Senin, 31 Oktober 2022

Pinangan Datang


“Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan dari padanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya…..(QS Al-A’raaf 7:189)”

Hari-hari bak sebuah keranda dalam benak Astuti. Jiwanya terbata-bata mengapung menelan cerita yang hendak menjadi apa. Sebuah peristiwa datang begitu tiba-tiba, peristiwa yang mengubah statusnya dari gadis untuk menjadi Ibu rumah tangga. Entah ia harus pasrah menerima atau lari menolaknya. 

Pak Ardani yang baru empat bulan menduda secara tiba tiba berusaha singgah di singgasana hati Astuti, sungguh membuat Astuti termenung begitu heran. Berdasarkan kriteria apa dia meminang nya. Astuti hanya seorang guru muda dari kota kecil, tidak cantik bila dibanding dengan guru muda lain yang ada di dua sekolah tempat mereka mengajar. Tidak pernah menaruh rasa simpati, apalagi membayangkan Pak Ardani menjadi suaminya. Jauh dalam bayangan apalagi  masuk dalam peta kehidupannya.

Berbeda dengan sang Ibunda. Bundanya berusaha agar Astuti mempertimbangkan lamaran itu. "Aku tahu Nduk, jiwamu hampa, Bunda tidak rela kau mondar mandir ke Solo mengejar impianmu yang tidak mungkin akan menjadi kenyataan. Satria itu sudah jadi milik orang lain” Bunda berulang selalu mengingatkan nya untuk melupakan mas Satria.

Sang Bunda begitu paham, akan perangai Astuti. Buah hatinya yang pendiriannya labil, mudah terpengaruh, angin-anginan, dan  mudah rapuh. Kadang ceria, tapi dalam hitungan menit bisa langsung uring-uringan tanpa sebab. Dalam kacamata Bundanya Astuti memendam luka dalam jiwanya. Itu lah sebabnya ketika ia secara tidak sadar pernah cerita tentang Pak Ardini yang sibuk, yang meminta Astuti mengajar di sekolah yang dia pimpin, dan kepribadian Pak Ardani yang  dianggap galak oleh Astuti, dijadikan alasan  Sang Bunda  untuk menemui Pak Ardani dan memintanya membimbing Astuti.

Berdasar sebuah kepercayaan dari Sang Bunda terhadap Pak Ardani, mungkin alasan itu juga yang dijadikan referensi Pak Ardani meminang nya. Sama sama berasal dari Solo, sedang patah hati dan mungkin juga merasa kasihan karena Astuti sudah berumur 25 tahun dan belum menikah. Padahal mereka terpaut usia 10 tahun.

Sang Bunda setuju dengan usul Pak Ardani untuk memperkenalkan anak anaknya kepada Astuti. Astuti sendiri mengiyakan dengan separuh hati. "Pokoknya jangan salahkan aku bila aku tidak bisa menerima mereka, atau aku tidak suka dengan Pak Ardani, seandainya hatiku tetap menolak, tolong jangan paksa aku” Itu ultimatum yang disampaikan  Astuti di depan Sang Bunda sebagai jawaban dari usul Pak Ardani.

Ada debar di antara kepulan udara di hari minggu itu. Sebuah cerita pertemuan antara Astuti dengan anak-anak Pak Ardani tersaji dalam secangkir bahagia. Sang Waktu kemudian tiba,  di minggu pagi datanglah Pak Ardani dengan kedua anak lelakinya, yang sulung berusia 7 tahun, dan adiknya 4 tahun. Ketika itu Astuti menyalami mereka dan menatap pandangannya, momen itu menjadi kenangan paling epik, hati Astuti bergetar bukan rasa benci yang timbul, takut atau marah, tapi sebuah rasa terketuk "Anak sekecil itu sudah kehilangan ibu” Batinnya bicara.

Di pertemuan pertama itu, mereka pergi ke Monas, menikmati udara pagi yang segar, mereka berlarian dan sibuk dengan mainannya. Sedang Astuti dan Pak Ardani membuka pembicaraan yang awalnya sangat kaku, bagaikan atasan dan anak buah. Sikap dan gayanya yang biasa dilihat di sekolah tidak tampak sama sekali. "Orang ini punya kepribadian ganda rupanya". Dia bisa tertawa lepas, bergurau dan begitu over protect terhadap Astuti dan anak anaknya.

Sejak perkenalan itu, mereka sering menghabiskan hari libur bersama, bisa ke Ancol, Kebun Binatang, atau ke tempat rekreasi lain untuk pendekatan yang lebih akrab diantara mereka. Kadang mereka juga mengunjungi si bungsu yang masih dititipkan di rumah Tantenya Pak Ardani. Maklum masih bayi,  tidak mungkin Pak Ardani yang super sibuk merawatnya. 

Sang Bayi itu sempat dititipkan di Rumah Sakit selama 2 bulan sebelum sampai akhirnya diputuskan untuk sementara dirawat oleh Tante Asih. Hmm bayi mungil yang lucu dengan mata lebar seperti mata BJ Habibie, dan mulutnya yang munggil membuat Astuti terenyuh melihatnya. Astuti seperti terjerat lebih lekat bak seekor lebah yabg mengisap kuntum bunga. Betapa ia jatuh cinta dengan bayi mungil itu. 

Seharusnya dia ada dalam pelukan hangat seorang ibu yang menjaganya sepenuh hati. Nyatanya sang Ibu pergi selamanya setelah jihad melawan maut dua hari setelah dia dilahirkan secara Caesar.

Berita Pak Ardani yang melamar Astuti jadi bahan pembicaraan di sekolah. Berbagai komentar pasti ada, berupa menanyakan langsung ke Pak Ardani dan Astuti, atau mereka membuat opini sendiri tentang berita lamaran itu. Selalu saja ada like dan dislike. Hal ini juga yang membuat mereka mempercepat pernikahan  mereka. Tadi nya sang Bunda menyarankan agar mereka bertunangan dulu, lebih mengenal satu dan yang lainnya terutama untuk bisa beradaptasi sama anak anak.

Demi menghindari fitnah, apalagi status Pak Ardani yang duda, akhirnya pernikahan itu dipercepat. Karena Astuti anak sulung dan Bundanya merasa ini pertama kali dia punya hajat, jadi walau waktunya singkat, Bundanya tetap menyiapkan yang terbaik menurut ukurannya. 

Hari bahagia itu kemudian tiba, kecemasan yang tadinya melahirkan pertanyaan seribu, kini dipertegas dengan tetes-tetes madu. Hampir semua family dari Solo diundang, Rias pengantin pun disiapkan dari Solo. Pesta pernikahan itu berlangsung dua hari. Ibundanya  mengelompokkan para tamu menjadi 3 bagian, karena kalau dijadikan satu tidak cukup tempatnya. Maklum mereka mengadakan pesta itu di rumah dengan meminjam halaman Pak Haji Ali.

Sebuah tradisi hajatan di betawi adalah mengundang (nanggap) Orkes Melayu atau film layar tancep. Mereka juga dulu pernah nanggap orkes melayu, ketika adik Astuti khitanan. Nanggap orkes melayu resikonya cukup tinggi, kadang dibarengi dengan perkelahian, adanya ajang judi dan memicu anak muda berjoged sambil minum bir dan minuman keras lainnya. Selain itu melibatkan orang banyak dan sangat melelahkan. Atas hal itu  Bundanya kemudian menjadi jera, tidak ingin nanggap orkes lagi di acara pesta pernikahan Astuti. Walau pun banyak tetangga mereka yang menyarakan untuk nanggap orkes lagi seperti waktu adiknya di khitan.

Momen paling indah dalam etalase hati Astuti adalah Prosesi akad nikah yang dilaksanakan pada pagi hari tepat jam 8. Sebuah momen yang sangat menyentuh hati Astuti, peristiwa paling mengharukan baginya. Proses dimana ia melepas masa lajang. Dan ia serahkan hidupnya kepada seorang duda beranak tiga yang tidak ia cintai. Kala itu, Astuti memohon doa restu kepada ayah kandungnya yaitu Pak Susilo, Pak Atmaja ayah tirinya dan Bunda, juga kedua mertuanya. 

Riak air mata berjatuhan tanpa ia rasa, akhirnya Astuti melihat sosok terbaik yang akan mendampinginya, memakaikan cincin di jemarinya, mencium keningnya, dan bersanding bahagia seperti luncuran emoji pada layar Hp. Astuti menangis, semua tingkah laku dan perilaku buruk yang pernah  ia alami ketika masih anak sampai lulus kuliah, terbayang di wajahnya. Mampu kah ia mendidik anak anaknya dengan baik, sanggupkah ia menjalani hidup sebagai ibu tiri dengan tiga anak yang masih kecil kecil. Astuti yang kemaren masih semaunya sendiri dan tidak punya tanggungjawab,  mulai saat ini sudah menjadi istri sekaligus jadi seorang ibu. Menikah dengan Pak Ardani, bak mendapatkan sebuah dorprize 'Beli satu dapat tiga' tentu menuntut Astuti agar punya kebesaran hati yang ekstra.

Sang Bunda ingin pesta pernikahan itu meriah dan terlihat sakral. Apalagi Bunda merasa sebagai orang Solo yang punya adat istiadat ketika menikahkan anak, Bundanya ingin memakai adat itu. Maka di hari itu bundanya menjadikan Astuti sebagai ratu yang dipajang di singgasana pelaminan. Ia kemudian menerima ucapan selamat dari orang sekampung yang diundang ibundanya. Hampir semua orang kampung dari sepuluh RT diundang Bundanya. Karena jam undangan  tidak dibatasi, para tamu datang se-sempatnya, ada yang siang, sore bahkan malam. Tinggal Astuti dan Mas Ardani yang kelelahan karena terus duduk dan berdiri  menerima ucapan selamat dari orang se-kampung selama seharian.

Hari minggu pesta masih dilanjutkan. Sang Bunda menerima tamu yang diistilahkan yang berdomisili agak jauh, teman, kerabat, family, dan pasien baru mau pun pasien yang baru. Ditambah kolega Bunda yang di Pasar minggu, Jatinegara, dan juga Klender. Bunda ingin melwujudkan rasa syukurnya bahwa tugas sebagai orangtua menikahkan anak bisa dilaksanakan. 

Sementara gawai bahagia sedang berpesta pora, Astuti dan Mas Ardani nampak menawan dengan memakai pakaian adat dari Solo. Sebuah kebaya hitam dengan wajah dipaes tata rambut di konde lalu dihiasi bunga melati, dan cunduk mentul di riasan kepala Astutu. Astuti terlihat manglingi. Karena ia tidak terbiasa dandan. Di hari itu ia merasa jadi Ratu paling sempura yang disalami setiap tamu yang datang.

Prosesi adat istiadat di pesta pernikahan itu, mereka laksanakan dengan utuh mulai dari pasrah temanten, lempar lemparan sirih, nginjak telur, sungkeman, kacar kucur dan juga ular ular. Semua berjalan hidmat, bagi tamu yang bukan orang jawa dan belum pernah menghadiri acara seperti itu, tentu bisa dijadikan pengalaman bagi mereka. Apalagi mereka juga menyajikan hiburan di panggung berupa tari srimpi dan jaipong, sedang tari gamyong digelar di hadapan para tamu. Singkat kata, pesta pernikahan Astuti dan Mas Ardani cukup meriah.

Ada hal yang paling  ia ingat dalam acara itu. Sebelum Astuti dirias, anaknya yang nomer dua mogok tidak mau mandi, dia minta diajak jalan jalan beli bubur ayam di taman yang pernah mereka kunjungi sebelumnya. Padahal Astuti harus segera dirias. Demi menuruti kemauan anaknya,  terpaksa  Astuti sempatkan waktu menuruti apa yang diminta. Sehingga  sebagian orang yang mengenangnya menegur, "Lho kok penganten nya masih jalan jalan? Kapan dirias nya?” Astuti hanya tersenyum dan menjawab, "Iya nich si Dede mau makan bubur ayam disuapin ibunya.

Kebetulan di taman itu ada penjual ikan hias dan kura kura. Setelah Astuti dan Mas Ardani membelikan kura kura, mereka membujuknya untuk pulang. Dan akhirnya kedua anak itu mau pulang, didandani memakai beskap dan blangkon, berjalan di depan sang pengantin sambil senyam-senyum. Astuti juga mendengar bisik bisik para tamu ketika mereka berjalan menuju ke pelaminan:” Itu lho kedua anak Pak Ardani, lucu ya dengan beskap dan blangkon nya.” Astuti sesekali tersenyum memandang para tamu yang berdiri menghormati mereka menuju ke pelaminan.

Ada episode menggelitik dalam benak Astuti. Sebuah momen dimana sebagai momen terindah dalam hidupnya. Momen paling mendebarkan  dalam hatinya. Sebuah momen malam pertama, tidak seru untuk diceritakan, tapi sangat lucu kalau ingat. Kamar mereka hanya bersebelahan yang bisa dihubungkan dengan pintu terusan. Sehingga mereka  bisa dengan cepat sesekali melihat mereka. Anaknya yang berumur 4 tahun masih minum susu di botol. Dalam satu malam bisa 3 kali. Jadi tidak heran ketika Astuti akan melaksanakan kewajiban, anak nya berteriak meminta susu.

Di awal pernikahan mereka  jelas banyak kendala, sesekali tanpa sengaja Suaminya mengucap nama almarhumah istri pertamanya, begitu juga dengan anak-anak Pak Ardani. Sebenarnya mereka tidak sengaja dan tidak bermaksud menyinggung perasaan Astuti, tapi kadang Astuti yang merasa dibandingkan. Dan ia tersinggung. Contohnya ketika mereka makan di suatu Rumah Makan favorit mereka. Secara tidak sadar anak anaknya ingat ibunya dan menyebutnya "Ibu paling suka cah kangkung ya" Celetuk  si sulung.

Untuk menghapus bayang bayang ibu mereka yang sudah tidak ada, Astuti ingin suasana lain. Akhirnya Astuti memutuskan  untuk tinggal jadi satu di rumah Bunda. Begitu juga pengasuh yang biasa mengasuh anak anak, mereka secara hormat memberinya uang pesangon agar tidak bekerja lagi, dengan alasan di rumahnya sudah ada 2 orang pembantu. Dengan pembagian kerja satu untuk mengasuh anak anak yang satu lagi membantu serabutan, ya masak, bersih-bersih termasuk cuci dan setrika.

Padahal secara tidak langsung, Astuti tidak mau dibandingkan, dan takut pengasuh anak anak itu, mempengaruhi mereka ketika ia memberi pendidikan dan kasih sayang pada mereka. Astuti lebih nyaman kalau Bunda juga ikut mengawasi anak anak, soal makannya, kesehatannya, dan mainannya. Mengingat ia dan Pak Ardani sibuk mengajar di sekolah.

Di sela sela Astuti mengurus rumah tangganya yang baru, kariernya di sekolah juga baik. Astutu mendapat beasiswa sekolah di Australia, sejenis short couse yang menunjang profesinya sebagai guru SMEA. Sayang, dengan berbagai pertimbangan Pak Ardani tidak mengijinkannya. Alasan utama adalah anak anak masih sangat membutuhkan kehadiran Astuti setiap hari, termasuk bimbingan dan kasih sayangnya. Astuti pun mengalah dan patuh  apa kata suami.

Pertemuan Astuti dengan anak anak dari segi kuantitas memang kurang, tapi Astuti usahakan agar mereka mendapat kasih dengan kualitas yang baik. Mereka usahakan, bisa mengontrol tugas tugas sekolah dan PR mereka, memenuhi kebutuhannya dengan baik. Terutama gizi, dan pendidikan mereka. Sering mereka pergi ke toko buku, membiarkan mereka memilih buku atau mainan yang mereka sukai. Astuti bahagia bisa memenuhi kemauan anak anaknya.

Hidup di Jakarta penuh dengan kemacetan, mobilitas tinggi, ditambah kegiatan sehari hari yang cukup padat membuat Astutu harus pandai mengatur waktu agar tidak stress. Bisa meluangkan waktu di hari libur dengan pergi mengunjungi family, atau hanya sekedar ke Toko Serba Ada sekedar menghilangkan kejenuhannya. Kadang di hari minggu juga banyak undangan yang harus mereka hadiri.Jadi mereka harus pandai memanfaatkan waktu, kapan untuk kerja, keluarga dan social.

Alhamdulillah ada Bunda Astuti yang bisa mengawasi anak anak, dan anak anaknya juga mendapat perhatian dari pengasuh yang cukup cekatan dan setia. Mereka mulai bisa menerima Astuti sebagai ibunya. Perlahan tapi pasti, Astuti bisa menggantikan sosok ibunya, walau tidak seratus persen. Sang Bunda menyarankan agar Astuti KB dulu, tidak perlu tergesa gesa punya momongan. Anak anak dari suaminya masih perlu perhatian penuh dari seorang ibu.

Astuti tidak rutin meminum pil KB, sehingga ia telat Haid, dan ketika tes urine, positif hamil. Anak anak mendengar mau mendapat adik lagi sangat gembira. Apalagi ketika suaminya menebak dan sangat berharap mendapat bayik perempuan. Maklum ketiga anak Pak Ardani yang ada cowok semua. Sang Bunda pun tak kalah gembira. Sebentar lagi dia akan punya cucu. Cucu yang mengalir darah keturunannya.

Layaknya wanita yang baru pertama kali hamil, Bundanya juga menyiapkan ritual tujuh bulanan. Ritual yang sesungguhnya dalam Agama Islam tidak ada tuntunannya karena, Ruh ditiupkan ke janin ketika usia kandungan 4 bulan. Acara Tingkepan atau tujuh bulanan lebih pada mengikuti tradisi yang biasa dilakukan oleh para orangtua jaman dulu.

Mandi dari air tujuh sumber, berganti baju sebanyak tujuh kali dengan tujuh macam kebaya dan kain, memecah kelapa cengkir untuk memprediksi bayinya nanti laki laki atau perempuan, belum lagi makanan yang dibagikan ke para tetangga berupa Nasi punar yang diwadahi piring dari tanah liat, dihiasi janur lengkap dengan lauk tujuh macam, masih ditambah rujak.

Berharap proses melahirkannya mudah, dan bayinya tumbuh sehat,  tidak ngiler atau ngeces bila sudah di luar kandungan. Ritual itu ia jalani, menuruti kemauan orangtua tidak ada salahnya. Astuti pun semakin rajin control ke dokter, ketika hamil muda cukup sekali dalam sebulan, tapi memasuki usia janin tujuh bulan control menjadi di dua kali dalam sebulan.

Dokter mengatakan bayi Astuti tumbuh sehat. Waktu itu masih sedikit dokter yang melengkapi ruang prakteknya dengan USG, jadi belum bisa diprediksi, bayinya kelak, laki-laki atau perempuan. Astuti sendiri tak masalah cowok atau cewek yang penting lahir dengan mudah serta ia dan bayinya sehat. Menginjak usia kandungan bulan ke delapan ia belum cuti, rencana cuti baru  diambilnya seminggu sebelum melahirkan, jadi Astuti punya waktu agak lama menyusui bayinya.

Ketika Astuti hamil tua, anak Pak Ardani yang terakhir baru berusaha 2 tahun. Sebenarnya Astuti ingin membawanya kumpul bersamanya.  Pak Ardani tidak ingin berpisah dengan anaknya yang lain. Tak ingin anaknya kelak protes 'Mengapa aku dititipkan ke Eyang sedang kakak kakaknya tidak'. Jadi dalam keadaan hamil tua Astuti mengurus Aji anak bungsu Pak Ardani yang baru  di ambil dari rumah Eyangnya.

Perlu adaptasi untuk anak sekecil itu. Dia belum terbiasa tidur dengannya atau ayahnya. Kadang di malam hari Astuti bergantian dengan Pak Ardani menggendongnya sampai dia terlelap. Sesekali dia terbangun maka dia akan menunjuk arah pintu, seakan mengatakan 'Aku mau ke rumah Eyang'. Saat-saat seperti itu bukan hal yang menyenangkan. Astuti harus bisa mengambil hatinya. Padahal ia sendiri sedang berbadan dua dan sangat ingin dimanja.

Sepulang dari sekolah, Astuti merasa ada yang janggal dengan kandunganku “Bunda dari tadi aku tidak merasakan gerakan di dalam perutku, Jangan jangan aku mau melahirkan Bun..” Astuti lapor ke Bunda tentang perutnya yang dirasa tidak seperti biasa. Bunda memberi saran kepadanya untuk segera pergi ke Bidan yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Bidan itu pun memeriksa kandungannya, dengan alat sederhana yang seperti corong dan ditempelkan di telinganya.

“Ah tidak apa apa. Detak jantungnya lemah, malah kelihatannya sudah masuk panggul bagian kepalanya”. Istilahnya sudah mapan. Astuti pun kembali ke rumah dan mengatakan pada Bunda kalau semua baik baik saja. Tapi perasaannya tidak enak. Biasanya bayi dalam perutnya hampir setiap 15 menit ya nendang, nyikut, atau mungkin senang erobik, saat itu ia tak merasakan apa apa, dan dia tenang tenang saja. Sang Bunda datang dan mengelus perutku. "Yuk nduk, kita ke dokter saja Bunda curiga ada sesuatu yang tidak beres”.

Astuti pun diantar Bunda dan adiknya yang waktu itu sudah coas di  salah satu rumah sakit. Dengan alat yang lebih canggih, Dokter memeriksa detak jantung bayinya. Adik Astuti dan Bunda langsung tegang, karena dia tahu apa yang terjadi. Tanpa mendahului kehendak Allah mereka tahu bahwa janinnya sudah tidak bernyawa. Tidak terdengar sama sekali detak jantungnya.

Perlahan, sang bunda menjelaskan apa yang terjadi. Jadi sudah dua hari Astuti menggendong bayinya yang sudah tak bernyawa, betapa bodohnya ia. Astuti pun mengingat bersebab apa hal itu bisa terjadi? Dokter mengatakan, bisa dikarenakan kaget, atau memang janinnya yang lemah. Akhirnya, Astuti teringat kejadian beberapa hari yang lalu selain ia ikut menggendong Aji di malam hari, ia pulang sekolah naik metro mini dan duduk di bagian belakang, ketika tiba tiba metro mini itu melewati polisi tidur yang cukup tinggi, sedang kecepatannya tidak dikurangi, Astuti hampir terjatuh. Untung  Astuti segera memegang salah satu penumpang yang berdiri di depannya.

Dokter memutuskan Astuti harus dirawat, bayi itu harus segera dilahirkan kalau tidak nyawanya ikut terancam, si bayik bisa keracunan air ketuban. Akhirnya Astuti diberi pencahar agar bisa BAB sehingga perutnya bersih dari kotoran. Kemudian atas perintah dokter, perawat pun memberi suntikan yang gunanya untuk memacu agar otot perutnya kotraksi dan ada pembukaan untuk jalan lahir.

Itu adalah kali pertama Astiti merasakan mulas yang luar biasa. Ini adalah pengaruh suntikan yang digunakan untuk memacu agar terjadi kontraksi dan bayi bisa lahir normal. Hampir 6 jam ia menahan mulas yang berkepanjangan. Dokter belum datang padahal ia sudah tidak tahan, Astuti ingin menyelesaikan tugas ini secepatnya. Tapi justru perawat melarangnya untuk mengejan. "Tunggu dokter ya Bu, nanti robeknya tidak beraturan”. Jelas seorang perawat.

Dengan langkah gusar Dokter pun datang tergopoh gopoh, maklum dia terjebak macet. Dia memakai perlengkapannya menyemprot sesuatu di pintu keluar itu dan mengguntingnya. Setelah itu Astuti diminta menekuk kakinya dan mengejan sambil ambi nafas. Astuti berharap akan mendengar suara tangisan yang keras dari pintu lahir itu seperti yang pernah ia lihat ketika menonton film proses melahirkan dari pendidikan sex yang pernah diajarkan.

Ternyata itu hanya halusinasi. Bayinya diam membisu berwarna kebiruan dengan berat 2,3 kg. Perasaan Astuti begitu hancur, raganya dipeluk kehampaan. Astuti baru saja kehilangan bayi yang ia harapkan bisa menjaganya di hari tua. Sosok mungil itu kemudian disucikan, dikafani, dan dimakamkan layaknya orang meninggal. Pak Ardani memberinya nama Muhammad Wukir Abadi. 

Kondisi tubuh Astuti  setelah melahirkan cukup fit, jadi ia tinggal di Rumah Sakit Bersalin hanya 3 hari. Astuti sempat merasakan panas dingin, karena air susunya  keluar deras padahal tidak ada yang membutuhkan. Akhirnya Dokter memberi obat yang menghilangkan rasa panas dingin juga obat agar asinya tidak berproduksi.

Semakin ia menunjukan kepasrahan, semakin ia merasakan perpisahan. Hingga pada akhirnya Astuti dan Pak Ardani berusaha dengan ikhlas menerima kehilangan itu. Semua milik Allah maka akan kembali kepadaNya. Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk Astuti dan keluarga. Astuti jadi lebih banyak pehatian kepada Aji. Mengantar Aji sekolah di play grup yang cukup bergengsi pada waktu itu. Aji juga yang bisa menghibur kesedihannya bila ia teringat bayinya yang tiada dan belum sempat digendong dan disusui.

Belum genap lima bulan pasca melahirkan, ternyata  Astuti dititipkan bakal bayi lagi dalam rahimnya. Sebenarnya dokter melarang ia hamil sampai enam bulan pasca melahirkan dengan alasan rahimnya belum pulih. Tapi ia sudah terlanjur telat 3 minggu. Sehingga dokter berusaha mempertahankan janin itu dengan memberi obat penguat rahim, dan beraneka macam vitamin agar Astuti dan calon bayinya sehat. Astuti diminta tidak terlalu memaksa diri untuk bekerja keras terutama mengangkat benda berat.

Astuti rajin kontrol ke dokter. Karena ia punya asuransi kesehatan yang bisa  digunakan, jadi ia bisa memilih dokter yang bagus yang bisa ditanggung asuransi. Astuti lebih suka control ke rumah sakit negeri yang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggalnya. Sampai menginjak usia kehamilan enam bulan lebih. Pada pemeriksaan terakhir, Dokter melakukan USG di perut Astuti. Dokter menerangkan bahwa posisi janinnya sungsang. Beratnya kurang lebih sudah 1,3 kg. 

Sang Dokter kemudian menyarankan agar Astuti melalukan senam hamil. Maka, pada hari itu juga hamil, ia ikut senam hamil. Berharap bayinya kembali ke posisi normal. Selesai senam ia pun pulang. Jakarta adalah kota macet, kalau ia naik taxi terasa kemahalan, sedang kalau ia naik bus terasa  kelamaan.  Astuti memilih naik bajaj agak ringan sedikit dan bisa cepat. Kebetulan ia sendirian. Sang Bunda atau Pak Ardani tidak bisa mengantar. Bajaj pun melaju sesuai dengan maunya. Hingga Astuti pun  cepat sampai di rumah.

Seperti biasa ia pergi ke kamar mandi untuk pipis, cuci kaki, wudhu berniat sholat dzuhur yang hampir habis waktunya. Belum sempat berwudhu, Astuti merasakan ada keanehan di alat vitalnya, sepertinya ada sesuatu yang basah dan amat mengganggu. Astuti langsung berlari dan menunjukkan tangannya yang terkena benda cair itu. Lagi lagi Bunda yang panic. Justru dia yang masuk kamar mandi dan diare.

Setelah itu, Bundanya langsung mengajak ia berkemas dan segera kembali ke rumah sakit. “Itu namanya slem, kalau Bunda berharap rahimmu kuat. Dan tidak terjadi kontraksi lagi.” Dengan tenang Bunda menjelaskan padanya. Padahal ia tahu dari wajahnya  kalau dia menyembunyikan kepanikan itu. Astuti berusaha menghubungi suaminya   ia minta Pak Ardani  untuk langsung menyusul ke rumah sakit.

Astuti merasakan kontraksi itu semakin kuat. Astuti pun langsung ditempatkan di ruang kebidanan. Ia segera ditangani, diinfus dan diberi obat penguat rahim. Supaya kontraksi berhenti dan ia harus istirahat total. Menjelang magrib disaat pergantian bidan dan suster jaga. Kontraksi di perutnya semakin sering. Malah terjadi pembukaan yang lebih lebar. Akhirnya ia dibawa ke ruang bersalin. Setelah itu mereka sibuk serah terima tugas dan lain lainnya. Astuti dibiarkan sendirian di ruang bersalin. Astuti sungguh tak tahan,  ia miringkan badannya sambil memanggil suster, dan mengejan, bayinya lahir kaki duluan persis seperti kaki kelinci.

Perawat dan bidan masuk lalu membantu proses kelahiran itu, air ketuban muncrat dengan kerasnya menyiram wajah bidan yang sedang menangani proses kelahiran itu. "Maaf suster, maaf, aku sudah tidak tahan” ucapnya perlahan sambil menahan rasa sakit, Astuti pun mendengar suara bayinya lirih dan kaki sebelah kirinya biru, bayi mungil yang penuh dengan bulu kalong. Alhamdulillah bayinya laki laki, ia berharap dia sehat.

Ternyata kondisinya sangat lemah. Bayinya harus masuk incubator agar tidak kedinginan. Kata Dokter pernafasannya belum kuat. Bayik Astutu dibantu dengan slang oksigen untuk bernafas. Suaminya tenang saja menghadapi situasi seperi ini. Sedang Bunda dan Adiknya cukup sibuk. Mereka lebih tahu kemungkinan apa saja yang akan terjadi walau itu tidak diharapkan.

Astuti menangis ketika melihat pasien lain yang sekamar  menyusui bayinya yang lahir sehat. Astuti juga membayangkan sebentar lagi bayinya datang dan ia siap menyusuinya. Satu jam, setengah hari, sampai esoknya, bayinya tidak diantar ke ruangan itu. Sedang, Astuti sudah panas dingin dengan payudara bengkak yang berisi asi.

“Maaf Bu bayinya belum bisa minum asi, ini kami bantu dengan susu formula dulu sedikit demi sedikit” Perawat memberi pengertian padanya.  Pagi dan sore ia hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Setelah itu, Astuti kembali lagi ke kamar dimana ia dirawat. Seminggu perawatan ia bertahan di Rumah Sakit demi menunggu kesembuhan bayinya. Adiknya membelikan ia buku "Cara merawat bayi premature” Karena banyak juga bayi yang dilahirkan premature, bisa bertahan dan hidup sehat hingga tua.

Akhirnya dokter memutuskan Astuti boleh pulang dengan catatan bayinya tetap dirawat di rumah sakit. Astuti pulang tanpa menggendong bayi untuk yang kedua kalinya. Tiap hari ia hanya memantau keadaan bayinya lewat telpon. Kebetulan Kakak  tiriku, anak Pak Atmaja yang nomer tiga dinas di rumah sakit itu. Dua minggu pasca ia melahirkan berita buruk itu datang, Bayinya baru saja diberi obat yang paling ampuh untuk paru parunya. Kalau dia kuat, dia akan sembuh dan bertahan hidup. Kemungkinannya fifty fifty. Dan Qadarullah ternyata bayinya tidak kuat. Dia harus pergi untuk selamanya. Selamat tinggal sayang. “Kelak jemput ibu di pintu surga ya’ dadaku sesak tak kuat menahan rasa pilu di hatiku. Aku belum diberi kepercayaan untuk menerima amanahMu. Pak Ardani sempat memberinya nama Alit Kartika Bintara.

Rasa kehilangan membuat Astuti begitu murung. Tapi ia juga sadar bahwa ia tidak boleh larut dalam kesedihan, Astuti punya tanggungjawab dan tugas sebagai seorang istri dan ibu dari ketiga anak tirinya. Mereka juga amanah dari Allah yang harus dibimbing dan disayang sepenuh hati. Mereka butuh kasih sayang dan perhatian Astuti.

Merasakan kelucuan, kenakalan, dan celoteh anak anak, kadang menyebalkan, kadang juga menyenangkan. Banyak perbedaan yang diamati ketika Astuti kecil dulu dengan keadaan anak anaknya saat itu.Jaman ia masih kecil segala sesuatu harus disiplin dan tegas. Pola mendidik seperti yang diberikan Bunda padanya dan adik adik tidak bisa ia praktekkan di kehidupan keluarganya sekarang. Mereka sudah membawa latar belakang yang berbeda. Astuti tidak bisa memaksakan kehendaknya, sesuai dengan yang ia mau.

Pak Ardani biasa menuruti apa yang diminta anak-anak, sedang Astuti maunya segala sesuatu tidak serba instant, anak perlu diajak bicara dan mengerti keadaan orangtuanya. Contoh masalah makanan,  Pak Ardani puas bila melihat anaknya lahap memakan makanan yang mereka suka tanpa aturan, dan cenderung berlebihan. Sedang,   Astuti ingin segala sesuatu tidak perlu berlebihan, dan bisa diatur dengan baik. Masih ada waktu tidak harus habis seketika. Kalau makan alangkah baiknya bila berbagi. Jangan sampai yang satu makan berlebihan sedang yang lain tidak ikut menikmati.

Latar belakang mereka begitu berbeda. Astuti punya adik dan biasa berbagi, hidup dalam pendidikan yang semi otoriter. Sang Bunda yang penuh dengan aturan dan sebagai anak harus patuh. Sedang suaminya anak tunggal. Sejak Kelas 6 SD sudah dititipkan familinya yang di Solo. Biasa memutuskan apa saja sendiri. Tidak punya saudara kandung. Kadang kesepian. Kadang egois. Apa yang dia punya dengan sesukanya dia yang atur.

Begitu juga waktu kuliah, suaminya tinggal di rumah Tantenya yang cukup berada. Makanan berlimpah. Dia bisa makan kapan dia mau tanpa aturan. Kebiasaan itu pula yang ikut melatarbelakangi sifat dan sikap Pak Ardani dalam mendidik anak.

Punya anak balita dan masih sekolah di SD, memang melelahkan. Itulah proses kehidupan. Kadang Astuti diuji ketika mereka sakit. Dan masing masing anak kadang punya kelemahan tersendiri.  Si sulung punya alergi ikan padahal Pak Ardani senang mengkonsumsi ikan, Astuti tidak tega kalau dia melihat ayahnya makan padahal dia dilarang makan.

Si anak nomer dua yaitu Wahyu sering sekali batuk, pilek dan panas, lalu dibarengi tenggorokannya radang. Ternyata amandelnya mengganggu karena sering radang. Jadi mereka memutuskan meminta dokter untuk mengoperasinya. Sedang Si Aji bermasalah dengan pencernaannya. Dia sering diare, keluar rumah, membonceng ayahnya naik motor tanpa jaket. Jadi dia akan masuk angin dan yang diserang adalah perutnya.

Tiap bulan Astuti dan Pak Ardani selalu bergantian  apel ke dokter. Ada hal yang Astuti tak sukai dari Pak Ardani  yaitu rasa kurang sabar ketika berobat. Ketika sudah pergi ke dokter, baru diminum dua kali, maunya langsung sembuh. Kalau belum sembuh dia akan panic dan berganti dokter. Itulah hal yang tak disukai Astuti, kadang Pak Ardani juga “dokter spesialis minded.”Jadi anak anak terbiasa dengan obat paten yang notabene harganya lebih mahal dibanding obat generik. Hal hal kecil ini yang sering membuat mereka jadi ribut.

Sebenarnya  setiap keluarga punya skala prioritas dalam kehidupan rumah tangganya. Ada yang mengutamakan tempat tinggal, gengsi, kesehatan dan kenyamanan atau bisa juga pendidikan. Masalah ini juga yang kadang tidak sepaham sehingga Astuti dan Pak Ardani sering berdebat. Walau pada ujung ujungnya ia yang mengalah. Karena biar bagaimana pun suami adalah kepala keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kata Pengantar Buku Tarian Aksara Penuh Makna

Dahulu aku sering bertanya sendiri; kalau puisi itu berwujud, akan seperti apakah dia? Matahari? Bulan? Bintang? Gunung? Laut? Bertahun lalu...