Minggu, 12 Februari 2023

Rumah Baru Astuti

 Cuaca berganti masa, udara menyusut mewarnai getir hati Astuti. Tiba pada episode yang memaksa iar matanya jatuh berdesakan membasahi pipi. 

Terasa sesak nafasnya dihari Sang Bunda harus diantarkan menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Ada kehilangan yang tertangkap saat Astuti menyelami hatinya. 

Setelah acara pemakaman selesai, Astuti dan adik-adiknya berkumpul dan menentukan sikap mengenai urusan Sang Bunda ketika masih hidup, entah itu hutang piutang atau lainnya. Sebagai anak pertama ia memegang kemudi atas ibundanya. Mengatur segala hal yang berkaitan dengan sang bunda yang pula dilakukan dengan bekerjasama dengan adik-adiknya. Hukum Islam menjadi acuan dalam pembagian warisan. Sehingga adik Astuti yang laki-laki lah yang mendapat hak waris paling banyak.


Jarak antara Jakarta-Solo cukup meminjam waktu begitu jauh, sehingga setelah acara pemakaman selesai, sepenuhnya Astuti serahkan kepada sang adik. Ia kebaikan untuk bunda akan datang dari setiap kelopak doa anak soleh nan solehah. Astuti selalu mengkhususkan doa untuk bundanya setelah solat fardhu. Astuti mempercayakan pembagian warisan kepada adiknya yang nomor dua. 

Hasil dari Musyawarah dengan keluarganya yaitu mereka sepakat untuk menjual rumah bunda kepada adik nya. Masya Allah, rumah warisan yang dijual itu benar-benar menjadikan keberkahan bagi Astuti. Astuti pun kemudian menjadikan hasil warisan bunda untuk ia gunakan membangun rumah di Solo. Astuti merasa begitu bersyukur atas segala kesibukan dan urusan yang dia lakukan banyak sekali keberkahan yang ia reguk. Akhirnya rumah baru yang digadang-gadang oleh Astuti selama belasan tahun, terwujud setelah ia mendapat hak waris sepeninggalan sang bunda.

Rumah kontrakan yang begitu kecil, adalah saksi dimana ia menguatkan hati untuk berproses dengan lebih keras dalam membangun impiannya. Ada hal yang menggelitik hati Astuti. Ia merasa kesal karena si pemilik kontrakan itu menaikan harga pertahun dengan berlipat ganda. Hal itu memantik semangat Astuti agar bekerja dengan lebih semangat dalam mengumpulkan pundi-pundi rupiah.

Semangat Astuti bak lampu pijar di tengah kota. Gemerlap menghiasi dinding hati. Tekadnya dalam setiap hal seolah keajaiban yang tak boleh dilewatkan. Disamping rasa semangat yang begitu menggebu, Astuti kemudian menemukan gerimis yang membasahi dasar hatinya. Ia terluka dengan perlakuan suaminya yaitu Pak Ardani. Di waktu yang serupa, Pak Ardani pun membagi hasil warisan peninggalan orangtuanya. Namun uang warisan itu seolah tak ingin diketahui Astuti. Padahal di sisi lain, Astuti begitu mati-matian memikirkan pembangunan rumah mereka. Hal itu membuat Astuti begitu sesak. Ia ingin marah tapi terasa pasrah. Akhirnya Astuti bersikap masa bodo terhadap Pak Ardani.

Astuti menghargai Pak Ardani sebagai suami, namun rasa jengkel tetap bersemayam di hati Astuti, dan kemudian Astuti bertekad jika rumah baru mereka selesai, maka kedua anak tirinya yang sudah dewasa dan sudah bekerja tidak boleh tinggal bersama mereka lagi. Hal itu Astuti kemukakan sebagai ultimatum untuk Pak Ardani atas kejengkelan yang selama ini Astuti pendam. Uang warisan yang didapatkan Pak Ardani disinyalir dipakai untuk membelikan rumah anaknya. Tujuan Pak Ardani memang bijak, dengan maksud menyelamatkan harta warisan dari orangtua, maka uang itu harus kembali berupa tanah atau rumah.

Astuti begitu memahami akan keinginan suaminya, namun kejengkelan itu bertambah tatkala Pak Ardani membeli rumah tua yang begitu lapuk. Jangankan ditinggali, dilihat saja begitu rapuh. Akhirnya rumah itu hanya dipakai sebagai gudang saja. Pikir Astuti kenapa uang warisan itu tak dipakai untuk membantu membereskan pembangunan rumah mereka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kata Pengantar Buku Tarian Aksara Penuh Makna

Dahulu aku sering bertanya sendiri; kalau puisi itu berwujud, akan seperti apakah dia? Matahari? Bulan? Bintang? Gunung? Laut? Bertahun lalu...