Jumat, 26 Maret 2021

Jejak Langkah di Stasiun Lempuyangan

 

Ketika menanti senja hanya dengan menatap padang ilalang, seketika hati teringat akan suatu masa tentang jejak langkah di stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Masa itu adalah 10 tahun yang lalu ketika masih menyandang gelar mahasiswa sarjana. Meski tak berkuliah di Jogja tapi hampir setiap bulan derap langkah menuju Jogja demi menengok sang adik yang berkuliah disana. Jadi ceritanya aku ini dulu nya ‘Neneng kurir’ yang setiap bulan harus mengirim  uang untuk adik perempuan ku. Bak  menelan asam garam sejatinya selalu ada cerita manis dan pahit di setiap perjalanan Lebak-Jogja.

Cerita itu seperti hikayat prosa yang kelak di sadur  dalam kehidupan anak cucu kita. Setiap langkah masih teringat jelas betapa lika liku itu sungguh menyenangkan, bahkan sempat menyedihkan. Dari sinilah perjalanan panjang  itu di mulai yang mengajariku betapa dunia ini luas akan segala keindahan, rintangan, kebahagiaan, bahkan kesedihannya.

Tak semudah seperti sekarang, dulu pada tahun 2010 mendapatkan tiket kereta itu begitu sulit. Antrian yang begitu panjang dengan jumlah orang yang mencapai ratusan. Sangat berbeda dengan sekarang dimana bisa membeli tiket secara online dan di tukar di stasiun. Kalau saja terlalu lama di antrian, kita pun tertinggal oleh jadwal keberangkatan kereta. Ya meskipun sampai saat ini sedikit sulit mendapatkan tiket kereta dengan rute pulau jawa. Biasanya untuk mencapai Jogja aku harus berangkat dari Lebak jam 2 siang dan tiba di jakarta Pasar Senin jam 5 sore. Rute Kereta Senin-Lempuyangan berangkat jam 19.00, ada waktu sekitar kurang lebih 2 jam untuk solat, makan dan persiapan pemberangkatan/menunggu kereta. Tut tut sirine kereta mulai di suarakan sebuah tanda si ‘ulat baja’ siap melayani penumpang. Dengan segera aku langkah kan kaki dan masuk kedalam kereta. Dari tiket yang kita pegang sudah terdapat petunjuk akan tempat yang kita duduki muai dari nomor gerbong hingga nomor kursi. Jaggijug gujag-gijug kereta berangkat (sudah seperti lirik lgu saja ya) hihi dan aku pun melewati malam panjang dengan tidur di kereta. Perjalanan yang lelah dengan pundak yang berat, pipi yang sembab dan mata yang loyo karena tak senyenyak tidur di atas kasur. Akhirnya  aku lewati perjalanan itu dengan tiba di Stasiun Lempuyangan pada pukul 6 pagi. Dua hari ku habis kan seluruh waktuku dengan menikmati segala keindahan Jogja. Menikmati segala ke elokan budayanya, dan segala keramahan warganya. Disini hampir tak ku dapati angkot karena setiap perjalanan di lewati menggunakan ‘bus trans’ yang berhenti dari halte ke halte. Betapa bahagia tinggal disana meski hanya menikmati sebulan sekali tetapi segala kenangan ‘in memoriam’. Begitulah Jogja, lidah ini kelu jika harus mengandai kan semua tentang Jogja.

Sore itu adalah perjalanan pulang ku dari Jogja menuju Lebak. Kaki tegap berdiri menunggu sang ulat baja tiba di stasiun Lempuyangan. Dengan  decak semangat ingin segera kembali ke kampung halaman. Sekitar jam 5 sore kereta pun mulai di siap kan. Kaki  bergegas memasuki gerbong dan mencari tempat duduk. Suasana yang begitu riuh, bising, padat berdesak antara penumpang dan pedagang. Dulu penumpang berjualan bebas di kereta, mereka menjajakan dagangan mereka dari Jogja sampai Cirebon. Di stasiun Cirebon mereka singgah dan kembali menaiki kereta menuju Jogja sebagai arah pulang. Sore itu suasana sangat tidak nyaman seperti sebuah  firasat buruk hendak terjadi. Mulai dari tempaat duduk yang amat sesak dengan penumpang, dan pedagang yang hilir mudik setiap detik. Karena kursi panjang berhadapan tempat duduku penuh dengan penumpang, aku pun duduk di paling ujung. Rasanya tak terima dengan suasana ini tapi aku tak bisa egois karena mereka para penumpang di samping dan di depan ku sudah separuh baya. Aku pun harus mengalah walau sudah terbayang kelelahan yang harus ku tanggung dalam semalam. Tak ada celoteh yang bisa ku suarakan karena tak mengenal salah satu pun dari mereka, aku hanya duduk dengan memainkan jari pada handphone. Waktu itu HP tak secanggih saat ini, paling canggih itu HP dengan merk Nokia.

