari-hari pertamanya di Kampus, berkenalan dengan teman seangkatan dari berbagai daerah, ada yang dari Ngawi, Klaten, Wonogiri, dan ada juga yang dari Sumatera. Satu angkatan terdiri dari 35 mahasiswa. Ada masa perpeloncoan alias masa orientasi siswa dan ada malam inagurasi. Masa penyesuaian menjadi mahasiswa dilakukan selama satu minggu. Meski lelah dan terkadang dongkol karena banyak bentakkan senior yang mendarat di telinganya, semuanya bisa ia lalui dengan senang hati karena kini kehidupan baru siap menanti hidupnya. Sekarang Astuti resmi menjadi seorang mahasiswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar