Riak hujan mengantarkan pagi yang gemetar, dalam dingin yang
rindang terdengar celoteh tangis memecah keheningan.
“Ea...eaa...eaa” tangisan si bayi merah yang baru berumur 2 minggu.
“Si cantik umi, pinter ya, pagi-pagi udah bangun. Dede pipis ya? Umi
ganti ya popoknya” ujar ibunya sambil mengganti popok.
“Umi, mana pakaian dede yang kotor? Mau Risma cuci” tanya si sulung
pada ibunya.
“Itu di pojok. Teteh jangan lupa air tadah hujan di luar bawa ke
kamar mandi ya!” balas ibunya.
“Iya Umi”
Si sulung yang penurut kemudian melakukan apa yang diperintahkan
ibunya. Dalam desiran angin yang berhembus pada hujan yang rintik, ia
menyelesaikan tumpukan cucian yang menggunung.
Suasana pagi yang sunyi seakan mengukir celah-celah sajak yang
lunglai. Hujan menidurkan matahari hingga ia lupa untuk terbit.
“Teteh kalau udah beres nyuci, masakin umi sayur pakis ya” ucap
ibunya memberi perintah.
“Iya Umi” balasnya dengan semangat.
Risma, si gadis cantik yang pintar nan penurut begitu telaten
merawat ibunya yang baru melahirkan. Ia menggantikan peran seorang ibu untuk
kedua adiknya dengan rasa sabar dan
penyayang.
Selama dua minggu ia mengurus rumah, merawat ibunya serta mengurus
kedua adiknya, menjadikan ia seorang pribadi yang dewasa.
Di pagi itu, ia bangun mengejar fajar membuka pagi dengan deretan
aktivitas layaknya ibu rumah tangga. Sang hujan yang bercucuran setia
membersamainya dengan elok. Hingga detik berlari, dan menit berganti, namun
hujan begitu lekat berkawan dengan pagi.
Usai memasak sayur pakis, Risma kembali ke kamar madi. Ia ambil
cucian untuk di keringkan di teras rumahnya.
“Umi, gantungan putarnya udah penuh. Baju dede yang kemarin belum
kering” ujarnya dari teras rumah.
“Pake jepitan baju aja teh. Jepitin ke tambang” balas ibunya
bernada memberi perintah.
Risma kemudian bergegas mengambil jepitan untuk menjepit bajunya. Setelah
ia selesai menggantung semua pakaian basah itu, tiba-tiba ia merasakan keanehan
di teras rumahnya.
Ia menatap dinding tanah di samping rumahnya. Diperhatikan dengan
baik, tekstur tanah itu bergerak perlahan. Melihat hal itu, Risma berlari ke
dalam rumah dan berteriak pada ibunya.
“Umi, ada longsor, ayo kita keluar Umi!” ajaknya dengan panik.
Tanpa berpikir panjang, ia menggendong adiknya yang berumur 3
tahun. Ibunya kemudian segera menggendong bayi merah berumur 12 hari itu.
Mereka berlari meninggalkan rumah.
Beberapa langkah dari pintu rumahnya, tiba-tiba tanah yang mereka
injak bergerak dengan cepat. Risma dan ibunya semakin panik. Ibunya terjatuh pada kubangan lumpur, serta bainya
terpental pada pohon pisang.
Risma histeris dan si bayi menjerit kencang. Pohon pisang itu,
semakin melandai terbawa arus longsor. Dengan sigap Risma mengambil si bayi
dari pohon pisang itu dengan gerakan kaki yang gemetar.
Ibunya berteriak histeris, kakinya terjebak dalam kubangan lumpur
yang semakin dalam. Dari arah samping, nampak longsoran tanah hendak membungkus
badannya. Lagi-lagi Risma sekuat tenaga menarik ibunya dengan tangan kanannya.
Sebuah perjuangan yang begitu emosional, tangan kiri Risma menggendong si bayi
merah dan tangan kanannya menarik ibunya. Di sampingnya sang adik kedua
menangis dengan badan yang gemetar.
Ibunya semakin bergejolak, sekuat tenaga ia mengangkat kakinya dari
jebakan lumpur, gusar hatinya seperti berlomba dengan arus longsor susulan yang
hendak menimpa tubuhnya.
Hampir lima menit penyelamatan itu berlangsung, akhirnya Risma dan
ibunya berhasil menyelamatkan diri dari maut.
Mereka berlari bersamaan dengan kejaran longsor. Risma dan ibunya
menyaksikan para warga berhamburan dari rumah mereka.
“Bi Sitti, ayo kita lari ke Hutan Sibanung” teriak salah satu warga
kepada ibunya Risma.
Risma dan ibunya kemudian mengikuti arahan warga. Mereka beralari
menuju hutan Sibanung. Sebuah hutan di atas bukit dengan dataran yang luas.
Para warga berduyun-duyun menuju Sibanung, mendirikan tenda dan
menunggu bala bantuan. Si bayi merah yang malang itu, hanyut dalam dingin.
Bibirnya membiru dan tangisnya amat
lemah. Risma dan ibunya amat bingung. Tak ada pakaian yang mereka bawa, meski
hanya sehelai. Para warga berupaya keras menghangatkan badannya.
Rumahnya yang tertimbun longsor, meninggalkan segala perabotan serta elegi yang mendalam.
Tiada lorong harapan yang menguatkan hati mereka. Mereka gundah dan resah dalam
perut yang lapar. Bahkan bulan pun tak muncul meski hanya untuk mengintip.
Si Bayi merah yang kuat, bertahan dalam gelap yang pekat. Dalam
pelukan hangat ibunya ia amat sabar seolah mengerti dengan keadaan.
Setelah penantian selama selama tiga hari tiga malam, ibu Bupati
datang menjemput para korban untuk dilakukan evakuasi. Keluarga Risma adalah
keluarga kedua yang di angkut dengan helikopter.
Mereka para warga yang malang itu kemudian bermukim di Batalion
Mandala Yudha, sebuah Mess TNI yang kini di kosongkan, karena para TNI itu
menghuni tempat baru.
Tiga bulan dalam pengungsian banyak suka cita yang mereka dapatkan.
Kehilangan rumah huniannya adalah ratapan yang hingga saat belum terpecahkan
solusinya.
Ibu Bupati kemudian memulangkan para warga menuju kampung
halamannya. Hutan Sibanung yang dulu dijadikan tempat untuk menyelamatkan diri,
kini di sulap menjadi sebuah hunia beratap biru. Para warga menyebutnya dengan
sebutan ‘Huntara (Hunian Sementara)’. Sebuah hunian beratap terpal yang apabila
datang hujan atapnya menari-nari kencang senada dengan tarian angin, dan
apabila datang cuaca panas, maka suhunya amat menusuk tulang.
Sebuah harapan yang masih tersimpan dalam hayalan, entah kapan
mereka memiliki rumah yang layak seperti sebelumnya. Belum ada jawaban yang
pasti. Mereka berkawin dalam perasaan yang terombang ambing menunggu sebuah
kepastian.
Begitulah seorang Risma dan warga lain menjalaninya, hidup dalam
tenda biru bukan hanya judul sebuah lagu melainkan langit rumah mereka, para
penghuni HUNTARA.
Bila harus penulis ceritakan, ada sesak yang mendalam di hati
mereka. Sebuah impian berlagu sebagai kabar angin yang entah kapan berlabuh
dengan pasti.
Demikian tulisan ini penulis utarakan sebagai narasi penggugah rasa
syukur di hati pembaca. Setidaknya ketika pembaca membaca narasi ini, ia
menatap langit rumahnya yang berseri menjadi payung kokoh. Tak seperti mereka
para pengisi tenda biru yang hampir lapuk atas terjangan angin. Bocor ketika
hujan, dan menyengat ketika panas.
Semoga ada untaian doa dan pemberi harapan untuk mereka sang
penghuni Huntara.
-Sekian-
Aamiin
BalasHapusAamiin... Semoga diberikan yang terbaik oleh Allah SWT
BalasHapusAlhamdulillah, bersyukur denagn keadaan kita sekarang. Teriring doa semoga Risma dan keluarga lainnya segra mendapatkan uluran tangan. Semoga Allah memberikan yang terbaik sebagai buah kesabaran.
BalasHapusIni cerita nyata atau fiksi ya Bu? Keren amat. Sedih bacanya
BalasHapusKisah nyata bu
HapusKisah nyata bu.
BalasHapusAamiin
BalasHapusBunda kereen 😍😍