Malam semakin gulita, ku tengok jam di HP menunjuk angka 11, aku putuskan untuk tidur sekejap karena duduk di kursi paling ujung tak akan  senyenyak tidur di kursi yang menempel pada dinding kereta. Tidur ku terus terjaga setiap suara masih terdengar riak. Setiap gerakan masih terasa, namun entah di menit ke berapa  aku pun terpulas. Tak lama setelah itu kereta terdiam ternyata kami sudah sampai di Cirebon. Kereta biasanya berhenti pada jam 12 malam di Cirebon dengan jeda yang lama sekitar satu jam. Karena tersadar kereta tak bergerak aku pun terbangun dan melihat sekitar. Pada saat itu ‘ I was very shocked’ tas selempang ku terbuka aku raba semua isi tas dan Oh My God, seseorang mencuri dompet ku hiks hiks hiks. Rasanya sangat panik ingin menangis, menjerit tak tahu harus bagaimana? Tapi rasa malu lebih besar dari rasa marah. Semua penumang di samping ku bertanya ‘Ada apa mbae?’ tanya wanita renta di sebelah ku ‘dompet saya hilang bu, sepertiny saya kecopetan’ jawab ku panik. Mereka pun menatap ku iba dan terus bertanya, Mba’e pulang nya kemana? Masih Jauh ora? Punya sodara  di Jakarta? Semua pertanyaan itu aku jawab setelah menghela nafas panjang.

Seulas cerita tentang si dompet, jadi aku pulang dari Jogja hanya dengan bekal uang lima puluh ribu sisa membeli tiket. Uang itu sudah aku perhitungkan dan pasti cukup untuk pulang ke Lebak, karena mahasiswa kalau naik angkutan umum biasanya bayar setengah harga. Aku pun masih bingung memikir kan bagaimana cara pulang, sama sekali tak ada uang sepeser pun. Dompet dengan segala kartu kosong nya raib di tangan orang jail. Gumam ku dalam hati ‘Kasian banget kamu copet, dapat dompet isinya cuma gocap, ada atm saldonya kosong pulak hahahahahaaa. Di tengah larut nya aku dalam lamunan, tiba-tiba mereka saling berbisik dan ternyata mereka melakukan sirkulir untuk mengganti uang ku yang hilang. Maha Besar Allah dengan segala pertolongn Nya. ‘Mbae iki cukup ora? Kalo gak cukup ta tambahin lagi? Tanya si wanita renta di samping ku sambil menyodor kan uang sejumlah tiga ratus ribu. seketika aku menangis haru betapa pertolongan Allah itu nyata. Aku hanya kehilangan uang lima puluh ribu, dan mereka ganti dengan uang tiga ratus ribu. Rasa haru campur bahagia sampai tak kuasa berkata apa-apa, aku cium tangan mereka semua nya seperti baktiku pada orangtua. Air mata pun mengalir dengan deras tanpa tertahan. Demi Allah sampai detik hingga ku tulis kan cerita ini takan pernah melupakan jasa mereka, semoga Allah balas dengan segala kebaikan dan kemurahan rejeki meski tak saling mengenal, meski hanya bertemu sakali seumur hidup pada Mu ku pintakan untuk segala kebaikan mereka.

Dari kejadian itu aku pun tak sanggup melanjut kan tidur ku hingga waktu menujukan pukul 3 dini hari, dan kereta tiba di Stasiun Senin. Sedikit lega akhir nya aku sampai di Jakarta dan hanya  beberapa jam lagi perjalanan ku menuju Lebak. Dari stasiun Pasar Senin aku melanjutkan perjalanan ku menuju Stasiun Tanah Abang, aku putus kan untuk menaiki oplet 05 Jurusan Senin THB. Setibanya di Tanah Abang aku belanjakan uang tiga ratus ribu itu dengan membeli baju dan macam oleh-oleh. Hatiku bergumam ‘Lucu sekali sekali cerita hari ini, malam kecopetan dan pagi berbelanja hahahaha. Zaman dulu uang tiga ratus ribu rasanya senilai dengan lima ratus ribu, dan untuk kelas mahasiswa seperti aku rasanya masih jarang pegang uang dengan nilai ratusan pada masanya. Beda lah ya dengan zaman now, uang tiga ratus ribu hanya cukup ongkos pulang pergi Jakarta Lebak.

Cerita ini rasanya masih seperti anekdot, biasanya aku hanya mendengar  cerita orang kecopetan. Tapi subhanallah ternyata aku pun harus mengalaminya. Dari sini aku benar-benar memahami bahwa pertolongan Allah itu nyata, dan hanya sekejap apabila kita berserah diri. Allah dulu, Allah lagi dan Allah terus. Insyaallah yakini, pertolongan itu benar-benar nyata.

 

Salam Pena Milenial

Maydearly 89

 

Lebak, 26 Maret 2021

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kata Pengantar Buku Tarian Aksara Penuh Makna

Dahulu aku sering bertanya sendiri; kalau puisi itu berwujud, akan seperti apakah dia? Matahari? Bulan? Bintang? Gunung? Laut? Bertahun lalu...