ASTUTI
Allah sajalah yang mengetahui kebaikan dan keburukan yang sejati sementara penglihatan, penilaian, dan pengetahuan kita bersifat semu dan terbatas.Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui (QS Al-Baqarah : 216).
Pena ini adalah jejak sederhana dari sebuah cerita seseorang yang ku sebut dengan Astuti. Penulis ingin membicarakan letupan kenang dari langkah panjang seorang Astuti. Namanya hidup, tentu ada suka, canda, tawa, lara dan pahit yang mungkin diseduh air mata.
Ia terlahir sebagai anak sulung dari tiga bersaudara, sebagai seorang sulung, ia memeluk harapan agar sukses dalam hidupnya. Masa kecilnya memuat hamparan cerita yang berlapis lara, dan luka. Luka itu datang tatkala ia menyadari bahwa ayahnya adalah seorang tahanan politik. Atas status itu, puluhan pasang mata tentu mengepung raganya bagai serpihan duri yang berkarat atas rasa malu.
Astuti tumbuh sebagai Seorang anak yang hidup di kampung dengan fasilitas pas pasan. Tak ada eforia kemewahan di masa kecilnya, namun itu menjadi prasarti termanis dalam hidupnya.
Astuti adalah lukisan kekuatan. Ia memiliki seorang Bunda yang galak nan otoriter dalam mendidik nya. Tapi masa itulah yang menjadikannya sebagai power ditengah keadaan dan gesekan budaya, yang multikultural.
Jakarta adalah saksi bagaimana ia mampu memperkaya khasanah hati. Gesekan dari para pendatang, urakan, dan polusi attitude membuat ia banyak belajar untuk sebuah kehidupan dengan berjuta varietas. Keyakinan-Nya pada Sang Rabbi membuat ia begitu kuat dalam memandu semesta nurani. Ia yakin Bahwa Allah menciptakan bermacam suku agar bisa hidup damai dalam hidup berdampingan.
Di Jakarta ia menorehkan banyak cerita. Ia tumbuh di perkampungan betawi yang kental dengan adat istiadatnya. Mereka menganggap Astuti sebagai orang “Jawa Kowek” (jawa asli) entah apa alasan mereka menyebut Astuti sebagai orang jawa kowek yang 'ngendon' di jakarta. Mungkin Sebutan Kowe tersimat atas logat bicara Astuti dengan logat Jawa medok dan ‘kowe-kowe’.
Narasi tentang Astuti ini begitu epik. Ia dan keluarga bertahan sebagai pendatang yang klasik. Bundanya bergelar sebagai “mantri suntik”. Kala itu, mereka memanggilnya “Bu Jeksi” karena pekerjannya menyuntik atau menginjeksi para pasiennya.
Jakarta adalah simbol tawa dan rasa bangga bagi setiap pengunjung nya. Namun, pada waktu itu, Jakarta masih rimbun dengan pepohonan yang menghasilkan buah-buahan nan melimpah. Maka tidak salah jika dikatakan pasar minggu dan sekitarnya sebagai sentra buah-buahan saat itu.
Rumah kontrakan yang ditinggali Astuti adalah jejak bukti dimana Astuti pernah meraba mimpi. Rumah itu ada di sekitar kebun jambu yang dimiliki oleh Haji Ali, seorang Betawi asli yang kaya raya dengan kebunnya yang luas, memiliki rumah kontrakan yang cukup banyak. Astuti dan keluarganya juga bergaul akrab dengan anak-anak Pak Haji Ali yang punya sembilan anak dari dua istri yang dinikahi.
Ada satu moment yang menjadi pijar paling indah bagi Astuti, adalah ketika panen buah musiman datang. Ketika musim jambu dan belimbing, Astuti dan teman-temannya bisa bebas sepuasnya memetik, dan memakan hasil panen buah itu, dari mulai yang ranum, setengah matang, atau yang masih muda. Pak Haji membolehkan Astuti mengambilnya dan membawa pulang secukupnya.
Pak Haji Ali juga punya usaha sampingan lain. Dia memiliki kolam ikan yang diisi dengan ikan lele and ikan tawes. Di sini Astuti pernah menyelipkan moment paling mengesankan. Yaitu sebuah memoent dimana kolam itu dijadikan sebagai tempat jambang ‘plung lapnya”. Suatu kesenangan tersendiri ketika buang hajat plung langsung diterkam ikan-ikan lele yang kelaparan. Buang Hajat di kolam ikan Pak Haji Ali sampai saat ini masih tetap berkesan di hati Astuti.
Usaha lain dari Pak Haji Ali adalah ternak sapi perah. Dia memelihara 7 ekor sapi perah dan 1 pejantannya. Tiap pagi dan sore pekerja Pak Ali sibuk memerah susu dan memberi makan sapi sapi itu. Untuk pemenuhan gizi Astuti di waktu kecil, ibunya menjadi pelanggan susu pada Pak Haji Ali. Maka tak heran jika Astuti dan keluarganya jadi anak yang sehat dan cukup cerdas. Astuti dapat berbaur dengan warga Betawi yang tidak semuanya suka kepada pendatang.
Memory lain pula amat berkesan bagi Astuti yaitu ketika Lebaran tiba. Yaitu sebuah waktu dimana ia menggantungkan harapannya mendapat THR Lebaran. Kala itu, Pak Haji Ali yang kaya raya, selalu membagikan sarung dan bingkisan di hari terakhir taraweh atau menjelang lebaran. Kebiasaan ini membuat semangat untuk bisa taraweh bareng di surau Pak Haji Ali. Dari kegiatan rutin tahunan itu lah, Astuti dan adik-adinya jadi akrab dengan marawis, salawatan, dan Qosidah.
Kesan mendalam juga tercipta pada setiap peringatan hari raya umat Islam. Di dari malam Nuzulul qur’an, khataman, Isra mi’raj, Idhul Adha dan puncaknya peringatan maulid Nabi. Dalam memperingati maulid Nabi, Astuti begitu rajin mengikuti setiap kegiatan dari satu surau ke surau lainnya. Setiap surau yang mengadakan pengajian, panitia pasti memanggil ustadz atau mubaligh untuk mengisi pengajiaan. Inti dengan ustadz dan ustadzah yang beken pada masa itu, Ada Habib Umar, Habib Abdullah Syafei, Ustadzah Tuti Alawiyah, atau pun Ustadzah Royani. Selain itu yang paling greget bagi Astuti adalah karena ia menyadari bahwa hadir dalam sebuah ta’lim selalu didampingi malaikat yang memberikan doa kepada orang yang sedang mengkaji atau menyiarkan dakwah.
Bagi Astuti, momen paling istimewa adalah Perayaan peringatan milad Nabi yang selalu nampak meriah. Isi pengajian yang begitu mantap benar-benar mempertebal keimanan Astuti pada Allah SWT. Terlihat rasa kebersamaan, apalagi ketika tiap keluarga diwajibkan menyetorkan nasi uduk dan nasi ulam, yang dilengkapi dengan semur daging dan semur tahu. Lalu masih ditambah snack berupa kue talam, kue pepe dan juga ketan urap. Ya, itulah makanan dan kudapan yang kental dengan suasana maulid Nabi. Astuti dan yang lainnya bisa menikmati bersama, kalau berlebih merekabisa membawa pulang yang kemudian disebut “berkat”.
Bicara makanan, ingatan Astuti kemudian berkelakar pada makanan khas dari Pak Haji Ali dan keluarga di saat Lebaran atau Hari Raya Idhul Fitri. Kue itu adalah dodol betawi yang dibuat dari ketan, kelapa dan gula jawa dalam ukuran yang besar. Wadah yang dipakai namanya “Kenceng” karena besarnya wadah itu, bahkan untuk duduk 3 orang anak kecil juga cukup. Pembuatan dodol butuh tenaga dan waktu yang lama. Mulai dari memarut kelapa dan mengaduknya butuh waktu 12-15 jam. Dibutuhkan tenaga yang begitu extra. Belum lagi harus ada yang menjaga api agar tetap menyala. Maka, persediaan kayu bakar dari kayu yang kering harus cukup.
Ketika semua bahan dodol tercampur dan diaduk terus menerus secara bergantian, dalam hitungan jam perlahan dodol mulai terasa berat waktu diaduk. Biasanya jika memulainya di sore hari maka menjelang tengah malam, dodol itu mulai mengental. Dodol yang setengah jadi ini biasa dinikmati dan disebut dengan nama “Kole” biasanya Astuti menyantap sajian Kole ini dengan meminta pada keluarga Pak Haji Ali.
Disuguhi dengan wadah dari daun pisang Astuti mencicipi dodol setengah jadi yang sangat enak ketika dimakan hangat dan disendok dari sisi sebelah pinggir. Menjelang subuh dodol baru matang dan siap diletakan pada wadah seperti baskom kecil. Ketika semua dodol sudah dikemas, di dalam kenceng pasti ada intip dodol. Hmm bagi Astiti intip ini terasa lezat di lidahnya. Varian rasa gosong, gurih dan manis yang terpadu menjadi satu. Astuti tak pernah absen untuk meminta jadah dodol gosong itu pada Bu hajjah Siway istri Pak Haji Ali.
Saking dekatnya, Astuti sudah menganggap Pak Haji Ali sebagai keluarganya sendiri karena rumah mereka saling berdekatan. Ibunya begitu gigih menjadi mantri jeksi sehingga ia mampu membeli rumah yang dikontrak dari Pak Haji Ali dengan cara dicicil. Hanya bermodalkan kedekatan dan kepercayaan, rumah itu bisa dimiliki Astuti dan keluarga. Bagi Astuti, hidangan paling lezat adalah tahu dan tempe bacem, yang merupakan makanan kebesaran Bundanya dan keluarga. Tak hanya itu, mereka juga mengkonsumsi makanan betawi yang biasa dikonsumsi Pak Haji Ali sekeluarga, ada semur jengkol, tumis oncom, ikan asin bulu jago dan sayur asem begitu melekat bagi keluarga Astuti.
Perjalanan lantang dimulai ketika Astuti bersekolah. Ia bersekolah di sekolah negeri yang tidak jauh dari rumahnya. Sekolah SD itu sudah berganti nama dari istilah SR. Satu dua teman Astuti ada yang mengetahui jika ayahnya adalah penghuni rutan. Astuti menjadi bahan ejekan oleh mereka yang tidak senang atau sekedar melampiaskan ketidaksukaan mereka kepadanya. Hal itu tentu menjamah hati Astuti dalam luka. Ada sesak yang ia rasa hingga suatu hari Astuti pernah berkelahi dengan teman sebayanya. Ia menjambak rambut temannya hingga terjatuh.
Orangtua dari temannya tidak terima atas pertengkaran itu. Lalu mereka melabrak ibunda Astuti dengan cacian yang garang. Sebuah cacian yang bermakna bahwa bundanya tidak bisa mendidik anak. Ibunda Astuti yang tempramental, merasa tertampar oleh cacian itu. Atas rasa itu, ia kemudian menyeret Astuti untuk keluar dan mengambil tali lalu mengikatnya seharian di pohon jambu air. Bundanya terus berkicau sambil sesekali mencubit pipi Astuti. Sang Bunda juga mendoktrinnya bahwa ia tak boleh nakal, tidak boleh berantem, harus ngalah pada teman, dan membiarkan orang menghina keluarganya.
Dalam penat yang panjang, ada rintih perih yang dirasakan Astuti. Dadanya penuh sesak melepuh tak terima, mengapa bundanya membela orang yang jelas menghina ayahnya? Sampai lelah Astuti menangis sambil berteriak, “ Ampun Bunda, ampun!” tetap saja Bunda membiarkan Astuti terikat dan ditonton oleh anak-anak Pak Haji dari dalam rumah, karena mereka juga tak kuasa menolong Astuti. Mereka paham akan sikap Bundanya yang keras, dan tidak suka orang lain ikut mengurusi urusannya.
Kejadian adalah alunan perih yang tak bisa sibungkus meski dengan kemegahan. Hingga saat ini tetap membekas di labirin ingatan Astuti. Ada rasa benci menyelinap jika mengingat betapa keras bundanya memperlakukannya. Alhamdulillah Astuti tidak meniru cara Bundanya yang buruk itu ketika menghukum anaknya.
Meski pernah ada luka di hati Astuti, namun ada sisi positif yang diberikan bundanya. Astuti termasuk anak yang beruntung. Walau tinggal di pelosok kampung, tapi Bundanya berpikiran modern. Setiap 3 bulan sekali Bundanya berusaha menyenangkan hati Astuti dan adik-adiknya dengan cara refreshing.
Bundanya mensiasati untuk meminjam mobil plus drivernya dari pasien Bundanya hingga akhirnya menjalin persahabatan. Astuti dan keluarganya diajak berlibur ke Pelabuhan Ratu dan ke Lido di Sukabumi. Tentu saja Astuti sangat gembira. Kadang Bundanya juga dapat undangan untuk menghadiri sebuah acara di Hotel Indonesia yang paling megah dan mewah pada saat itu. Astuti dan kedua adiknya berdesakan diantara tamu hotel lain demi segera masuk Hotel yang megah itu, menikmati keindahan hotel dan punya pengalaman pertama masuk lift untuk mencapai kamar hotel di lantai sepuluh. Di saat itu lah Astuti merasa bahagia bisa menikmati sesaat fasilitas hotel yang ada. Untuk itu ia harus berterima kasih pada Umi Kulsum sahabat sekaligus pasien Bunda. Yang sudah memberikan undangan pada keluarga Astuti.
Hiburan lain yang masih terekam di benak Astuti adalah ketika salah seorang tetangganya mempunyai hajat, entah itu pernikahan atau khitanan anaknya. Orang betawi yang mampu akan mengadakan hajatan yang sangat meriah, biasanya mereka mendatangkan (nanggap) orkes melayu dengan penyanyi Rhoma Irama, Mansyur S, Ellia Khadam dan bisa juga Elvi Sukaesih. Pastilah menjadi moment membahagiakan bagi siapa saja yang membutuhkan hiburan, gratis pula.
Sedang tetangga yang lain ada yang lebih suka memutar film “layar tancep”. Ya dikatakan layar tancep karena memang layarnya dipasang di tengah lapangan dengan cara ditancapkan. Film yang disajikan biasanya film India, yang selalu penuh dengan air mata dan nyanyian tak tertinggal selalu diiringi joged ria yang bersembunyi di balik pohon.
Layaknya sebuah hajatan yang menggelar hiburan pasti penuh dengan penjual makanan bahkan arena judi. Judi yang ada biasanya berupa judi puteran dengan memasang uang di nomer yang diperkirakan akan keluar. Karena penasaran dan ingin tahu Astuti pernah mencoba, pertama kali Astuti sempat menang, tapi akhirnya kalah lagi. Ketika kejadian itu diceritakan ceritakan pada Bundanya, beliau marah besar. Hehe. Maklumlah, Astuti adalah anak pintar. Ia selalu penasaran dengan hal baru. Ternyata alasan bunda memarahinya karena judi diharamkan di dalam agama. Astuti tertawa kecil setiap mengingat kejadian itu.
Makanan yang identik dengan layar tancep adalah kacang rebus, jagung rebus, tahu pong dan ada juga kerak telor. Cerita layar tancep dan orkes melayu jadi mengingatkan Astuti pada mbok Kem yang mendapat jodoh orang betawi ketika mereka bertemu di arena layar tancep. Sayang jodoh mbok Kem tidak panjang karena pernikahan Mbok Kem tidak mendapatkan anak. Suaminya menikah lagi. Akhirnya Mbok Kem sakit, lalu di jemput anaknya untuk pulang ke Ngawi. Mbok Kem tidak kuat, akhirnya di dalam kereta api perjalanan Jakarta Madiun, Mbok Kem meninggal dan langsung diturunkan di stasiun terdekat. Karena biaya membawa Mbok Kem ke Ngawi cukup mahal, maka anak mbok Kem memutuskan setelah disucikan di rumah sakit Kroya, mbok Kem dimakamkan di pemakaman umum untuk orang-orang yang tidak dikenal.
Bundanya sempat menyayangkan mengapa jasad mbok kem di kubur di sembarang tempat. Bagaimanapun Mbok Kem memiliki jasa besar bagi keluarga Astuti. Sejak bulek menikah, Mbok Kem lah yang mengasuh Astuti dan kedua adiknya hingga mereka semua tumbuh dewasa. Mendengar Mbok kem meninggal, ada rasa sedih mendalam di hati Astuti. Baginya Mbok Kem bukan hanya sebagai ‘rewang’ tapi sudah dianggap seperti ibunya sendiri. Kasihan sekali Mbok Kem. Semoga Allah SWT menyayanginya dan menempatkannya di tempat yang layak.
Cerita Astuti ini menguap penuh harmoni, mengantarkan melodi di sepanjang perjalanannya. Tidak lengkap jika kisah Astuti dengan teman teman sebayanya tidak diungkap di tulisan ini. Ketika ia kelas 4 SD, Ia punya teman yang berasal dari Manado, pendidikan orangtua mereka sangat tinggi. Astuti mengetahui banyak hal tentang Amerika dan negara bagiannya dari Pingkan, temannya dari Manado.
Suatu ketika Pinkan membawa uang saku yang cukup banyak, hampir semua temannya satu kelas ditraktir di hari itu. Ketika Astuti bertanya dari mana dia mendapatkan uang itu, tanpa malu dia mengatakan bahwa dia mencuri uang papinya. Deg, deg, berdebar rasanya jantung Astuti. Ada rasa sesal datang setelah mengetahui ternyata ia sudah ikut menikmati hasil curian temanya. Dan kejadian itu sering berulang tapi papi maminya tidak sadar bahwa putrinya suka mencuri uangnya.
Banyak hal yang dipelajari Astuti setelah dekat dengan Pinkan. Salah satunya hobi membaca komik. Komik yang mereka baca komik HC Adresen, dilanjut dengan komik-komik silat dari mulai “ si Buta dari Gua Hantu” sampai “ Wiro Sableng”, akhirnya merambah ke Buku cerita “Kho Ping Ho”, terus berkembang ke novel-novel percintan Montingo Busye. Dan ketika Astuti klas 6 SD, Pingkan membujuk nya agar mau membaca buku stensilan “ Nick Carter”. Sebuah buku yang isinya tentang Sex. Haha tanpa sengaja Astuti belajar hal itu dari Pinkan. Ironis,anak klas 6 SD sudah mengenal tentang sex dari buku stensilan bukan dari orangtuanya. Di sisi lain, setiap Astuti pulang sekolah dalam seminggu ada 3 waktu diharuskan sekolah dien atau madrasah, dimana mereka diajari baca tulis Al Qur’an dan bahasa Arab. Astuti tidak tuntas belajar di madrasah pada sore hari. Jadi pengetahuannya tentang agama juga minim dan asal asalan, seakan ia punya kelompok bermain dari dua sisi yang menjurus ke akherat dan yang menjurus ke dunia.
Dari Pingkan juga Astuti mengenal cowok ganteng. Ia ingat namanya Erwin, masih sepupu Pingkan, ia tahu kalau Erwin naksir Astuti dari Pingkan. Awalnya hanya menitip salam untuk Astuti, tapi kemudian berlanjut tukar tukaran buku catatan lagu-lagu dan kata-kata mutiara. Semacam buku yang bisa mereka tulis dengan apa saja untuk menggungkapkan kegalauan hati. Kadang berupa puisi atau tulisan-tulisan untuk saling memuja dan mengagumi.
Ibunda Astuti langsung memarahinya jika ia sering pulang sore atau ketika Bundanya pulang ia masih bau keringat dan belum mandi, bundanya langsung melempari seribu tanya dari A-Z di ruang tamu. Astuti hanya menjawab 'ya' dan tidak atau memberi keterangan yang singkat. Apabila rasa jengkel Bundanya memuncak, dia tidak segan segan menjewer telinga Astuti. Sejak kejadian itu, Astuti harus pandai mengatur siasat bagaimana caranya kalau sore sebelum Bunda pulang ia harus sudah mandi, dan duduk manis menunggu kedatangannya.
Meski Astuti tergolong dari keluarga mapan, pada jaman itu sangat beda dengan jaman sekarang. Walau mereka punya pengasuh, tetap saja Bundanya memberi tugas rutin untuk mereka. Astuti sebagai si sulung tugasnya menyapu lantai dan ngepel, sedang adiknya yang perempuan bagian ngelap meja kursi, dan furniture lain yang ada di ruang tamu dan ruang keluarga. Sedang, si bungsu dia kebagian menyemir sepatu dan menyiram tanaman. Setelah tugas itu selesai baru mereka mandi bergantian dan sarapan dan berkemas berangkat sekolah. Ada tugas lain yang Astuti kerjakan di hari minggu pagi atau siang. Semua tergantung dari perintah Bunda.
Tugas ke pasar dengan catatan belanjaan yang harus ia beli. Dan lebih berat tapi juga menyenangkan yaitu door to door ke rumah langganan dan pasien Bunda, Astuti pergi ke sana untuk menagih uang pembayaran berobat atau mengantar obat pesanan mereka. Ibunda Astuti adalah mantri keliling yang punya jadwal khusus door to door memberi pelayanan pada mayarakat di sekitar kampung nya, atau bahkan meluas sampai daerah Condet dan Kampung pulo, Krobokan yang sekarang lebih dikenal dengan nama daerah Warung Buncit.
Jiwa sosial ibundanya cukup tinggi sehingga membolehkan langganan dan pasienya menhutang ketika berobat. Mereka rerata buruh bangunan dan buruh penjahit konfeksi dari para juragannya yang memiliki usaha di pasar Tanah Abang. Karena mereka menerima upah mingguan atau biasanya sabtu sore, tugas Astuti adalah menagih utang mereka di Minggu pagi. Dengan dating dari rumah ke rumah, ia bisa melihat suasana rumah tiap orang dan bisa membandingkan bahwa ia dan adik- adiknya termasuk orang yang beruntung. Betapa tidak, dari kunjungan itu ia bisa melihat rumah yang jorok dan tidak layak huni. Sedang, Astuti dan keluarganya hidup di lingkungan yang layak meski dengan rumah sederhana, tapi karena Bundanya orang kesehatan jadi semua tertata rapi dan bersih.
Di beberapa epidose, Astuti mendapati keberuntungan yaitu ketika menapaki rumah pasien ibundanya yang berlatar gedong, halamannya luas, ditumbuhi pepohonan asri, dan pulang dibekali buah tangan seperti Apel Amerika atau anggur, kadang juga kue lapis Surabaya yang sangat enak.
Ada alasan lain yang membuat Astuti merasa senang yaitu ketika mendapat tugas belanja ke pasar. Kadang ke pasar Minggu kadang ke pasar Mester atau sekarang dikenal dengan pasar Jatinegara. Dua pasar tradisional yang kalau hujan identik dengan becek dan bau. Catatan yang harus dibeli di tangannya bisa berupa obat, bisa juga berupa kebutuhan rumah tangga lainnya. Namanya pasar selalu mempunyai daya tarik tersendiri. Bundanya selalu melebihkan uang yang untuk belanja. Jadi, ketika ada sisa dengan leluasa ia membelanjakannya. Biasanya barang yang ia beli berupa aksesoris, kaos kaki atau piranti lain yang sangat “feminim”.
Perlahan tapi pasti ia di didik untuk terjun langsung mengenal kehidupan. Berinteraksi dengan orang banyak, belajar memilih barang yang bagus, dan belajar menawar harga barang dengan cara yang sopan. Tentu saja semua itu dengan proses. Bundanya sering mengajak ia berbelanja sebelumnya. Oleh ibundanya ,ia ditunjukkan tempat langganan belanjanya serta di ajari kiat memilih barang yang bagus.
Sekarang ia menyadari bahwa ibundanya mendidik Astuti dan adik-adiknya dengan tidak mudah. Tiap anak punya kenakalan yang berbeda. Astuti termasuk anak yang sukar diatur, bertindak semaunya sendiri, jika dinasehati justru semakin tidak taat. Sedang adiknya yang nomer dua, dia benar-benar anak Bunda, selalu menurut. Paling sesekali berkelahi dengan temannya. Itu pun tidak sampai menghebohkan seluruh keluarga. Lain lagi dengan adik laki-lakinya yang super istimewa, maklum laki-laki dia bergaul dengan siapa saja. Perilakunya yang menjengkelkan adalah ketika adiknya dan teman-temannya begadang. Dia menyelinap keluar kamar dan menutupi gulingnya dengan bantal, seakan dia sudah tertidur nyenyak. Padahal di luar sana adiknya mencuri mangga dan telur ayam milik tetangga mereka.
Tentu saja peristiwa itu mencoreng nama baik Bundanya Astuti. Sejak itu ibundanya ekstra ketat mengawasi mereka. Adiknya ini selain avonturir dia juga suka travel yang aktivitasnya mendekati bahaya. Misal nonton bola tidak beli tiket, cari tumpangan dengan menyetop truk di lampu merah, naik Kereta Jakarta Bogor tanpa karcis. Yang seru lagi ketika dia diturunkan di salah satu stasiun kereta api karena kedapatan tanpa tiket. Padahal kereta api yang ditumpangi adalah kereta api jurusan Surabaya –Jakarta. Jadi ketika teman- temannya sudah sampai Jakarta, adiknya belum tampak batang hidungnya. Tentu saja Bundanya panik tapi tidak bisa berbuat sesuatu, cukup menunggu kabar. Ternyata setelah diturunkan di salah satu stasiun, dia malah estafet naik Bus agar segera bisa sampai rumah.
Ibunda Astuti menyiapkan masa depan mereka dengan sungguh-sunguh, beliau rela berstatus istri muda, hanya demi status dan nafkah batin dari Pak Atmaja. Tetapi untuk urusan materi Bundanya tidak pernah mengganggu keuangan Pak Atmaja sekeluarga. Semua biaya hidup Astuti dan anak-anaknya sepenuhnya ibundanya yang mengurus.
Sosok ayah tidak seratus persen Astuti dan adik-adiknya rasakan, hanya demi kehormatan dan sebuah status. Astuti tidak tahu apakah ini suatu komitmen yang dibuat oleh ibundanya, Pak Atmaja atau bu Atmaja. Jika Iya, bagaimana bisa semua ini dilakukan, berumahtangga dengan syarat yang tidak disyariatkan agama. Tidak ada keadilan di dalamnya. Yah mungkin hanya ibunda pada, Pak Atmaja, Bu Atmaja, dan Allah SWT saja yang tahu.
Naluri seorang ibu sangatlah tajam. Sering kali Bundanya memergoki perbuatan buruk Astuti, entah itu membolos, mencuri uang di lacinya, atau berlaku tidak adil dengan adiknya. Bundanya mengamati tiap perilaku anaknya. Dari tiap perilaku dan kebiasaan anaknya dia beliau bisa mengarahkan langkah mereka. Astuti yang senang main sekolah-sekolahan dan bertindak jadi guru, sering mengatur teman teman sebayanya, diprediksi Bundanya akan menjadi guru. Bunda terobsesi agar Astuti pandai bahasa Inggris dan bisa sekolah ke luar negeri dan suatu saat mengajak jalan-jalan ibundanya keliling dunia.
Jaman dulu belum banyak orang memberi pelajaran kursus, Ibunda Astuti mendaftarkan ia untuk ikut kursus bahasa Inggris yang diikuti oleh murid SMA dan umum. Dengan susah payah, Astuti mengikuti kemauan ibundanya walau akhirnya tidak tuntas dalam belajar, karena ia merasa tidak nyaman dan tidak bersungguh-sungguh. Tekad Bundanya yang besar mengantar ia menjadi guru. Ibundanya bersusah payah ke Solo dan antri membeli formulir pendaftaran untuknya. Astuti hanya tinggal mengisi dan mengikuti tes. Sampai akhirnya ia diterima di FKIP UNS jurusan Bahasa Inggris.
Sedang adik perempuannya yang punya kebiasaan mengisap jempol dan ngodos-odos bantal lalu diambil kapuknya dan ditempel-tempelkan ke hidungnya, diprediksi ibundanya akan menjadi dokter. Karena kapuk identik dengan kapas untuk menyuntik pasien. Mungkin karena sugesti, Bundanya sangat yakin jika adiknya akan menjadi dokter. Dan Qadarullah memang akhirnya gelar dokter berhasil di sandang adiknya Astuti dengan jerih payah keuangan yang 'ngos ngosan' dan berjuang sekuat tenaga untuk bisa meraih gelar dokter. Bagi beliau, paling tidak, ada peningkatan dari anak seorang mantri suntik menjadi seorang dokter.
Hal yang paling lucu adalah prediksi ibundanya tentang adik Astuti yang paling bobtot. Kebiasaan adik laki lakinya ini, ketika tidur dia suka 'ngemot' nasi putih sekepal. Jadi, ritual tidurnya diawali dengan ngemut nasi segenggam yang disediakan Mbok Kem pengasuh kami. Bunda menebak bahwa kelak jagoannya akan menjadi pak Tani. Atau paling tidak bergerak di bidang pertanian. Nasi identik dengan Pak Tani. Alhamdulillah adik bungsu Astuti lulus dari fakultas pertanian, lalu sibuk di LSM yang memberi pembelajaran pada para petani. Dan berjodoh pun dengan teman kuliahnya yang bergelut di bidang pertanian juga.
Sampai akhirnya Astuti menyakini bahwa kebesaran Allah itu sesuai dengan apa yang kita sangkakan. Begitu besar kasih sayangNya. Ibundanya telah mengarahkan mereka untuk menjadi insan yang bisa mengembangkan diri dan tidak canggung terjun dalam kehidupan yang nyata.
Seumpama waktu adalah kancing yang melekatkan harapan, maka bias elegi menempel sebagai temaram yang berhias pada keindahan. Pula langkah adalah jarak tanpa jengkal yang dapat memindahkan harapan pada suatu kenyataan.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara mu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (ar-Rum:21)
Membaca kisah Astuti yang dirangkai dengan diksi yang menarik hati, menjadikan buku ini memiliki daya tarik tersendiri. Ratu diksi ini memang selalu membuat diri terkesima karena sentuhan faksi yang begitu kuat. Laksana terlebur dalam jalinan cerita Astuti, pembaca akan merasakan sensasi diksi yang begitu menggoda. Selamat untuk sahabatku Maydearly yang selalu menghujam ratusan diksi dalam balutan faksi. Semoga buku solo ke-3 ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca untuk terus mengasah diri dan selalu berkarya.
BalasHapusSalam blogger inspiratif
Aam Nurhasanah