Maka Allah memberi merela pahala di dunia, dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah mencintai orang orang yang berbuat kebaikan. (QS.Ali Imran;3;148)
Berkelana dalam sebuah kehidupan adalah keindahan yang patut dikisahkan. Cantiknya peristiwa dalam suatu hidup bersebab Tuhan menciptakan ingatan agar kita syukuri sebagai mesin waktu. Sejatinya kehidupan adalah 99% ujian, dan 1% kenangan. Maka biarkan sang tinta mencatat retorika hidup kita sebagai urat nadi sebuah kenangan.
Ada jejak yang ingin aku ceritakan tentang Astuti, dimana ia berkelana sebagai seorang mahasiswa. Hidup sebagai seorang remaja kost an, membidik ia untuk tumbuh dewasa. Tinggal jauh dari ibundanya menjadi hal yabg begitu asing bagi Astuti. Ia perlu menata setiap ritme aktivitasnya mulai dari bagun tidur hingga pergi tidur. Mengandalkan dirinya sendiri sebagai sang Tuan, tentu membawa ia pada kepiawaian memanage diri.
Astuti tak lagi menjadi anak rumahan yang segala kebutuhannya disediakan ibunda dengan seketika. Ia berkomunikasi dengan ibundanya lewat jasa kilat khusus atau kilat biasa. Uang kirimannya diantar via Wesel yang kadang dialamatkan ke kampus atau atau ke rumah budenya di Penumping. Dalam suratnya sang ibunda selalu mengingatkan ia agar berhati hati, makan yang teratur, jangan mudah terpengaruh, harus bisa jaga diri, membawa diri, dan tahu diri. Sang bunda masih mengganggapnya bak seorang anak kecil yang baru pandai berceloteh.
Tanpa disadari oleh ibundanya, Astuti sudah tumbuh menjadi gadis kampus, yang memiliki banyak teman, punya semangat belajar, punya cita-cita, dan bisa menjaga diri. Astuti pernah tinggal di eumah kost bu Guru sekitar 6 bulan. Kemudian ia pindah ke rumah kost yang dimiliki Pak Dosen, dengan posis yang cukup luas dengan 4 kamar, 2 kamar mandi, dapur, ruang tamu dan ruang belajar. Rumah kost itu disewa secara bersama dengan temannya. Persis seperti rumah keluarga. Satu kamar dihuni 4 orang dengan tempat tidur susun. Tempat tidur itu mereka gabung jadi seperti tempat tidur ukuran jumbo. Mereka harus bisa berbagi dan penuh toleransi. Setiap orang punya sifat yang berbeda. Ada yang banyak bicara, ada yang kalem, ada yang jaim, dan ada yang bawel.
Masing-masing dari mereka memiliki pola belajar yang berbeda. Ada yang belajar di malam hari, setelah sepi, ada yang pagi setelah salat subuh, ada juga yang suka sore hari. Atau wayangan. Jika ada quiz atau mid tes barulah mereka belajar. Urusan makan juga sesuka hati mereka , ada yang iuran dan masak bareng, ada yang suka masak nasi dengan ditim, lalu beli lauk dan sayur, ada juga yang suka jajan. Yang jelas catering dan laundry belum ada di sekitar kost mereka.
Sang waktu mengajari banyak hal kepada Astuti. Di rumah kost putri tersebut ia belajar kehidupan yang sebenarnya, ia tahu ada seorang teman yang “geleman” suka mengambil barang temannya tanpa ijin, dan kadang ketika mereka memanggil pedagang 'tenongan' sebuah jajanan yang dijajaki mbok-mbok yang biasa jualan di depan kos pada sore hari. Temannya ada suka “gabrul’ mengambil 5 tapi yang dibayar hanya 2. Teman temannya yang lain juga tahu tapi mereka tidak berani menegur.
Tak sampai situ, acara menjemur pakaian juga kadang menjadi pemandangan yang heboh. Mereka harus bisa mengatur waktu dan tenggang rasa. Tidak bisa semaunya sendiri, apa gunanya mencuci pakaian kalau tempat menjemur penuh, “ ngesuk-esuk” jemuran yang sudah ada juga riskan, bisa jadi jemuran yang sudah hampir kering jadi basah. Astuti lebih senang mencuci di hari minggu kecuali pakaian dalam. Ia selalu mencucibya pagi dan sore hari sembari mandi. Di hari minggu teman teman yang rumahnya tidak terlalu jauh biasanya mereka pulang di sabtu siang, dan senin pagi baru kembali, kemudian langsung ke kampus.
Mereka menjadi satu keluarga besar dalam satu rumah dengan latar belakang yang berbeda. Hal ini menimbulkan banyak hal positif salah satunya Astuti jadi suka sambel, sayur lodeh, dan makanan asing lainnya yang belum pernah ia coba sebelumnya. Dulu pencernaan Astutu agak bermasalah dan punya gejala sakit maag, tapi setelah jadi anak kost perutnya baik-baik saja, penyakit maag nya jarang kumat.
Astuti sangat senang memanfaatkan hari minggunya. Kadang ia berkelana menjajaki tempat demi tempat dengan ikut pulang ke rumah salah satu temannya. Beberapa tempat pun kerap ia singgahi seperti Kudus, Klaten, Jenawi, atau Boyolali. Dari perjalanan itu ia mendapat pengalaman baru, menikmati suasana desa, di kaki gunung membawa hatinya untuk tadabbur alam. Suasana yang jarang ia dapat ketika di Jakarta. Astuti bisa naik pohon cengkeh dan memanennya, lebih enak lagi ketik ia disuguhi daging kalkun yang dibumbui rujak. Makanan lain juga pernah ia nikmati seperti masakan bersantan dengan aroma bumbu dapur yang dominan. Hal yang amat membekas dalam ingatannya adalah ketika pergi ke kebun bersama Santu dan ayahnya. Di sana mereka mencabut singkong yang kebunnya di belakang rumah. Jadilah ia sebagai penjelajah dari rumah ke rumah temannya.
Pula, ada episode yang pernah ia rindui. Yaitu petualangannya ke daerah Wonosari. Yogyakarta. Rumah temannya tak jauh dari pantai Baron. Itulah pengalaman Astuti melihat pantai selatan yang ada di Yogya. Jika pantai Pelabuan Ratu yang di Sukabumi sudah pernah ia singgahi ketika masih SD. Sejak saat itu ia suka travelling dan selalu menunggu adanya waktu luang untuk pergi ke tempat wisata yang ada di Solo dan sekitarnya.
Teman Astuti tak hanya dari FKIP saja, tapi ada teman dari jurusan lain, Jurusan Pertanian, Fisipol, juga jurusan tehnik. Maka temannya tidak terbatas dari FKIP saja. Atau teman sesama mahasiswa yang ia kenal waktu mereka makan di warung dekat kost. Teman-temannya menilai Astuti sebagai prinadi yang easy going. Dengan kakak kelas pun ia cepat akrab. Beberapa temannya sudah memiliki pacar. Ada sebuah peraturan yang tidak tertulis, bahwa tamu cowok tidak boleh masuk, cukup di teras saja. Jam bertamu pun dibatasi sampai jam 9 malam. Kalau sudah jam 9 masih ada tamu, mereka secara halus akan mengingatkan. Mereka sering menggunakan jingle “ Wes wancine kon mulehh” apabila di TVRI ada siaran “Dunia Dalam Berita”.
Pengusiran halus itu pasti dipahami oleh temannya yang sedang bertamu, hingga mereka pun segera berpamitan. Pintu gerbang ditutup, dan mereka pun melanjutkan aktivitas masing-masing. Seremoni sebelum tidur kadang membuat Astuti homesick. Kangen Bunda, kangen adik adik, kangen masakan mbok Kem. Dan pikirannya kemudian berselancar pada bayangan Fadli yang masih mengganggunya. Batinnya masih bertanya mengapa dia bisa melakukan semua itu? Fadli tak pernah mau menjelaskan masalahnya apa. Sebaliknya juga Astuti tidak bertanya tentang keadaan yang sebenarnya. Mungkin ada salah paham diantara Astuti dam Fadli. Ia harus berusaha menghapus semua harapannya tentang Fadli, walau kadang ia berkhayal jika Fadli datang menyusulnya ke Solo. Di benaknya, ia akan membawa Fadli untuk menikmati keindahan kota Solo, dengan segala keunikannya, dan akan dikenalkan pada keluarganya. Jika bukan halu, pasti akan sangat menyenangkan.
Pada satu hati ada satu cinta yang mendiami. Tentang Fadli perasaannya kini hanya sekadar emoji. Sejujurnya, ada teman Astuti yang satu angkatan dengannya dan menambatkan rasa pada Astutu. Tapi ia tidak menanggapinya dengan serius. Teman Astuti yang lain malah memanfaatkan situasi tersebut. Temannya sering mengajak Astuti ke rumah “ Sitrol” lelaki yang naksir Astuti. Rumah Sitrol 20 km sebelah selatan. Melewati jalan kampung, dan jalan setapak dengan view sawah pada kanan kirinya. Mereka harus berhati-hati dan menjaga keseimbangan, jika tidak, bisa masuk sawah. Sitrol adalah anak petani kaya dan orangtuanya berternak ayam petelur. Ketika pulang Astuti dibawakan beras dan telur. Sampai di rumah kost mereka membagikan oleh-oleh tersebut.
Astuti merasa jika masa kuliahnya berjalan seinbang. Ia selalu lulus ujian semester walau kadang ada satu dua yang nilainya pas-pasan. Perkuliahannya menerapkan sistem SKS, mereka bisa ikut pelajaran di atasnya kalau memang mau, biasanya Astuti ikut 2 mapel atau yang nilainya 4 SKS. Ia punya kesempatan gabung dengan angkatan di atasnya.
Teman Astuti berkata jika ia tidak terlalu pintar. Hanya bermodal tekun, dan mau belajar. Bisa mengatur waktu kapan bermain, kapan serius. Waktunya belajar, mengerjakan tugas, dan masa menjelang ujian, Astuti akan merapat ke teman temannya yang pintar dan yang rajin. Astutk tidak malu bertanya kalau aku tidak tahu, termasuk cari referensi dan penunjang materi lainnya. Termasuk persiapan untuk presentasi. Berbeda halnya dengan awal semester yang tidak terlalu menguran energi dan pikiran, Astuti pun bisa menikmati panorama sebagai seorang mahasiswa dengan nongki di kantin, belajar santuy, bahkan kopdar dengan teman jauh.
Astuti adalah pribadi nan piawai. Ia sempat bergabung di komunitas mahasiswa yang berasal dari Jakarta. Mereka rata rata jauh adalah kakak tingkat Astuti, mereka sebelumnya dari Perguruan tinggi swasta di Jakarta lalu pindah ke Solo untuk mendapatkan status perguruan tinggi negeri. Mereka ada yang dari jurusan kedokteran, teknik, dan pertanian. Pernah suatu hari mereka berkumpul di Tawangmangu, tempat wisata di kaki gunung Lawu Solo. Dari situ mereka menjadi akrab. Kemudian dilanjut dengan pertemuan rutin se bulan sekali. Akhirnya ajang ini jadi ajang cari jodoh. Karena ada beberapa yang akhirnya jadian dan menikah.
Saat berada di komunitas itu, Astuti hampir dipacari anak teknik, dengan tongkrongan motor Vespa. Astuti mengingatnya sebagai Amir, waktu itu dia hanya menyelesaikan skripsi. Dia langsung datang ke kost, dengan PD nya bilang, ”Mau ngga gue lamar?” sayangnya Amir bukan selera Astuti. Amir berbadan pendek, walau berhidung mancung dan berkulit bersih, tapi wajahnya banyak bekas jerawat yang kesannya bolong bolong atau seperti parutan. Dia asli orang betawi. Dengan tidak mengurangi rasa hormat Astuti pun menolak lamarannya.
Sang waktu berlari terlampau cepat. Ia berjalan mengitari tawa untuk masa depan yang ceria. Tak terasa ia berada di semester lima di awal tahun 1982. Waktu itu ada sebuah seminar gerhana matahari di Solo. Konon, akan banyak turis asing yang datang ke Solo, jadi persatuan guide di Solo mengantisipasinya dengan acara seminar itu yang melibatkan mahasiswa dan masyarakat umum yang berminat. Astuti pun tak mengabaikan kesempatan itu.
Event tersebut membawa berjuta pengalaman, teman, dan juga ilmu di maya Astuti. Astuti berusaha menjadi sebaik tour guide untuk obyek wisata Candi Prambanan. Dua hari bersama mengikuti seminar membuat mereka akrab satu dan yang lainnya.
Adalah Mas Haryo seorang kakak tingkat Astuti mengenalkannya dengan mantan pelaut kapal pesiar, namanya Mas Satria. Satria memiliki oerangai yang kebapakan, sepintas mirip pak Harmoko menteri di era Soeharto, pokoknya jawa banget. Bahasa Inggrisnya hebat, dan pintar main gitar. Astuti mengetahuinya di acara penutupan seminar. Mas Satria dengan spontan tampil ke depan menyanyikan lagu “I love you because I understand me” lagunya James Reeves. Tentu saja Mas Satria dapat applause yang hangat dari seluruh peserta. Di mata Astutu, Mas Satria memikiki karisma karena sifatnya yang kebapakan, terbuka, bicaranya ceplas ceplos, apalagi kalau mengumpat dengan kromo inggil. Sayang dia gagal dalam berumah tangga. Alasan klise dari runtuhnya rumahtangga Mas Satria adalah karena istrinya ketika dia berlayar. Dia punya satu anak cowok yang sudah kelas 1 SMP. Mereka masih tinggal bersama orangtuanya walau terpisah dengan rumah induk.
Astuti sering diajak mas Haryo ke rumah mas Satria untuk meninjam buku. Buku bukunya banyak, hampir semuanya terbitan luar negeri, yang dibeli ketika dia berlayar. Astuti pun ikut meminjam buku yang ia perkirakan bisa digunakan untuk menyelesaikan tugas kuliahnya. Semakin hari mereka makin akrab, Astuti tidak sungkan untuk bertanya, bila ada yang belum dimengerti, termasuk pengalamannya waktu berlayar keliling dunia, kebiasaan orang dari tiap negara yang dia jumpai.
Bertukar cerita dengan Mas Satria bak mendulang dongeng menjelang tidur. Astuti seperti ingin melangitkan mimpi dan mengutarakan semua resahnya. Akhirnya Astuti bisa terbuka dan bercerita tentang siapa ia dan keluarganya. Ia katakan dalam nada kepasrahan jika ia adalah seorang anak seorang Tahanan Politik, Astuti berpisah dengan ayahnya hampir 14 tahun karena ayahnya mendalami ilmu kehidupan dalam sebuah tempat bernama lapas.
Astuti melanjutkan hidup bersama ibu, ayah tiri juga saudara tiri, ibundanya begitu over protect. Rasa nyaman dibenak Astuti tercipta ketika ia dekat dengan mas Satria. Apalagi ketika dia mengelus kepalanya sambil berkata; “Mesake Cah ayu, pinter koq ngga dapat kasih sayang Bapak”
Sejak itu, Astuti jadi sering ke rumah mas Satria, ngobrol dengan Anton anaknya. Diskusi materi tugas tugasnya. Termasuk menyiapkan presentasi “Speaking”. Sesekali mereka nonton ke bioskop, Anton pun ikut berbekal coca cola dan coklat siver queen, mereka bisa menikmati film yang diputar sampai selesai. Pulangnya makan bakmi goreng, atau kadang nongkrong sebentar di HIK (Hidangan Istimewa Kampung).
Astuti tak tahu mau dibawa kemana kedekatannya dengan mas Satria, mereka berbeda agama, beda usia hampir 18 tahun. Berteman dengan mas Satria membuatnya semakin dewasa, membuka matanya lebar lebar bahwa masalah keluarga itu amat pelik. Mempertahankan rumah tangga itu sulit. Suatu ketika dia bertanya: “What ‘s your reason to be a teacher? “ jawaban Astuti begitu singkat “Kata Bunda seorang wanita harus siap jadi janda, jadi dia harus pintar dan survive” Mas Satria mendengarnya dalam senyum tipis.
Astuti tak ingin menceritakan banyak hal tentang Satria. Ia ingin mengais lupa episode pertemuan mereka. Bertemu dengan Mas Satria adalah awal tegukan manis yang kemudian berakhir dengan ampas miris.
Ingatannya kemudian mengembara pada masa libur semester tiba. Kala itu, Astuti tak pulang ke Jakarta, ia hanya pulang ke Jakarta pada lebaran atau tahun ajaran baru, selama libur semester itu biasanya ia isi dengan kegiatan yang ada, di kampus, atau kegiatan lain yang menarik. Seperti kegiatan yang ia ikuti di Magelang.
Astuti ikut rombongan Menwa kampus, atas perwakilan dari Mapala, karena ia bukan menwa. Acara mereka napak tilas jejak rute gerilya Panglima Perang Jendral Sudirman. Mereka gabung dengan siswa AKABRI yang masih dalam masa pengajaran di dampingi instrukturnya. Acara pembukaan di Aula komplek AKABRI, ada dimulai dengan pembekalan sebelum perjalanan. Karena rute yang ditempuh Yogyakarta-Wonogiri menyisir bukit-bukit di pantai selatan. Komplek AKABRI yang luas nan asri, dan tenang membuat Astuti begitu kagum, disini lah calon jendral akan digodok.
Para calon Jendral itu harus memiliki fisik yang bagus, pakaian yang keren, posisi duduk yang tegap, tapi begitu materi inti disampaikan di sesi malam sebagian dari mereka ada yang mendengkur. Mereka mungkin sudah kelelahan sejak pagi karena latihan fisik di pagi hari cukup berat, jadi para instruktur pun maklum, apabila mereka sering tidur meski dalam posisi duduk. Sedangkan Astuti masih bertahan dengan penuh perhatian sampai acara selesai. Kegiatan ini langka diikuti oleh peserta putri, mayoritas putra semua. Dari Kampusnya hanya Astuti dan Grace yang mengikuti.
Malam kian pekat, angin semakin dingin, dan sang fajar mengantarkan pagi. Di pagi hari selesai sarapan mereka dikumpulkan di lapangan, untuk diberi pengarahan. Setelah itu langsung naik mobil truk hijau yang biasa untuk membawa tentara .Truk yang ditutupi terpal tapi ada tempat duduknya. Dari Magelang mereka menuju Yogya, mampir di gedung Agung, lanjut ke rumah Keluarga Panglima Jendral Sudirman. Dari rumah itu lah perjalanan dimulai. Mereka berjalan kaki kearah Parang Tritis. Menyebrangi sungai dengan perahu penyebrangan.
Sore hari mereka beristirahat sejenak. Numpang mandi di rumah penduduk yang sudah ditunjuk, sedang siswa AKABRI tidak mandi, pasukan perempuan istirahat di rumah penduduk, mereka istirahat di bifak, tenda kecil yang hanya cukup untuk satu orang. Perjalanan ini sangat melelahkan tapi ia menikmatinya dengan senang hati. Astuti berjalan tidak beriringan dengan teman teman menwa, ia lebih suka berbarengan dengan instruktur, dari mereka Astuti mendapat banyak bahan cerita yang lucu lucu, apalagi bila ada siswa yang melanggar aturan, mereka pasti menegurnya dengan keras.
Astuti merasa iba denga siswa AKABRI, tas ransel mereka sangat berat. Ternyata ransel itu berguna untuk membentuk tubuh mereka agar tegap dan kencang. Dua hari jalan tanpa ganti baju membuat sebagian dari para siswa AKABRI beraroma kecut, ada juga yang jalannya mulai kelelahan ada yang kakinya lecet, ada juga yang jalannya jadi “mekeh mekeh” seperti habis khitan. Haha. Karena selangkangannya juga lecet akibat pakaian dalam yang kotor, atau karena berkeringat yang berlebihan.
Perjalanan yang paling asyik adalah ketika mendapati bukit jalan setapak, mereka bisa memandang laut lepas yang berwarna biru dan ombak putih yang berkejaran. Di jalan yang agak menanjak mereka biasanya beristirahat sejenak, meluruskan kaki dan minta kelapa muda dari petani kelapa yang sedang memetik kelapa.
Setelah keluar masuk desa selama berjam-jam, malam kedua mereka beristirahat di lapangan Eromoko. Malam hari mereka dihibur oleh orkes melayu setempat. Mereka mengadakan malam pengakraban dengan penduduk setempat. Hampir seharian Astuti dekat dengan salah satu instruktur yang bernama Gunawan. Dia masih muda, pengakuannya lelaki perjaka, belum berkeluarga dan baru saja lulus tapi langsung direkrut jadi instruktur.
Astuti dan Gunawan pun saling bertukar alamat, dan berjanji mau saling memberi kabar, kalau acara sudah selesai. Malam yang dingin, angin membelai merdu dalam hening. Singkong dan pisang rebus adalah suapan hangat tatkala menikmati hiburan orkes melayu, Astuti cukup terhibhr. Tapi karena lelah, ia segera pamit untuk beristirahat.
Di pagi yang buta, para rombongan kemudian melanjutkan perjalanan sampai Wonogiri, ditutup dengan acara penyambutan dari pemda setempat, masing-masing dari peserta mendapat piagam penghargaan yang ditandatangi langsung oleh petinggi AKABRI. Usai acara mereka pun naik bus yang sudah disediakan dari kampus. Di perjalanan pulang teman Astuti yang mengamatinya mulai teriak teriak;”Syuit Syuit, Tiwiek entuk cem ceman…”. Wah mereka mengira Astuti mengalami cinta lokasi.
Perjalanan mengesankan pun akhirnya usai. Rasa capek, ngantuk, wajah dan kulit juga gosong, menjadi sosok oleh-oleh yang amat berkesan. Sungguh sebuah perjalanan dan pengalaman yang tak tentu akan terus mengitari ingatan sebagai prasasti kenangan.
Sesampainya di rumah Astuti langsung membeli 'parem' kocok untuk mengurangi rasa pegal pegal di sekujur badannya. Ketika ia berlibur ke Jakarta, kemudian Ia ceritakan pengalaman itu pada Bunda dan adik adiknya, sembari menunjukkan foto fotonya. Sungguh Bunda tidak menyangka jika Astutu kuat mengikuti kegiatan itu, Padahal jalan dua hari dua malam butuh fisik yang kuat.
Sejengkal episode petualangan di waktu libur semester itu, membuat Astuti menjadi pribadi yang kukuh.
Waktu berselang begitu cepat, kegiatan di kampus pun aktif kembali. Di sini Astuti mendapatkan her registrasi. Di sela her registrasi itu, dia menyematkan harapan mendapatkan surat balasan dari sahabat penanya yang di Selangor atau yang di Kuala Lumpur. Ternyata tidak ada, yang malah ia mendapat surat dari orang yang tak terduga. Sebuah surat itu dari Kak Gunawan, instruktur yang ia kenal ketika ikut kegiatan Napak tilas.
Sepucuk surat itu tak langsung ia bukan ia amati dengan dalam tulisan yang begitu rapi di sampul bagian depan dan belakang, lalu ia masukkan surat itu ke dalam tas. Baru ketika malam hari menjelang tidur ia buka isi amplop itu.. Hmmm sepucuk surat cinta yang cukup romantis, dan membuatnya tersanjung. Astuti ragu untuk membalasnya. Tapi akhirnya surat itu ia balas, sebuah balasan untuk sebuah penolakan. Memori Astuti hanya berlayar pada keakraban tatkala mereka mendaki bukit dengan pemandangan yang begitu indah. Jika orang yang tidak merasakan suasana saat itu pasti bisa beda dalam menafsirkannya.
Di benak Astuti, ia hanya berkesan akan perjalanan seru itu, namun Kak Gunawan merasa GR atas kedekatan kala itu. Tidak lama kemudian ia mendapat balasan lagi dari Gunawan. Sebuah balasan yang masih penuh dengan rayuan, sebuah kalimat yang meminta Astuti untuk ke rumah di komplek tidar Magelang. Dasarnya Astuti menyukai travelling, akhirnya undangan itu ia terima, tujuannya hanya dua, pertama datang ke rumah famili Pak Atmaja di Badran, kemudian ke Magelang.
Jarak Solo ke Badran cukup jauh, ia harus naik bus jurusan Semarang, dan turun di Bawen lalu ganti bus untuk jurusan Yogya, setelah itu turun di perempatan yang disambung lagi dengan bus kecil arah Temanggung. Perjalanan yang cukup rumit dengan beberapa tempat pemberhentian. Niat silahturahmi yang kuat dan rasa penasaran memenuhi undangan dari Kak Gunawan, tak membuatnya lelah. Astuti ingin menemui temannya di komplek tidar.
Astuti tinggal di Badran tak lama, karena memang tujuan utamanya adalah ke Magelang tapi ia harus bagi waktunya untuk pergi ke Badran untuk sekedar “Say hello” dengan keluarga Pak Atmaja. Astuti pun segera pamitan dan melanjutkan perjalanan. Astuti katakan pada keluarga Pak Atmaja bahwa ia ingin menemui temannya di komplek tidar. Rumah yang ia tuju butuh waktu 20 menit dari Badran. Astuti pun memperhatikan alamat yang ia pegang dengan nomer rumah yang ia cari. Astuti mencari rumah Kak Gunawan dengan hanya modal bertanya pada Kang Becak.
Langkah kaki Astuti tepat di sebuah pintu dari rumah seorang Gunawan. Jantung hatinya mulai berdebar, karena rumah itu amat sepi. Ketika ia mengetuk pintu, kemudian datanglah gadis kecil yang begitu lucu. Gadis itu berkisar 4 tahun umurnya. Feeling nya sudah tak bagus, ia mencium aroma tak sedap dari perasaannya. Tapi mau bagaimana sudah tak mungkin jika harus putar balik dan kabur.
Dengan nada gugup Astuti kemudian bertanya “Ini rumahnya Kak Gunawan?" Bocah cilik itu menggangguk sembari berlari ke dalam dan berteriak, “Papa ada tamu nyari papa”. Astuti belum berani duduk dan juga tidak berani melihat ke arah dalam rumah. Ia berdiri kaku menunggu langkah-langkah kaki mendekat. Kak Gunawan didampingi seorang perempuan mengulurkan tangannya mengajak salaman dan mempersilahkan duduk. Tidak ada basa basi, perempuan itu langsung memperlihatkan surat yang ada digenggamnya. Astuti yakin itu surat yang pernah ia kirim untuk Kak Gunawan. Dia langsung menuduhnya sebagai wanita penggoda suami orang. Adegannya jadi seperti di dagelan Srimulat. Kak Gunawan berusaha menenangkan istrinya dan menjelaskan hubungan mereka yang sebenarnya.
Tapi istrinya tetap marah dan memaki Astuti sesukanya. Ia biarkan dia menghukumnya dengan kata kata yang tidak sopan. Sampai akhirnya dia menangis. Setelah itu baru ia menjelaskan apa arti dari isi surat itu yang membuatnya salah paham. Ia bercerita di surat itu tentang keindahan alam dan kebersamaannya dengan Kak Gunawan, sementara dia mengartikan bahwa Astutu sudah melakukan asusila dengan suaminya.
"Mbak saya minta maaf, saya kesini atas undangan mas Gunawan, saya tidak menyangka kalau masalahnya jadi runyam, mbak boleh marah kalau saya datang kesini dalam keadaan hamil atau menuntun anak, dan minta pertanggungjawaban Kak Gunawan, karena saya istri simpanannya. Mbak patut marah. Jujur saya tidak tahu kalau mas Gunawan sudah berkeluarga, lain kali saya akan hati hati, dan tidak mudah percaya dengan lelaki yang mengaku bujang, permisi.”
Dengan rasa nanar menahan malu, Astuti kemudian pergi meninggalkan rumah itu tanpa menghiraukan istrinya yang meminta maaf dan memanggil namanya. Astuti tak kuat menahan tangis. "Ya Allah ampuni aku". Batinnya. Berbagai rasa larut jadi satu, merasa dibohongi, dilecehkan, dan direndahkan. Sungguh pengalaman yang sangat berharga untuk Astuti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar