Hijrah Menjadi Ibu Tiri di Desa
“Dan barang siapa berhijrah di jalan Allah. Niscaya mereka akan mendapat di bumi ini tempat hijrah yang luas dan rejeki yang banyak…..(QS.An-Nisa 4:100)
Setiap hidup pasti pernah memiliki kisah yang acap kali mendewasakan hati. Seperti segelas kopi tanpa gula, kadang pahit tapi perlu dinikmati. Semakin kita menikmati semakin kita faham tentang garis Tuhan untuk kita.
Astuti menapaki suatu episode dimana Ibu mertuanya kerap sakit. Pak Ardani sering dapat telegram atau telpon di sekolah yang mengabarkan bahwa Ibu sedang sakit. Bila kabar tentang sakitnya Ibu datang, Pak. Ardani bingung, pikirannya bercabang. Maklum dia anak tunggal. Tanggungjawab penuh kedua orangtuanya yang sudah uzur ada di pundaknya.
Terpaksa dia pamit meninggalkan tugasnya untuk menengok iIbunya di Desa. Dalam 3 bulan, Pak Ardani sudah 2 kali pamit untuk sekedar mengurusi Ibunya yang sakit. Lama kelamaan terlalu banyak ijin membuatnya sungkan, kerja pun tidak tenang karena pikirannya terbagi pada Ibunya yang ke luar masuk rumah sakit. Biaya yang dikeluarkan juga banyak.
Pak Ardani berniat pindah tugas. Dia ingin focus mengurusi Ibunya yang sedang sakit. Selain itu sudah jenuh tinggal 29 tahun di Jakarta. Walau statusnya Kepala Sekolah dia tidak punya apa apa. Asetnya cuma anak istri, dan SK pegawai negeri sebagai Guru. Dia belum punya rumah, karena selama ini rumah masih ngontrak.
Setelah menikah dengan Astutu mereka tinggal di rumah Bundanya Astuti. Astuti berpikir jika uang untuk biaya mengontrak lebih baik jika ditabung. Mereka sempat punya sebidang tanah dekat rumah Sang Bunda. Akhirnya, karena suatu keadaan mereka jual tanah itu untuk biaya pindah ke desa dan ngurus pernak pernik kepindahannya, terutama mutasi antar provinsi yang cukup rumit dan melelahkan.
Setelah hijrah ke Desa, Astuti dan Pak Ardani menempati rumah orangtuanya yang letaknya 15 km dari Solo. Alhamdulillah mereka bisa mutasi bersama. Astuti mendapat SK pindah di STM sedang Pak Ardani Di SMEA swasta. Mereka berangkat dari nol. Jati menduduki kelas 6 SD, Wahyu klas 3SD dan si Aji masuk TK B.
Bundanya ikut mengantar kepindahan Astuti, begitu melihat rumah besannya dengan fasilitas yang terbatas, Bundanya tidak ikhlas dan tidak rela Astuti tinggal di rumah yang dianggap tidak layak di mata Bunda. Bundanya sempat bersumpah dan mengultimatum suami Astuti “Jangan pernah Nak Ardani buat hidup anakku menderita, aku tak ikhas dan ridha, kalau nak Ardani tidak bisa membahagiakan anakku”. Bunda Astuti menggebrak meja dan berkata dengan tegas.
Astuti berusaha menetralkan suasana yang jadi runyam sesaat. "Bunda ingatkan siapa yang menghendaki aku menikah dengan Pak Ardani ? Aku sudah menuruti kehendak Bunda. Sekarang aku bukan sepenuhnya milik Bunda, kemana suami pergi aku harus ikut”. Sang Bunda bisa menerima penjelasan Astuti. Tapi dari raut wajahnya jelas sekali terlihat bahwa dia kecewa.
Mereka hidup hanya menggantungkan dari gaji guru yang diterima setiap bulan, padahal beban hidup yang mereka tanggung cukup berat, ada Ibu yang punya penyakit menahun, dan anak anak yang perlu biaya banyak untuk segala kebutuhannya. Kalau di Jakarta, mereka ada penghasilan tambahan dari kursus dan tunjangan tunjangan lain. Sedang, di Solo cuma ada gaji.
Pola kebiasaan anak anak makan dengan gizi tinggi dan makanan serba enak, membuat mereka harus beradaptasi dengan menu sederhana, makanan yang jarang mereka nikmati. Jelas selera makan mereka berkurang. Biasanya kesukaan mereka ayam digoreng, padahal kalau menu ayam goreng beberapa potong hanya untuk sekali makan. Maka menu makannya diganti dengan opor ayam. Tapi apa yang terjadi, mereka tidak suka, dan pilih tidak makan. Mereka jadi agak kurus. Malah Astuti sempat dipanggil Guru BP di sekolah anaknya, diminta untuk memperbaiki gizi anaknya, tentu saja ia malu, dianggapnya ia seorang ibu yang tidak bisa mengurus anak, dan memperhatikan gizi mereka.
Pemandangan yang jauh berbeda dirasakan Astuti yaitu kehidupan yang nun jauh dari keramaian dan hiruk pikuk kehidupan di kota yang amat bising. Astuti merasa begitu berbaur dengan alam, ada kedamaian pada nuraninya yang sulit dijabarkan. Astuti bisa beradaptasi dengan lingkungan. Pasar tradisional, Kegiatan PKK, kegiatan social arisan RT, posyandu, dan pengajian rutin yang biasa diadakan di masjid dekat rumah maupun door to door. Astuti biasanya turun sepulang sekolah turun di pasar tradisional, mampir belanja dan menuju rumah naik andong. Melewati jalan kampung, di kanan kiri ada sawah, angin yang semilir membuat matanya ngantuk.
Setibanya di rumah pada siang hari, biasanya ia mengecek kegiatan anak anak dan mencermati kegiatan lain di sore dan malam hari, seperti arisan, pengajian atau berkunjung ke rumah orang sakit, kadang memenuhi berbagai undangan, ya khitanan, sepasaran bayi, peringatan seribu hari, atau yang lebih sering adalah undangan pengantin. Karena mertuanya termasuk sesepuh dan cukup dihormati, maka hampir semua even yang ada selalu melibatkan keluarga Astuti.
Astuti sangat menikmati kehidupan di desa dan juga tempat mengajarnya yang baru. Di desa ia bisa membaur dengan lingkungan dan mereka biasa memanggilnya Bu Guru. Ketika Astuti baru pindah pengajian ibu ibu baru dibentuk. Anggotanya masih sedikit. Mereka biasanya memanggil Ustadz atau Ustadzah dari desa lain, yang diminta untuk mengisi pengajian tiap minggunya. Kajian mereka masih kajian umum, kadang Tauhid, fikih, tafsir Al’Qur’an dan kadang hadist.
Sebelum acara inti biasanya mereka menghafal bacaan tahlil. Suatu ketika Ustadz yang biasa memberikan ceramah dan memandu hafalan tahlil juga tidak hadir, maka Astuti lah yang ditunjuk untuk memimpin. Ibaratnya bak orang rabun mengajari orang buta, ia baru hafal sedikit dan masih terbata bata. Tapi karena mereka menganggap ia seorang guru yang serba bisa mau tidak mau Astuti harus menerima permintaan itu.
Dengan hati hati, takut salah ucap Astuti kemudian membimbing jamaah ibu ibu untuk belajar bersama mengkaji Al Qur’an dan menghafal tahlil. Astuti jelaskan bahwa ia juga masih belajar. Masih harus belajar dan belajar lagi. Astuti merasa tenang dekat dengan ibu ibu yang sudah tua, kebanyakan buta huruf, lelah seharian ada yang di pasar, di sawah atau buruh membuat emping melinjo. Tapi semangat mereka untuk belajar ngaji dan selalu dekat dengan Allah membuat hatinya semakin mantap untuk berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadist.
Mereka saja yang diberi rejeki dan pengetahuan terbatas bisa tetap istiqomah, mengapa ia yang diberi lebih dari mereka tidak bisa bersyukur, dan kurang menerima dengan apa yang sudah diperoleh. Astuti merasa mendapat hidayah dari jamaah pengajian di desa itu. Maka ia mulai serius belajar mengaji, yang dulu pernah dipelajari setengah setengah, sekarang ia tuntaskan. Astuti ingin mengaji dengan cara yang benar. Berusaha memahami artinya, dan mengamalkannya dalam perbuatan.
Terutama untuk belajar sabar, syukur dan ikhlas. Ketiga kata yang mudah diucapkan tapi sulit dilaksanakan. Karena yang namanya Iman itu memang pasang surut bak air laut. Kadang semangat menggebu-gebu dalam beribadah, tapi kadang tiba tiba surut tanpa alasan, sedang intinya mungkin karena setan setiap saat selalu menggoda dan berusaha membuat hati jadi was was, takut lapar, takut miskin dan takut dilecehkan oleh orang lain. Sehingga perlahan bisa tersesat semakin jauh. Dan sulit untuk menemukan jalan yang lurus , jalan yang diridhai Allah.
Astuti kemudian berinisiatif mendatangkan guru ngaji, atau ia yang bersilahturahim ke rumahnya. Walau rumah mereka satu desa tapi agak jauh jarak rumahnya dengan beliau. Di rumah beliau ada beberapa santri yang juga mengaji di sore hari. Biasanya Astuti datang menjelang asar. Salat Ashar berjamaah. Setelah itu ia mengaji, dan beliau mengajari santri lain. Astuti membaca dengan suara keras. Tanpa melihat QS yang ia baca, lalu guru ngajinya mendengarkan dengan seksama, sehingga beliau tahu apakah bacaannya sudah benar atau kurang pas, maka beliau akan memperbaiki denganmemberi contoh yang benar.
Guru ngaji Astuti bernama bu Salamah keadaan rumah Bu Salmah guru amat sederhana, rumah yang berdinding gedeg/bambu, beratap genteng tua tanpa flafon, lantai tanah, tempat MCK yang ada di luar lengkap dengan jumleng (WC) yang sangat tradisional berupa lubang tanpa septitank. Berada di belakang rumah. Tapi halamannya rumahnya sangat luas, ada pohon sawo, melinjo, mangga, nangka dan tanaman buah buahan lainnya. Sedang di belakang rumah ada kandang ayam yang cukup luas dan pohon bambu yang cukup rindang. Kadang mereka duduk santai di depan halaman rumah sembari menunggu waktu magrib dan beristirahat sejenak setelah mengaji. Mereka sangat menikmati teh hangat dan singkong bakar yang disuguhkan Bu Salmah.
Bu Salmah memasak masih menggunakan tungku kayu bakar, sesekali Astuti ke dapur, memperhatikan beliau menyalakan api dan menjaganya agar tetap menyala. Bila api itu hampir padam beliau meniupnya dengan bumbung bambu yang menyerupai pralon besar, dan api pun menyala lagi. Teh yang dibuat dari air yang direbus dengan kayu bakar punya cita rasa yang berbeda. Teh itu akan terasa agak sangit, apalagi setelah diberi teh. Sungguh rasanya agak aneh percampuran antara air yang sangit dan teh.
Suasana dan kehidupan di desa yang rukun, guyub, dengan rasa kekeluargaan yang kental, membuat Astuti kerasan dan menjalani kehidupan ini dengan rasa syukur, menerima apa adanya. Sayangnya suaminya kurang bisa menikmati kehidupan ini. Dia hampir dilanda stress, kadang untuk terapi stress dana yang dikeluarkan bukan berupa obat, jadi cukup membuat ekonomi rumah tangga mereka goyah.
Pak Ardani kadang kurang mengatur keuangan tanpa perhitungan yang smart, dia mengikuti kata hatinya, menyalurkan hobi di waktu kecilnya. Dia memelihara ayam Bangkok yang cukup mahal harganya, sibuk membeli tanaman hias beserta propertinya. Dua hobi barunya itu membuat Astuti harus menahan diri agar tidak marah, dan bisa memahami jiwanya yang sedang sakit.
Astuti menyimpulkan jiwanya Pak Ardani sedang sakit, karena dia tidak siap dengan kehidupan di desa. Dia yang dulu super sibuk, dihargai, dihormati, punya banyak ide untuk memajukan sekolah. Tiba tiba, dia harus puas hanya sebagai guru biasa dengan pendapatan yang minim, padahal living cost mereka sudah terlanjur tinggi. Untungnya Astuti adalah pribadi yang bisa mengatur diri dengan memberikan skala prioritas untuk pendidikan dan yang primer lebih di utamakan. Berbanding terbalik dengan suaminya, Pak Ardani justru tanpa sadar menjadikan kebutuhan sekunder menjadi lebih utama.
Sejak itu ekonomi rumah tangga mereka jadi tidak sehat, Pak Ardani tidak menyerahkan gaji bulanannya pada Astiti. Begitupun Astuti tidak menuntut darinya. Untuk kebutuhan anak anak dan biaya hidup keluarga berdasarkan kesadaran mereka masing masing yang penting bisa jalan. Keuangan suaminya sudah mulai tutup lubang gali lubang. Banyak sekali hitungan awal yang tidak diketahui kapan pinjamnya, tapi harus terkejut ketika ada tagihan harus dibayar.
Suaminya mulai akrab dengan rentenir, bank pasar yang mingguan, atau jasa pinjaman lainnya. Semua tanpa sepengetahuan Astuti. Kalau membahas masalah itu adanya jadi debat berkepanjangan dan tidak menyelesaikan masalah. Kalau ia mengingatkan justru Pak Ardani marah "Kalau tidak utang, mau dapat uang dari mana? Aku berani utang karena ada yang bisa aku gunakan untuk bayar utang, mengapa tidak berani berhutang? Sedang yang tidak punya anggunan atau tak punya apa apa berani kok berhutang” Begitu jawaban jitu yang diberikan Pak Ardani.
Memang tidak dipungkiri, dia sebagai anak tunggal punya asset yang lumayan untuk membesarkan anak anak. Tapi kan agak aneh, punya cita cita jual sawah milik orangtua. Seharusnya apa yang sudah ada dikelola dengan baik, syukur bisa menabung dan beli asset lagi. Semua asset yang ada masih menggunakan nama mertua Astuti. Ada satu yang menggunakan nama mertuanya, kemudian menjadi sengketa karena posisi pekarangan yang ditempati orang dengan istilah “mager sari”.
Mertuanya dan Astuti menentang rencana suaminya untuk menjual sawah yang dimiliki. Di sela suaminya sibuk mencari pembeli sawah yang ingin dijual, ada Bu lurah, pegawai bank pasar, atau juragan Areng yang jadi tetangganya. Melihat ulah suaminya, ibu mertua agak jengkel dan prihatin, sehingga memberi saran pada Astuti untuk pergi ke paranormal.
Untuk berhubungan dengan paranormal sebenarnya dalam hidupnya tidak ada rumusnya, sejak Astuti mendalami Al Qur’an, hatinya bak makan buah simalakama. Apabila ia harus ikuti perintah mertua, maka ia akan berdosa karena itu syirik. Apabila tak ia turuti kemauan ibu mertuanya, ia juga berdosa karena tidak patuh kepada orang tua. Akhirnya Astuti mengambil langkah yang menurutnya tidak akan berdosa dan mertuanya juga senang. Astutu tidak biasa pergi ke paranormal, tetapi minta bantuan Pakde Santo untuk pergi ke Dukun, dan mertuanya pun menyetujui.
Pade Santo yang diberi tugas oleh ibu mertuanya dengan patuh menjalankan apa yang diminta ibu mertua beserta hasilnya. Dari Para normal itu Cuma berpesan agar di bawah tempat tidur suaminya diletakkan undur undur. Sebuah syarat yang mudah dikerjakan. Masih banyak rumah tetangga mereka yang berlantai tanah dan di samping rumahnya yang berdebu, banyak didiami undur undur. Pakde Santo sukses dengan misinya meletakkan undur undur di bawah tempat tidur Pak Ardani.
Percaya tidak percaya, satu persatu calon pembeli tidak wira wiri ke rumah lagi. Suaminya pun lambat laun melupakan rencananya untuk menjual sawah itu. Suasana jadi agak nyaman. Ketika Astuti tanya kepada ibu mertuanya makna dari undur undur itu apa, beliau menjawab. "Yo mundur ora sido ono sing gelem nuku nduk.” Astuti manggut manggut, dan paham. Mengapa tidak berdoa saja ya yang lebih afdol langsung kepada yang membuat hidup ini.
Alhamdulillah Astuti masih bisa bertahan dan tidak ikut stress. Astuti justru akan berusaha untuk mencari peluang usaha. Astuti mencari modal dengan mengajukan pinjaman ke koperasi sekolah. Dana itu ia gunakan untuk membeli melinjo dan ia serahkan kepada tetangga kanan kiri yang biasa membuat emping. Dari 4 kg melinjo biasanya bisa jadi 1 kg emping kering. Upah membuat emping perkilo kira kira sepersepuluh dari harga jual emping.
Usaha itu ia jalankan dengan pemikiran bisa membantu, karena memberikan lahan pekerjaan untuk orang lain, sekaligus ia bisa memasarkan emping itu dan mendapat uang tambahan untuk biaya hidup keluarga. Mereka cukup sibuk dengan pekerjaan sampingan itu, di rumah penuh dengan melinjo yang baru dibeli dari petani, atau tetangga yang memiliki pohon melinjo. Ada juga yang baru selesai dikupas, dipisahkan antara buah dan kulitnya. Atau emping yang baru selesai dikerjakan dan belum kering sempurna.
Biasanya Astuti mengemas emping itu sesuai permintaan. Kalau dijual ke pasar biasanya los bisa 5 kg atau 19 kg sesuai dengan stok yang ada. Jenis konsumen pum beragam. Ada yang membeli dari ukuran 1 kg, setengah kg, atau ada juga kemasan kecil seperempat kg.
Usaha sampingan ini menggairahkan hidup Astutu, ia jadi tidak mengenal lelah dan kurang menjaga kesehatannya. Mulai dari mencari melinjo ke pasar, menyetirnya ke para buruh pembuat emping, menjemur dan mengemas dengan rapih, lalu memasarkannya. Biasanya menjelang hari Raya pesanan melimpah. Bahkan ada dari beberapa instansi yang memesan dengan jumlah banyak sebagai bingkisan hari Raya. Pasca hari Raya pun masih tetap laris manis. Banyak orang orang dari luar kota, atau luar jawa yang kebetulan mudik, menjadikan emping sebagai oleh oleh.
Awalnya semua lancar, sampai ada salah satu buruh yang biasa membuat emping, membeli emping yang sudah kering dengan cara di utang. Pertama dia ambil 5 kg, tempo pembayaran 1 minggu. Satu minggu emping yang lama dibayar dan membeli lagi dengan jumlah 10 kg, minggu berikutnya dibayar, dan ambil dalam jumlah yang lebih banyak lagi. Setelah itu pembayaran mulai macet. Dananya berhenti di satu tempat.
Kejadian ini membuat Astuti hilang semangat. Karena selain yang kelas kakap ada beberapa orang yang berhutang membawa emping dagangannya. Kadang ada beberapa buruh pembuat emping itu yang nakal. Dia tidak menyetorkan emping yang sudah jadi, tapi aia hanya dengar keterangannya. "Maaf Bu, tadi emping nya saya jual untuk bayar uang sekolah anak saya, nanti kalau bapaknya anak anak pulang dari Jakarta akan saya bayar.”
