Aku mengenalmu di pucuk November yang kaku menuju November yang Sakral
Pesona mu bak atmosfer tanpa ozon, menyengat rasa, mengoleksi getaran yang bermakna cinta
Kau tahu? Setelah pertemuan itu aku tak bisa tidur, bukan perih yang tertinggal di nadi, tapi urat rasa yang terbenam di hati
Ada candu setelah temu, hingga semesta pun mengantar senyawa menjadi reaksi bernada asmara
Ada kancing rindu yang meluap di ujung temu, rindu itu pasrah dalam pori-pori keresahan
Aku tak bisa mengais lupa, bagaimana pun bayangmu adalah tempat 'ku berpulang dari rindu yang lupa berteduh
Engkau adalah rupa sejarah yang aku kenang saat para mimpi perlahan memudar
Dengan mu jatuh cinta adalah sebait rasa syukur dalam nada Alhamdulilah
Keadaanku bak pijar bintang yang ingin memetik do'a-do'a di pelataran logika. Akankah aku mampu meraih mu?
Aku selalu menyeru mu dalam maya, merupa wajah dalam do'a dan Bismillah, meraih mu dalam tasbih yang lirih, agar hadir sebuah rasa semudah klik dan emoji.
Sayangnya, kita hanya tersatukan oleh pijakan bumi, dan saling bercabang di ujung mimpi.
Dinding hatimu terlampau dingin, hingga rasaku terbunuh pelan-pelan. Bilah waktu semakin menikam, menikam rasa agar saling melenyapkan.
Demi detik yang bergelantungan di pojok harapan, rasa itu kemudian ku musnahkan karena pahit di kerongkongan.
Hati pun harus terbiasa melawan arus rindu yang kerap menyakiti. Karena kita senada tapi tak sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar