Senin, 07 November 2022

November

Aku mengenalmu di pucuk November yang kaku menuju November yang Sakral 

Pesona mu bak atmosfer tanpa ozon, menyengat rasa, mengoleksi getaran yang bermakna cinta 

Kau tahu? Setelah pertemuan itu aku tak bisa tidur, bukan perih yang tertinggal di nadi, tapi urat rasa yang terbenam di hati

Ada candu setelah temu, hingga semesta pun mengantar senyawa menjadi reaksi bernada asmara

Ada kancing rindu yang meluap di ujung temu, rindu itu pasrah dalam pori-pori keresahan 

Aku tak bisa mengais lupa, bagaimana pun bayangmu adalah tempat 'ku berpulang dari rindu yang lupa berteduh 

Engkau adalah rupa sejarah yang aku kenang saat para mimpi perlahan memudar 

Dengan mu  jatuh cinta adalah sebait rasa syukur dalam nada Alhamdulilah 

Keadaanku bak pijar bintang yang ingin memetik do'a-do'a di pelataran logika. Akankah aku mampu meraih mu?

Aku selalu menyeru mu dalam maya, merupa wajah dalam do'a dan Bismillah, meraih mu dalam tasbih yang lirih, agar hadir sebuah rasa semudah klik dan emoji.

Sayangnya, kita hanya tersatukan oleh pijakan bumi, dan saling bercabang di ujung mimpi. 

Dinding hatimu terlampau dingin, hingga rasaku terbunuh pelan-pelan. Bilah waktu semakin menikam, menikam rasa agar saling melenyapkan. 

Demi detik yang bergelantungan di pojok harapan, rasa itu kemudian ku musnahkan karena pahit di kerongkongan. 

Hati pun harus terbiasa melawan arus rindu yang kerap menyakiti. Karena kita senada tapi tak sejati.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kata Pengantar Buku Tarian Aksara Penuh Makna

Dahulu aku sering bertanya sendiri; kalau puisi itu berwujud, akan seperti apakah dia? Matahari? Bulan? Bintang? Gunung? Laut? Bertahun lalu...