Jumat, 21 Oktober 2022

 CINTA MONYETKU

Wahai anakku! Laksanakan salat dan suruh lah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah ( mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap dosa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting (QS Luqman;31:17)

Usia adalah kondisi dimana hati mampu mencari tambatan hati. Ada sebuah rasa yang disebut cinta. Ia menjerat dan mengisap kuntum bunga bak menggantungkan harap di langit pikiran, mencumbu debar pada jantung yang gusar.

Apa jadinya jika Astuti jatuh cinta? Beranjak  remaja dan sedikit 'ganjen'  dalam istilah orang betawi. Astuti mulai Bergaul dengan berbagai teman yang berasal dari latar belakang yang berbeda, tentu ada plus dan minusnya. Pembawaan Astuti yang supel dan sedikit tomboy terasa sulit ditebak. Kadang galak, kadang lembut, sesekali pemalu, ragu dan tak percaya diri. Maklum masih ada teman-temannya yang ingat bahwa ayahnya masih mendekam di penjara.

Dari segi ekonomi  keluarga Astuti bisa digolongkan cukup. Walau tidak punya kendaraan pribadi, paling sesekali Pak Atmaja meminjam mobil kantor dan mengajak mereka pulang kampung atau rekreasi ke tempat hiburan. Entah ke Monas, ke PRJ atau ke Kebun Raya Bogor. Semua itu lebih dari cukup sudah bisa Astuti banggakan pada teman-temannya yang lain.

Rumah Astuti berangsur makin nyaman. Layak disebut sebagai rumah. Ada halaman, teras, ruang praktek ibundanya, ruang tamu, ruang keluarga, tiga kamar tidur, satu kamar utama dan dua kamar anak-anak plus masih ada gudang kamar pembantu, serta dapur yang cukup luas. Di belakang rumah, masih ada halaman yang ditanami pohon pisang dan pohon jambu air. 

Sayangnya,  mobil tidak bisa masuk sampai halaman rumah, karena Pak Haji Amsir menjual tanahnya ke orang lain. Dulu ketika tanah itu masih dimiliki Pak Haji Amsirz  setidaknya ada lahan untuk dilewati mobil. Sang Ibunda  pernah mengutarakan maksudnya  untuk membeli tanah Pak Haji Amsir sebagian saja hanya untuk jalan dan kepentingan umum. Tapi dasar Pak Haji Amsir agak “sentiment” (tidak suka) dengan pendatang khususnya pada keluarga Astuti, maka dia lebih suka menjualnya kepada orang lain tanpa menghiraukan akses jalan.  

Akhirnya Ibunda Astuti harus merajuk kepada  Pak Haji Ali agar bisa membeli sekian meter tanahnya untuk akses jalan walau yang tadinya hanya gang setapak berubah menjadi gang yang agak besar. Paling tidak, gerobak minyak dan gerobak tukang abu gosong bisa lewat. Termasuk kendaraan roda dua dari tamu atau pasien Bundanya yang berobat ke rumah.

Apa jadinya bila setiap mimpi dan rencana besar dalam hidup Ibunda Astuti tidak menyertakan sosok Pak Haji Ali? Mungkin semua keinginan hanyalah angan tanpa spasi. 

Alamdulilah Astuti selalu mensyukuri apa yang diberikan Tuhan kepadanya. Mulai dari jalan hidup, keadaan dan fisiknya yang tanpa cacat. Bentuk badan nya yang gempal, kulit yang sawo matang,  idung yang nampak 'nongkrong' serta alis bak bulan sabit. Konon, ketika hamil ibunda Astuti sangat mengangumi bulan sabit.

Wajah Astuti yang tampak kotak dan kadang ditumbuhi jerawat. Sejak ia mendapati haid Astuti jadi akrab sekali dengan kaca, sisir, dan bedak fanbo milik ibundanya. Andai benda itu bisa diajak bicara dia akan protes. “Koq elu lagi elu lagi”. Ya Benda benda ini tidak tahu kali kalau Astuti sedang mengagumi dirinya sendiri. Kadang ia meraba buah dadanya yang mulai membukit sembari berdiri di depan cermin. Astuti memandangi seluruh tubuhnya yang dirasa jauh dari kata Sexy, perutnya tebal dan tidak punya pinggang. Tidak seperti wanita dewasa yang ramping dengan bentuk pinggang bak gitar spayol.

Ketika SMP, Astuti memiliki teman yang cukup banyak baik teman wanita maupun teman pria. Sekolahnya cukup jauh dari rumah jadi ia terbiasa naik Bus jurusan Matidakrai-Pasar Minggu. Nama Bus kala itu “Saudaranta” yang bermerek dodge pemiliknya jelas dari tapanuli. Kalau pulang sekolah ia lebih suka duduk di belakang. Karena kalau di belakang ia bisa sambil becanda dan berteriak bersama temannya. Jika ia  takut tidak dapat tempat duduk, Astuti dan teman-temannya memutuskan untuk jalan kaki dulu ke Pasar Minggu baru balik arah ke jurusan Matidakrai.

Setiap detik adalah celoteh bagi Astuti, ia begitu menikmati masa dimana ia bercerita pada cakrawala tanpa tau hidup memiliki sanggahan nan terjal. Ada pelangi yang elok dipandang, aneka warna tercipta tanpa dihujani pusing dan beban berkepanjangan. Sungguh masa remaja membuat ia bahagia.

Warung es Mang Udin adalah ingatan melegenda. Warung itu bak janji jiwa diantara tongkrongan lain selain tongkrongan halte bus. Warung es campur yang enak untuk ukuran saat itu. Padahal isi es itu cuma cincau hitam, tape, roti dan papaya, esnya diserut, diberi sirup prambos. Bagi Astuti  rasanya selangit. Di warung itu mereka bisa melepas canda bergosip tentang bapak ibu guru atau ada murid-murid yang sok tau atau sombong. Kadang juga dijadikan untuk ajang kirim-kiriman salam dan mempertegas hubungan untuk mereka yang mulai pada naksir temannya.

Astuti disebut dengan gadis tomboy. Jadi,  tidak ada teman sekelas atau teman di sekolah yang menaksirnya. Beda halnya dengan teman main di rumah, ada pria yang bernama Erwin yang konon menaksir Astuti. 

Erwin adalag saudaranya Pingkan teman Astuti yang orang Manado. Pria berkulit putih, bermata agak sipit dan giginya rapi. Astuti sangat suka dengan senyumnya yang tulus. Dia terlihat dewasa dari usianya yang baru 15 tahun sedangkan Astuti kala itu baru berumur 12 tahun.

Dari Pingkan lah Astuti mengtahui jika Erwin menyukainya. Dia tidak berani bilang tapi dari matanya yang suka curi pandang Astuti  tahu jika Erwin menyukainya. Terlihat jelas dari sikap Erwin ketika Astuti bermain karet gelang dengan temannya. Erwin bertindak sebagai juri yang begitu membela Astuti. Ia jadi tahu begitulah cara  Erwin meruntuhkan perhatian Astuti.

Astuti tak terlalu peduli, masa iya dia harus  berpacaran dengan orang  yang berbeda agama. Apalagi Astuti tahu jika mereka suka mengkonsumsi daging anjing dan juga babi. Dua jenis makanan yang diharamkan di Agama Islam. Belum lagi saudara Pingkan lainnya yang sering buat keributan dengan mabuk-mabukan sehingga menjadi bahan perbincangan  di kampung Astuti. Pula, santer sebuah gosip  bahwa salah satu kakak perempuan Pingkan jadi wanita simpanan yang sebelumnya berprofesi sebagai Hostes. (profesi yang paling negatif saat itu). Bunda Astuti berpesan agar mereka tidak bergaul dengan keluarga Pingkan  terlalu akrab, cukup mengenalnya saja sebagai teman biasa.

Meski rasa kepada Erwin kemudian layu, masih ada ranting harap untuk digantungkan di langit cinta yang lain. Eaaaaa.  Sejujurnya Astuti  lebih tertarik pada keponakan Pak Haji Ali yang baru datang dari Palembang. Mereka hijrah ke Jakarta  karena usahanya bangkrut setelah menetap lama di Palembang sebagai pedagang buah. 

Lelaki itu bernama Chaerudin tapi biasa dipanggil Diding, anak-anak Pak Haji Ali memanggilnya Bang Diding, Astuti pun ikut memanggilnya Bang Diding. Bang Diding berkulit kuning langsat, hidungnya mancung, alis tebal, dan pandangan matanya tajam. Berambut gondrong, dan memelihara jenggot walau tidak terlalu panjang, penampilannya rapi dan harum. Usianya waktu itu sekitar 19 tahun karena dia pernah kuliah dan drop out. Dia sering menggoda Astuti. "Duh manisnya anak Bu Jeksi". Gadis ingusan seperti Astuti tentu saja tersanjung dikatakan manis.

Pujian itu masih mengendap di kepala Astuti meski ia berhenti menatap setiap sekat di ingatannya, namun tetap saja pujian itu pernah terdengar manis di telinga Astuti. Bang Diding memang terkadang membuat Astuti sedikit tersipu. 

Suatu ketika TV hitam putih di rumah Astuti idak bisa ditonton karena akinya habis dan masih dicas. Astuti kemudian sering nonton TV di rumah Pak Haji Ali. Ukuran TV nya paling besar dan punya aki lain sebagai serep,  jadi tidak pernah ada masalah. Masih lekat dalam ingatan Astuti waktu itu  listrik belum ada, jadi penerangan yang mereka punya hanya lampu 'Patromak' yang sesekali harus dipompa agar tetap menyala. Atau bisa juga tiba-tiba padam karena sarung lampu itu kekeringan. Pada zamannya disebut dengan Bolham.

Kembali ke masa lalu, kala itu Pak Haji Ali memiliki usaha lain sebagai pembuat marning, yang bahannya dari jagung direbus dan hanya dibumbui garam, diangkat setelah mekar, lalu ditiriskan dan dijemur, setelah kering baru digoreng dan dikemas, ada yang ukuran kecil, sedang maupun besar. Bang Diding sering membantu mengemas marning,  Astuti dan anak-anak Pak Haji Ali yang hampir sebaya juga ikut mengemas marning. 

Sesekali mereka bercanda, dan Bang Diding selalu saja menggoda Astuti atau menunjukkan perhatiannya  “Udeh belajar belon” atau ketika Astuti sedang asyik main congklak dia memberitahu;” Noh disuruh pulang, denger tidak dipanggil Mbok Kem?” Padahal Cuma perhatian kecil yang diberikan pada Astuti. Tapi perhatian itu menancapkan kesan merah jambu di hati Astuti. Jika ada bang Diding di rumah Pak Haji Ali, Astuti acap kali berura-pura mencari Ida anak Pak Haji Ali yang sebaya dengannya. Padahal dalam hati sekadar ingin tahu kabar bang Diding.

Ada satu senja yang bernaung dalam ingatan. Yaitu ketika  musim jambu tiba dan panen raya, Bang Diding selalu sibuk membantu memilih buah itu untuk dibedakan, antara yang besar, sedang dan yang kecil, begitu juga dengan yang sudah masak, dan yang masih “mengkel”. Di sela-sela itu dia berani mencubit pipi Astuti dengan gemas dan menatapnya tajam.’Syiiir”. Ada sesuatu yang aneh di ulu hati Astuti bak aksi yang menimbulkan reaksi yang seirama. Astuti tak faham, apakah Bang Diding menyukainya atau hanya iseng belaka. Yang jelas sampai di rumah kejadian itu selalu membayangi Astuti.

Satu dua teman sebaya Astuti yang asli orang betawi, setelah lulus SD selang satu atau dua tahun ada yang sudah menikah. Ada yang dijodohkan atau ada juga yang suka sama suka, dikarenakan keluarga dari kedua belah pihak sudah kenal, bahkan mereka sebelumnya sudah bersahabat akrab. Sedang ibunda  Astuti selalu berkata;” Masih kecil tidak boleh pacaran sekolah dulu yang pintar, sampai bisa cari uang, baru boleh pacaran”. Jadi, peristiwa yang dialami Astuti, dan perasaannya pada Bang Diding ia sembunyikan dari Bundnya. Padahal perasaan itu sangat mengganggu, Astuti jadi sering berkhayal seandainya ia jadi pacar Bang Diding dan jadi keluarga besar Pak Haji Ali. Ternyata perasaan itu tak bersemayam  terlalu lama.

Ketika Astuti naik ke kelas dua SMP, komunitas teman bermainnya bertambah. Ia adi suka main dengan Hayati anak pak Haji Amsir, tetangga depan rumahnya. Mereka  satu SD, tapi dia melanjutkan ke SMP Muhammadiyah yang di Cawang. Walau lain sekolah  Astuti dan Hayati cukup akrab. Pak Haji Amsir memiliki warung kelontong yang cukup lengkap, dan juga punya rumah kontrakan yang banyak. Astuti sering belanja atau beli jajanan seperti krupuk apolo, pilus atau kue gambang di warung Pak Haji Amsir.

Di rumah kontrakan Pak Haji Amsir ada penghuni baru, sebuah keluarga yang memiliki seorang pemuda, masih sekolah di STM kelas dua. Namanya Ridwan. Keluarga itu pindahan dari Bogor. Untuk remaja seusia,  Astuti sangat mengerti jika ada pemuda yang ganteng. Aatuti sering berpapasan dengannya, bertatapan sesekali, sampai akhirnya mereka berkenalan.

Ridwan adalah alasan mengapa Astuti kedap main di rumah Ida. Ridwan kerap nimbrung  dan ngobrol bareng. Mereka bisa bercerita tentang film remaja yang sedang diputar di bioskop “ Wira” di daerah Tebet, atau pun di bioskop yang di Cikini. Film remaja yang sedang diputar di bioskop waktu itu film “ Romi dan Yuli ”, kalau film komedi ya filmnya Benyamin S. "Biang Kerok' dan film drama salah satunya. “Dimana Kau Ibu”. Suatu hari kami mereka untuk nonton bareng. Astuti susah dapat ijin dari Bundanya jika  berterus terang untuk nonton bareng, maka ia pun mulai cari alasan lain agar bisa gabung dengan Ridwan dan Ida. Terpaksa ia berbohong pada Bundanya bahwa hari itu aku ada belajar kelompok di rumah Kartika teman Astuti yang tinggal di komplek Pertanian Pasar minggu. Akhirnya, Bundanya mengijinkan.

Terkadang cinta itu membawa sifat kekanak-kanakan. Kebohongan kedua Astuti berlanjut ketika lagi-lagi Ridwan punya ide mengajak bolos sekolah. Dia mengajakAstuti dan Ida ke kebun binatang Ragunan. Akhirnya, mereka  menggunakan waktu belajar untuk bolos dengan seragam sekolah keluyuran di Ragunan. Kala itu Suasana di Ragunan tampak  sepi, maklum bukan hari libur, mereka sesekali melihat binatang, burung-burung yang indah dan juga hewan buas lainnya. Yang paling menarik bagi mereka adalah mengintip orang pacaran, ada yang memakai seragam SMA, orang kantoran, dan ada juga yang wanitanya muda sedang prianya sudah berusia tua.

Yang Astuti perhatikan seolah Ridwan menaksirnya, tetapi dia juga dekat dengan Ida. Sempat Ridwan mengajak Astuti makan bakso berdua saja. Mereka tidak jalan bareng dari rumah, tapi kencan di jalan untuk bertemu baru makan bakso di daerah Pasar Rumput. Astuti dan Ridwan naik bus, di dalam bus Ridwan menyampaikan perasaannya pada Astuti jika ia  sayang pada Astuti. Astuti tak percaya karena dipikirnya Ridwan  menaksir Ida. Selesai makan Bakso dan ngobrol akhirnya mereka pulang, karena Astuti khawatir dimarahi ibundanya.

Sejak pertemuan itu, Ridwan semakin sering mengajak Astuti kencan, tapi ia selalu menghindar, karena Astuti tidak yakin akan cintanya. Sampai pada suatu hari Ida cerita kalau dia baru aja jalan bareng sama Ridwan ke Ragunan. Deg. Terjawab sudah apa yang diragukan Astuti selama ini. Ridwan memang menginginkan Astuti dan Ida. Sebagai teman ia tak mau melukai Ida dan dia punya kesan yang buruk terhadap Ridwan. Astuti tetap menutup rapat rahasinya bahwa ia juga pernah jalan bareng Ridwan tanpa Ida. Astutu tak ingin dicap pagar makan tanaman walau pada akhirnya ia menerima cinta Ridwan.

Kala itu, anak seusia Astuti sangat mudah dipengaruhi. Maka tak heran bila ia kerap membolos waktu di kelas dua SMP sesekali membolos apabila guru yang mengajar pada jam itu membosankan. Pernah suatu ketika mereka  membolos berjamaah dengan melompat pagar sekolah dan lari menuju arah kali Ciliwung, lewat jembatan gantung sampai di daerah Condet, mereka mencuri salak Condet yang terkenal masir.

Hal paling  parah yang pernah dilakukan Astuti adalah membohongi Bundanya dengan membuat edaran palsu dan 'ngemplang' uang bayaran sekolah, uangnya  ia gunakan untuk camping ke gunung Salak Bogor bersama teman-temannya. Astuti diajari temannya membuat edaran palsu yang ada cap sekolah, yang menunjukkan kalau itu acara resmi sekolah dan wajib diikuti. Kegiatan itu sungguh menyenangkan, ia dapat pengalaman baru dengan menyetop truk kosong yang bisa mereka tumpangi sampai Bogor. Tidur di tenda, makanan asinan bogor dan tauge goreng, tidak lupa juga soto mie. Jalan bareng teman benar-benar unforgettable. Astuti lupa sesaat akan aturan rumah dan pesan Bunda.

Indah memang jika mengenang masalalu. Seindah mengembuskan nafas yang kemudian menyatu bersama aymosfer, mengelilingi dunia, menancapkan mesna di setiap putaran nya.

Saat itu Astuti mencatat semua hal yang berkesan di sebuah buku harian. Sebuah buku yang ada kuncinya. Astuti biasa mengungkapkan perasaannya di buku itu. Selain buku harian ia juga punya buku catatan lagu-lagu, dari mulai lagunya Koes Plus, Panbers, the Mercy. Kalau lagu lagu Barat ada lagunya The beattles, Rolling stone, dan ABBA. Malam hari kalau selesai belajar, dan acara di TV tidak menarik, ia lebih suka buka buku catatan laguku dan nyanyi di kamar, sedang Bundanya sudah duduk manis di meja tamu main kartu remi dengan tetangga sebelah yang tidak dapat jatah ronda.

Acara malam minggu  Astuti sebagai remaja selain diajak Bundanya silahturahim ke rumah Bude di Cisalak, ia kadang mendapat undangan ke pesta ulang tahun temannya. Pesta ulang tahun yang berkesan adalah ketika ia menghadiri pesta ulang tahun Irwan teman sebayanya sekaligus tetangganya. Irwan adalah anak orang kaya, Ayahnya  pemborong, mamanya bidan di puskesmas, dan juga praktek di rumah. Mamanya Irwan dan Bundanya saling bersahabat.

Pestanya sangat meriah, ada lampu disko nya dan ada music dengan lagu-lagu yang hinggar bingar, mengajak mereka untuk “turun” dengan istilah joged atau dansa waktu itu. Salah satu lagunya ketika “turun” itu: That’s the way ahak ahak, I like it ahak, ahak…..” sayang Astuti tidak bisa joged dengan baik jadi hanya ikut sebentar, dan lebih suka menikmati keramaian itu sambil sesekali mengambil makanan yang sudah disediakan.

Suatu hari ibunda Astuti membaca buku hariannya, padahal ia menulis secara detail kejadian yang  ia alami termasuk acara membolos nya dan berbohong pada Bundanya. Astuti baru sadar kalau Bundanya membaca buku hariannya ketika Bunda mengajaknya makan ke sebuah restaurant Padang, ketika  tidak ada momen penting dan tidak ada syukuran, atau pun yang ulang tahun. Astutu bertanya dalam hati “Mengapa yang diajak cuma aku?”. Sang menawarinya lauk apa yang aku suka berikut dengan es nya. Selera makan Astuti kemudian hilang, ia merasa ada pertanda buruk yang akan menimpa diriku.

Sang ibunda mulai mengintrogasinya  sesuai dengan apa yang telah dibaca di buku harian Astuti. Bundanya menangis, dia kecewa, Astuti telah ingkar janji dan berbohong, Astuti yang diharapkan bisa memberi contoh yang baik pada adik-adiknya malah membuat Bundanyasedih. Apalagi ketika bunda melihat hasil rapor Astuti di catur wulan dua, sangat kebakaran, banyak nilai kurang dan ditulis jelas-jelas dengan angka merah. Astuti tidak kuat menahan tangis, ia merasa berdosa sudah membohongi Bundanya. Apalagi ibundanya  juga menangis sesegukan sembari meratap;” Duh Gusti nyuwun ngapuro, dalem sampun luput engkang didik putro. Beri aku kesempatan untuk memperbaiki akhlak anakku. Aku lengah, aku terlalu asyik cari uang, sehingga aku tidak sadar bahwa anakku terpengaruh dengan pergaulan yang tidak baik.”

Sejak itu ibundanya mengawasi Astuti cukup ketat, di lain ke sempatan beliau mengajak Astuti ke Sarinah, toko serba ada yang terletak di jalan Thamrin. Toko yang dibangun di era Bung Karno. Bung Karno lah yang memberi nama gedung itu gedung Sarinah. Sarinah tokonya orang  "the have” kalau sekarang istilahnya tajir. Bundanya membelikan Astuti peralatan untuk membuat hiasan dinding kaset, boneka, atau bantalan kursi yang berbahan dasar kawat kotak-kotak dari plastik, jarum dan benang woll jepang, harganya cukup mahal, tapi Bundanya tidak peduli yang penting perhatian Astuti bisa dialihkan dari pergaulan yang kurang baik dengan kesibukan yang diciptakan. Sang bunda berharap ia bisa menghabiskan waktu luangnya  di rumah dengan membuat sesuatu, selain melatih ketekunannya,  juga ini dianggap sebagai terapi dari kenakalan yang pernah dibuat  Astutu.

Setelah naik ke kelas tiga SMP, Astuti fokus belajar. Ia memperoleh pelajaran tambahan yang diusulkan Bunda dari tetangganya yang kebetulan guru SMP Strada di Tebet. Nilai ulangan Astuti kian hari semakin baik. Sang Ibunda tersenyum bangga waktu pulang ambil rapor dan ia diberi hadiah sepeda jengki. Semakin dekat ujian semakin semangat belajarnya. Astuti ingin menebus kesalahan yang pernah ia buat karena telah membuat Bundanya kecewa. Tidak patuh dan semaunya sendiri.

Akhirnya ujian pun tiba, Astuti optimis bisa meraih nilai yang baik. Bundanya punya rencana memasukkan ia di SMA favorit yang ada di kebayoran baru atau tepatnya Bulungan. Alhamdulillah nilai raport dan ujian Astuti cukup tinggi. Nilai tinggi saja tidak cukup untuk masuk ke sekolah favorit itu. Astuti harus pindah rayon karena beda domisili maka ia harus masuk dalam Kartu Keluarganya Pak Atmaja di daerah Kemang. Selain itu Bundanya juga punya kenalan TU si SMA itu. Jadi ia bisa dititipkan lewat rekan ibundanya.

Keinginan Astuti dalam meraih mimpi begitu kuat. Ia fokus dalam belajar sehingga jarang menyambangi rumah Ida maupun  rumah Pak Haji Ali. Astuti asyik dengan kesibukan yang diciptakan Bundanya. Astuti semakin kerap diajak menemani Bundanya berbelanja, bahkan jika ibundanya ada  urusan lain Astuti lah yang belanja atau mengerjakan tugas lain yang aku bisa.

Jika Astuti disuguhi sebuah pilihan kegiatan yang ia suka, Astuti pasti akan memilih untuk diajak ke rumah Umi Kulsum. Disana selain mereka kerap disuguhi makanan yang enak seperti bistik, nasi kabuli, balado daging atau makanan makanan yang dianggap elit. Astuti juga bisa membaca majalah Femina, Mode, dan melihat kliping yang dibuat Umi Kulsum tentang kegiatan anaknya yang Rocker, dan juga penyanyi dangdut dengan orkes Larantuka.

Tak hanya itu,  Umi Kulsum memiliki kliping resep masakan yang amat banyak, dia tidak pelit berbagi ilmu, Astuti diajarkan cara memasaknya. Astuti masih ingat cara membuat chipon cake, ketika menggunakan mixer tangannya terjepit hingga kuku jari manisnya  lepas. Sejak itu ketika menggunakan mixer ia sangat hati-hati. Umi Kulsum dan Bundanya  memang banyak  mewarnai kehidupan Astuti  ke termasuk ikut andil  dalam membentuk kepribadiannya saat ini.

Kedekatan yang ia rasa dengan Umi Kulsum ia jadikan sebagai sekat untuk ia tempelkan lekat-lekat sebagai pengingat di masa depan yang akan mengikat. 

Perjalanan masa puber begitu berwarna dari sajak Sang Astuti, ia menambatkan ingatannya ssbagai kesan suatu kehidupan. Lantas seperti apa Astuti berkelana dalam masa remajanya? Apakah haru, biru, tawa atau nestapa.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kata Pengantar Buku Tarian Aksara Penuh Makna

Dahulu aku sering bertanya sendiri; kalau puisi itu berwujud, akan seperti apakah dia? Matahari? Bulan? Bintang? Gunung? Laut? Bertahun lalu...