Sepintas dari luar keadaan ekonomi, mereka baik baik saja. Astuti dan suaminya guru, punya penghasilan tetap. Mereka tidak tahu bahwa biaya hidup Astuti begitu tinggi. Dianggapnya setiap tanggal muda, Astuti punya banyak uang. Tetangga yang hidupnya pas pasan mencoba minta belas kasihan. Pagi hari di kala Astuti sibuk mau berangkat mengajar, mereka datang ke rumah untuk mendapatkan pinjaman, entah berupa beras, uang, atau emping.
Mereka tidak berpikir kalau Astuti juga punya keluarga, ada mertua, ada anak yang semuanya butuh dana. Dan Astuti hanya menerimanya setiap bulan dan harus me manage nya agar cukup untuk satu bulan. Tapi kadang ia tidak sampai hati untuk menolak permohonan mereka, jadi Astuti berusaha bagaimana caranya ia bisa membantu mereka. Misalnya, ketika ada dana bisa dipinjam, tapi sebelum tanggal 20 harus dikembalikan sebab itu dana untuk bayar listrik.
Atau di kelompok simpan pinjam PKK, dimana Astuti ikut jadi anggota yang bisa nabung dan pinjam. Biasanya tabungan itu akan dibagikan kembali menjelang Hari Raya. Kadang Astuti meminjamkan hak pinjamnya kepada ibu ibu yang memerlukan dengan catatan mereka mengangsur tiap minggu, dan jadi tanggung jawab mereka berbagai kewajiban dalam pelunasannya. Ternyata hal itu, membawa petaka karena pada waktu pelunasan mereka tidak tanggungjawab, sedang pengurus tidak mau tahu, yang mereka tahu uang itu dipinjam Astuti.
Nuansa Ramadhan dan Idul Fitri jadi terganggu dengan peristiwa itu, Astuti dan suami jadi tidak khusyuk dalam beribadah, karena harus memutar otak, bagaimana caranya membayar hutang di kumpulan itu, padahal ia tidak menggunakan uang tersebut. Sedang yang menggunakan kadang pergi ke luar kota dengan alasan ke rumah familinya mencari pinjaman, dengan alasan kalau berhasil akan dibayarkan di kumpulan PKK itu.
Alih alih Astuti menerima tabungan, dan bisa menggunakan uang tabungan itu untuk memenuhi kebutuhan di hari Raya, yang terjadi malah justru harus mencari dana talangan agar semua hutang yang digunakan orang lain dengan meminjam namanya bisa dilunasi. Karena uang itu milik orang banyak yang sangat diharapkan mendapat tabungannya untuk digunakan memenuhi kebutuhan di hari Raya.
Bagiku Astuti itu merupakan pembelajaran yang sangat berharga. Astuti tidak boleh begitu saja percaya dengan mulut manis para tetangga yang meminta bantuan, yang pada akhirnya akan menyusahkan dirinya sendiri. Kondisi seperti itu jelas berdampak tidak nyaman dalam keluarga. Suaminya juga tidak mau tahu. Semua dianggap kesalahan Astuti.
Astuti juga tidak menyalahkan Pak Ardani. Karena ia melangkah tanpa sepengetahuan suaminya. Dan menganggap semua orang itu amanah, bisa memegang janjinya. Ternyata mereka banyak yang memanfaatkan kebaikan Astuti.
Di saat keadaan ekonomi keluarganya kekurangan, Allah memberi kejutan untuk keluarganya. Sebuah kabar baik jika Astuti hamil. Berita kehamilan ini segera ia sampaikan kepada Bundanya. Dan sang bunda pun merespon berita hamilnya dengan gembira. Beliau berpesan agar Astuti harus hati hati dan segera memeriksakan kandunganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar